Idul fitri di rumah saja, bener-bener nyaris di rumah saja. Setelah sholat idul fitri bersama tetangga di lapangan voley yang hanya dihadiri 35 orang warga akhirnya kembali ke rumah.
Sholat idul fitri yang unik karena jarak masing-masing jamaah 1 meter lebih. Sholat idul fitri yang unik karena semua jamaah bermasker. Masker tahun ini menjadi barang yang dibeli untuk melengkapi baju lebaran di masa pandemi Covid-19.
Selesai sholat idul fitri Ibu telpon apakah kami akan ke rumah beliau? Ibu sudah masak ketupat dan pecel seperti biasa. Akhirnya setelah ditimbang-timbang karena perjalanan ke rumah ibu hanya 30 menit akhirnya diputuskan ke sana untuk silaturahmi secara langsung. Kalau biasanya kami lanjutkan berkeliling ke rumah saudara, kemarin kami benar-benar di rumah ibu saja.
Sampai rumah ibu setelah mohon maaf ke ibu dan saudara yang tinggal serumah, kami cerita-cerita tentang suasana sholat pagi ini.
Kami cerita kalau tadi sholat idul fitri dengan warga satu komplek perumahan kampus. Jadi benar-benar hanya orang dalam kampus. Kalau biasanya di kampus dipakai untuk sholat idul fitri bersama warga desa kali ini tidak. Dalam sholat idul fitri tersebut bapaknya anak-anak diminta untuk jadi khotibnya.
Gantian keluarga di rumah ibu cerita tentang sholat idul fitri tadi.
Kata bulik " idul fitri ini suasana sangat mencekam"
"Mencekam bagaimana?" Tanyaku
Ternyata masjid depan rumah ibu yang biasanya untuk sholat idul fitri seluruh warga desa, bahkan kadang jamaahnya sampai menggelar tikar di halaman rumah ibu, tidak boleh digunakan untuk sholat id. Akhirnya warga desa banyak yang melaksanakan sendiri di rumah-rumah dan ada yang berkelompok menjadi satu beberapa rumah.
Untuk di masjid sendiri imam mengadakan sholat di masjid namun jamaahnya hanya beberapa warga yang datangnya sembunyi-sembunyi takut kelihatan warga umum. Satu persatu ada warga yang ikut, namun tidak seperti orang mau sholat. Tidak berani lewat jalan umum depan rumah ibu.