Kuambil wudhu dan gelar sajadah. Dering alarm jam tiga pagi ini sangat nyaring terdengar. Alarm yang sengaja kupasang agar diriku terbangun dan bisa menegakkan sholat malam. Sholat malam yang akhir-akhir ini menjadi kegiatan yang kutunggu-tunggu karena di sana aku dapat mengadukan rinduku.
Rinduku untuk seseorang yang beberapa waktu ini begitu terasa menyesakkan dada. Bagamana tidak sesak? Rindu ini begitu dalam, namun untuk menyampaikan saja aku tak mampu. Bukan karena terhalang alat komunikasi. Bukan karena jarak sedemikian jauh. Bukan karena tempat yang tak memungkinkan bertemu. Bukan karena itu semua. Tapi karena rasa malu.
Malu yang sedemikian besar memenuhi rongga dada. Malu untuk mengakui kalau aku sudah jatuh cinta padanya. Malu karena aku seharusnya tak berharap cintanya.
Cinta yang muncul pasca reuni. Cinta yang timbul karena kami bertemu kembali. Cinta lama bersemi kembali. Hanya karena kami bertemu lagi setelah lama berpisah dan tak berkomunikasi.
Cinta yang dulu timbul karena seringnya bersama. Dalam perjalanan ke sekolah di masa SMA. Hampir setiap hari bersepeda bersama menuju sekolah yang sama. Dia akan selalu menunggu di jembatan ujung desa. Untuk mengayuh sepeda menuju ke sekolah. Dia juga yang akan menantiku di gerbang sekolah untuk bersama pulang ke rumah.
Rumah kami memang bertetangga. Sekolah kami juga sama. Walau kelas kami berbeda tetapi satu angkatan. Sehingga kami bisa tiap hari bersama berangkat dan pulang sekolah. Namun begitu tak ada cerita cinta. Tak ada rayuan gombal. Tak ada luapan rasa yang terlontar.
Perjalanan pulang dan pergi ke sekolh yang sama hanya diisi dengan cerita biasa. Cerita keseharian di rumah. Cerita keseharian di kelas. Tentang orang tua, tentang saudara, tentang guru, tentang tugas dan banyak hal lainnya.
Namun begitu debaran di dada tak pernah berhenti jika sedang bersamanya. Degub jantung yang berbeda dari saat aku tak bersamanya. Aku tahu diri ini telah jatuh cinta padanya. Cinta yang terlalu malu untuk mengatakan. Cinta terpendam dan tak terkatakan.
Tiga tahun bersama akhirnya sampai di ujung perjalanan sekolah. Dia yang lulus dengan nilai yang bagus mampu meneruskan kuliah dan mengambil pendidikannya di luar negeri. Negeri yang menjadi impiannya selama ini. Empat tahun kira-kira akan dijalaninya di negeri nun jauh di sana.
Aku hanya diperbolehkan orang tua untuk mengambil kuliah yang sekiranya bisa cepat kerja. Begitulah akhirnya aku kuliah, dan tiga tahun kemudian lulus dan bekerja. Di tempat kerja tersebut aku bertemu dengan seseorang yang memberiku perhatian, cinta dan kasih sayangnya hingga akhirnya aku menikah dengannya.
Selama itu pula tak ada komunikasi lagi dengan seseorang yang pernah mengisi hariku. Jarak yang sedemikian jauh tak memungkinkan berkomunikasi. Alat komunikasi masih susah, telponpun tak ada. Surat juga harus mengeposkan ke kantor pos di ibukota kecamatan. Dalam kondisi semacam itu aku putuskan untuk menerima lamaran teman kerja dan menikah dengannya dan tinggal jauh dari desaku.