Dalam dunia kelistrikan dikenal istilah sistem interkoneksi. Ia adalah sistem jaringan listrik yang menghubungkan beberapa pembangkit dan beberapa gardu induk menjadi satu kesatuan. Interkoneksi listrik ini juga disebut tol listrik, sebab dengan jaringan besar yang terhubung itu, pasokan listrik yang kurang di suatu daerah bisa dicukupi oleh pembangkit di daerah yang lain.
Sistem interkoneksi ini adalah sistem kelistrikan yang termaju di dunia. Di atas kertas, sebuah sistem dengan koneksi seperti ini tidak akan mengalami mati lampu. Dengan catatan, cadangan listrik (reserve margin) yang dimiliki mencapai seratus persen. Singapura dan Cina adalah contoh negara yang memiliki reserve margin sebesar itu. Indonesia memilikinya sekitar 30%.
Memang, jumlah cadangan listrik yang besar baik untuk keandalan pasokan, tapi tidak ramah di kantong. Karena listrik yang terbuang itu biayanya akan dibebankan ke pelanggan.
Hanya saja, tidak ada sistem yang sempurna di dunia. Sistem interkoneksi harus bisa menyeimbangkan antara jumlah energi yang dibangkitkan dan jumlah beban. Jika di antara keduanya terjadi ketidak-seimbangan dalam jumlah besar, maka pembangkit akan melepaskan diri dari sistem secara bertingkat (cascade). Terjadilah peristiwa yang disebut blackout, karena beberapa pembangkit mengalami trip.
Amerika pernah mengalaminya tahun 2003, India pada 2012. Sedangkan Indonesia baru saja terjadi pada 2019.
Peristiwa seperti itu memang sangat jarang terjadi, dan sebabnya tidak pernah tunggal. Oleh sebab itu tidak perlu khawatir terjadi lagi, asal keseimbangan pasokan terjaga. Karena tujuan utama sistem interkoneksi itu justru untuk menjaga keandalan pasokan. Daerah yang kekurangan listrik bisa dipasok dari wilayah lain yang kelebihan.
Dengan tujuan itulah pembangunan jaringan listrik terus dilakukan agar membentuk sistem interkoneksi. Hal yang sama baru saja dilakukan oleh PLN di Provinsi Sulawesi Barat. Jaringan transmisi di daerah ini ada dua yang sedang dikebut, yaitu jaringan transmisi 150 kV Mamuju-Topoyo dan jaringan transmisi 150 kV Topoyo-Pasangkayu.
Pembangunan jaringan transmisi di Sulawesi Barat sangat dibutuhkan. Sebab Provinsi ini adalah daerah penyangga ibu kota baru Indonesia 2024 nanti. Selain itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan pasokan listrik di provinsi Sulawesi Tengah. Setelah beberapa kali bencana yang menimpa daerah ini beberapa tahun sebelumnya, sistem kelistrikan Sulawesi Tengah memang rawan. Hal itu diperburuk dengan abrasi sungai yang menjadi lokasi tapak tower listrik.
Maka pembangunan jaringan listrik di Sulawesi Barat itu sudah tepat sebagai tol listrik, untuk menguatkan pasokan daerah-daerah rawan di sekitarnya. Kondisi pandemi Covid-19 memang menghambat pembangunan itu. Namun dengan strategi yang tepat, target pembangunan sebisa mungkin diselesaikan tepat waktu. Mengingat suplai listrik di wilayah ini sangat membutuhkan backup segera.
Proyek itu sendiri masih dalam proses pengerjaan, kurang lebih sekitar 77 persen pembangunan telah dikerjakan. Jumlah tower yang dibangun sebanyak 534 buah. Jika jaringan tersebut telah selesai, maka akan sangat membantu Mamuju Tengah yang sering mengalami gangguan akibat kurang memadainya pasokan listrik saat beban puncak. Proyek ini direncanakan akan selesai pada September 2020.
Interkoneksi Sulawesi Barat ke Sulawesi Tengah adalah cita-cita bersama untuk mewujudkan kelancaran pasokan. Pembangunan jaringan listrik ini juga masuk proyek strategis nasional. Dengan status itu, keberadaan proyek ini sangat dianggap penting dan diharapkan selesai tepat waktu. Interkoneksi atau tol listrik adalah jawaban keandalan pasokan listrik. Untuk membebaskan Mamuju Tengah dari seringnya mati lampu. Karena energi yang berkeadilan adalah hak segenap bangsa di seluruh penjuru Indonesia.