Semburat sinar mentari yang terbit dari ufuk timur menandai awalnya hari. Usai sholat shubuh, aku, adikku, Mas Asfuri, dan Ardina berbincang lebih lanjut tentang minat Ardina yang ingin terjun berbisnis kaligrafi. Di depan teras rumah Ardina kami berbincang-bincang dengan ditemani secangkir teh hangat. Gadis itu manggut-manggut ketika aku menjelaskan tentang sistem penjualan perusahaan dan besaran fee atau komisiyang akan ia terima dari tiap penjualan barang. Disamping fee atau komisi yang akan ia dapat dari perusahaan ia bisa menjual harga di atas harga net yang diberikan perusahaan. Kelebihan harga di atas harga net perusahaan menjadi haknya. Ia sempat pula menanyakan beberapa hal point penting tentang resiko dalam penjualan seperti jika ada konsumen yang kabur, angsuran macet, atau melarikan produk peruasahan. Mas Asfuri sebagai pimpinan lapangan ikut menjelaskan dengan rinci. Disamping itu Ardina juga menanyakan tentang proses penerimaan fee atau komisi yang akan menjadi haknya.
"Untuk penjualan cash, dek Ardina bisa langsung menerima komisi tapi untuk penjualan yang diangsur komisi bisa diterimakan setelah uang masuk ke perusahaan mencapai 75% dari harga penjualan atau adek Ardina bisa menyimpanya di perusahaan kami dan bisa diambil saat tutup tahun." Ujarku memaparkan. Sejenak kulihat ia mencerna penjelasanku.
"Setiap bisnis memang harus dilandasi kepercayaan, maka saya percaya dan yakin kerja sama kita ini adalah simbiosis mutualisme. Jika Mas Aji sebagai karyawan resmi mendapatkan hak komisi penjualan pada saat tutup buku maka biar adil saya juga akan mengambil hak komisi yang akan saya terima di akhir tutup buku. Hitung-hitung juga untuk menabung. Mungkin uangnya akan habis kalau setiap penjualan cash fee atau komisinya langsung saya ambil."
Aku tersenyum. Ardina ternyata gadis yang cerdas, dan jeli. Lantas setelah sama-sama sepakat Mas Asfuri mengeluarkan sebuah surat perjanjian bermatere agar dapat dipertanggung jawabkan dan tidak ada pihak yang dirugikan kemudian hari. Dengan mengucap basmalah kami sama-sama menandatangani surat kesepakatan kerjasama dilanjutkan doa yang dipimpin Pak Sumedi semoga kerjasama bisnis ini diberikan keberkahan dan kelancaran.
Dalam hati aku mengucap syukur yang tak terkira. Aku dipertemukan dengan keluarga Pak Sumedi yang sangat ramah. Setelah selesai menandatangani surat kesepakatan bersama Bu Darwati ibunya Ardina rupanya telah menyiapkan sarapan pagi bersama. Alhasil suasana kekeluargaan nampak begitu lekat ditengah-tengah kami menikmati sarapan bersama.
Aku dan Ardina sempat bertemu pandang. Kami sama-sama tersenyum. Entah kenapa ada perasaan aneh yang tiba-tiba merasuk ke dalam lubuk hati. Aku tak tahu perasaan apa itu. Apakah aku telah jatuh cinta padanya? Entahlah. Jau di lubuk hati ini masih tersimpan cinta untuk gadis yang pernah sangat berarti dalam hidupku. Nurhayati.
Selesai sarapan kami lantas berpamitan pada keluarga Pak Sumedi. Kulihat Ardina kembali tersenyum untukku. Apakah benar untukku atau hanya perasaanku?
"Makasih dek Ardina, sudah berkenan ikut membangun bisnis tempat kakak bekerja. Semoga berkah untuk kita semua." Aku mengirimkan sebuah sms. Sebenarnya banyak yang ingin kukatakan tapi lidah dan tanganku seolah kelu.
"Allahumma Aamiin...sama-sama kak, Ardina juga senang bisa menjadi partner bisnis dengan perusahaan kakak." Sebuah sms balasan masuk.
Aku menatap birunya langit yang dihiasi wan-awan seputih kapas yang berarak. Pada bukudiary-ku Aku menggoreskan perasaan yang tak kumengerti. Perasaan yang menumbuhkan gelisah namun juga sebuah harapan.
"Ini adalah hari yang cerah, namun entah kenapa hatiku terasa hampa. Masihkah ada harapan untuk bisa bersama dengan gadis yang kusayangi, Nurhayati?
Ataukah Engkau Wahai Rabbul Izzati telah memberi penggganti dengan gadis anggun dan bersahaja yang telah mencuri hati ini, Ardina. Hanya kepada-Mu hamba berserah diri..."
***
Pagi itu aku gelisah. Tak ada satupun balasan sms dari Nurhayati. Nomernya juga tidak aktif. Hatiku nelangsa. Belum cukup sampai disitu aku juga tak bisa konsentrasi kerja. Alhasil aku tak mampu melakukan presentasi di depan calon konsumen dengan baik. Cepat menyerah dengan alasan-alasan penolakan yang diajukan calon konsumen.
Sampai setengah hari aku belum mendapatkan satupun referensi calon konsumen yang berpeluang besar membeli produk perusahaan. Aku malu ketika Adikku, Sulis, dan Ridwan menyetor surat pesanan barang pada Mas Asfuri. Itu artinya nanti sore mereka punya jadwal mengantarkan pesanan. Sedangkan aku nihil. Meskipun Mas Asfuri memberikan support tapi tetap saja aku merasa malu dan bersalah.
Adzan dhuhur berkumandang. Setelah makan siang kami sholat berjamaah. Aku kembali luruh dalam do'a. Kenapa bisa semenderita begini?
Bib.
Sebuah sms masuk. Semula aku berharap dari Nurhayati ternyata dari Ardina.
"Assalammualaikum kak, alhamdulillah ada orang kantor yang mau ambil kaligrafi. Rumah beliau di Perumnas Gunung Ibul Prabumulih. Kita disuruh kesana pukul tiga sore."
Aku mengucap hamdalah dalam hati sebagai tanda syukur. Keajaiban datang. Ardina bak penyelamat. Mas Asfuri menepuk bahuku pelan. Senyumnya mengembang.
"Oh ya Ji...sebenarnya ada banyak hal yang kita bisa bicarakan tapi itu nanti saja. Saya berharap kamu bisa konsentrasi kerja. Memang berat menghadapi situasi seperti yang kamu alami saat itu. Bukan hanya kamu sendiri yang pernah mengalami hal itu. Saya juga pernah. Sebelum menikah dengan istriku saya juga sebelumnya mencintia gadis lain. Cuma orang tuaku yang gak setuju karena mereka punya pilihan tersendiri. Semula terasa berat tapi saya malah bersyukur karena dianugerahi istri yang sholihah. Kadang tak semua yang kita harapkan bisa jadi kenyataan. Orang tua biasanya mempunyai pandangan tersendiri dan tentu Allah lebih tahu yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Jadi percayakan pada Allah semata Ji..."
Aku mengangguk haru. Ah betapa perhatianya pimpinanku pada masalah yang tengah kuhadapi dengan memberi nasehat yang menyejukkan.
Sore itu entah kenapa aku melihat senyum Ardina yang ikut menemani memasangkan barang di rumah konsumen terasa jauh lebih indah dari senyum sang surya yang mulai tenggelam di ufuk barat sana.
****
"Kak kalau ada waktu kakak ikutlah ngajar di TPA, habisnya kasian anak-anak kecil di sekitar sini kalau gak ada yang ngajarin ngaji." Seusai sholat isya' Ardina mengajukan sebuah permintaan padaku. Aku, adikku, Ardina dan ibunya berjalan pulang beriringan.
"Lho emang gak ada yang ngajarin ya dek?" Tanyaku. Gadis itu menggeleng perlahan. "Tahun kemarin sih ada ustadz yang ngajar tapi beliau pindah ke Palembang kak. Sejenak aku berpikir karena tidak bisa mengiyakan permintaan itu mengingat pekerjaanku tiap hari yang terjun ke lapangan.
"Terus siapa yang ngajar mereka selepas ustad itu pindah ke Palembang?" Tanyaku lagi. Gadis itu kembali menjawab. "Biasanya cuma adek sama ayah selepas sholat Ashar...tapi ya adek gak bisa rutin."
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Ada keinginan untuk bisa membantu karena pendidikan Islam bagi anak-anak kecil seyogyanya adalah tanggung jawab umat Islam pada umatnya. Mereka anak-anak kecil muslim itu yang akan menjadi generasi penerus penegak kalimat tauhid "Laa ilaha illallaah".
"Oh ya dek...makasih yah berkat adek tadi kakak jadi dapet orderan." Gadis manis itu hanya mengembangkan senyumnya. "Sama-sama kak..."
Ah senyum yang kini jauh lebih indah dari bintang-bintang di langit malam. Kami berpisah di pertigaan. Aku dan adikku berjalan lurus pulang ke rumah sedangkan Ardina dan ibunya belok kiri menuju rumahnya. Perasaan aneh tiba-tiba menyeruak. Perasaan yang sama ketika pertama kalinya aku dan Nurhayati mulai dekat. Perasaan itu menghampiriku. Tapi kenapa ada rasa takut dalam hatiku untuk jatuh cinta. Bayangan kegagalan hubungan cinta antara aku dan Nurhayati seakan enggan beranjak pergi.
Bahkan kenapa setiap jengkal yang kutemui pada kedekatanku dengan Ardina masih melemparkanku pada Nurhayati?
****
Ada rasa kebahagiaan kecil dalam hatiku ketika nomer ponsel Nurhayati bisa dihubungi. Beberapa detik kemudian telponku telah tersambung dengan seseorang yang diseberang. Seseorang yang kurindukan. "Terkadang apa yang kita harapkan tak semuanya menjadi kenyataan. Kata-kata Mas Asfuri tadi siang terngiang d benakku. Kali ini kembali terjadi menimpaku. Bukanya suara Nurhayati yang menjawab telponku namun suara lelaki yang sudah tak asing bagiku. Lelaki yang akan menjadi calon suami Nurhayati. Lelaki pilihan orang tuanya, Burhan.
"Maaf jika anda lelaki yang tahu diri, anda pasti tak akan mengganggu calon istri orang. Sadarkah anda.....???"
Bagai disambar petir di siang bolong. Darahku mendidih. Remuk redam hatiku.
****
Malam yang bertaburan penuh bintang. Bulan purnama yang bulat sempurna. Keindahan langit malam itu seolah tak mampu menghapus sedih di hatiku. Hatiku yang dirundung kesedihan berubah menjadi kebencian. Ya, kebencian itu sekonyong-konyong merayap masuk dalam hatiku dan menutup sebongkah lubang harapan disana. Harapan untuk bisa bersama dengan orang yang kucintai seakan sirna sudah.
****
Pagi menjelang. Hangatnya mentari pagi dan sejuknya udara pagi masih belum mampu mencairkan hatiku yang beku. Tak biasanya adikku bersikap dingin. Sedingin es. Sepanjang sertengah hari ia diam saja. Terkesan menjauh. Aku sendiri bingung harus bagaimana. Aku bertanya-tanya sendiri apa yang sebenarnya terjadi?
"Kamu kenapa sih kok judes begitu?" Tak tahan dengan sikapnya selepas sholat ashar aku hampiri adikku yang tengah duduk di bawah pohon. "Rasanya ada yang harus kita bicarakan." Ia menjawab namun pandanganya tertuju ke depan. Entah apa yang ada dalam pikiranya. Aku ikut duduk di sebelahnya.
"Apa aku punya salah dik?" Adikku itu belum menjawab pertanyaanku. Ia menghela nafas perlahan. "Tak bisakah mas melupakan Nurhayati?" Aku tak menduga akan dicerca pertanyaan begitu. Tak ada gunanya aku harus marah sebab bagaimanapun ia adik kandungku sendiri.
"Aku mungkin masih butuh waktu dik untuk bisa melupakanya. Apa ada yang salah?" Sekilas ia menatap tajam ke arahku, "Tidak ada yang salah, itu hak mas kok jika memang mas mau cinta mati sama Mbak Nur. Hanya saja aku harap mas juga jangan melupakan perasaan orang tua kita, keluarga kita...."
Aku semakin tak mengerti arah pembicaraanya. "Maksudnya...?" "Orang tuanya Nurhayati dan calon suaminya kemarin melabrak orang tua kita..." Adikku kembali memenggal kalimatnya. "Dan mas tahu apa yang diucapkan orang tuanya?" Bagai disengat listrik tentu saja aku terkejut mendengarnya.
"Apa kamu gak bisa mendidik putra kesayayanganmu itu? Tidak bisakah baginya menerima kenyataan bahwa tidak seharusnya ia masih mengharap wanita yang sudah mempunyai calon suami pilihan orang tuanya?"
Botol aqua yang tadi disodorkan oleh adikku terlepas dari tanganku. Darahku mendidih. Hatiku remuk redam. Amarah memuncak.
****
Istigfar... Aji, Istigfar.... Aji, Istighfar...Aji,
Bisikan-bisikan halus di dalam hatiku terus bergejolak. Bertempur dengan bisikan-bisikan jahat yang mencoba menyulut api amarah dalam dadaku akibat perlakuan Burhan dan orang tua Nurhayati.
Apa kamu mau diam saja dihina sedemikian rupa, sampai kapan kamu akan terus menderita?
Astaghfirullahaladhiim,
Bibirku tak henti-hentinya berdzikir. Bergetar menahan gemuruh amarah dalam dadaku.
Jangan kau dengarkan kata iblis yang akan menjeratmu dalam jurang penyesalan. Bersabarlah, hadapilah dengan kepala dingin. Apa kau tak percaya dengan janji Tuhan-Mu?
Air mataku meleleh.
Jauh diseberang sana, andai saja suara itu tak menenangkanku aku mungkin akan lepas kontrol.
"Istighfar anakku...kami tak apa-apa disini. Keluarga kita tetap keluarga yang bermartabat. Tenangkan pikiranmu. Hinaan mereka kelak pasti akan menuai akibatnya. Allah Maha Adil dan Bijaksana. Cobalah untuk lapang dada menerima kenyataan. Insya Allah, Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan memberimu pendamping hidup yang lebih baik asal kamu ikhlas dan sabar. Bukankah kamu mencintai dan menyayangi Nurhayati karena Allah anakku? ikhlaskan dia."
Suara diseberang itu adalah suara ibuku. Ia menelpon ketika tahu aku akan pulang ke Magelang hanya untuk meluapkan amarah. Coba saja sore itu ketika adikku memberi tahu penghinaan yang dilakukan lelaki bernama Burhan dan orang tua Nurhayati itu ada di depanku. Sudah kutantang duel mereka walau harus bertaruh nyawa. Boleh saja ia yang terpilih menjadi suami Nurhayati. Tapi kenapa harus melemparkan hinaan? Melabrak keluargaku dengan melontarkan hinaan yang lebih pedas. Siapa yang tak akan marah dan emosi dihina begitu. Itulah yang terjadi padaku. Aku tak lagi bisa berpikir jernih dan membuat sebuah keputusan bodoh.
Malam itu Mas Asfuri sampai terkejut dan setengah tak percaya aku mengundurkan diri dan balik ke Magelang. Ah, ia pimpinan yang baik. Dengan penuh sikap bijaksana ia memintaku menceritakan duduk permasalahanya.
"Ceritakanlah ji...anggap saja saya ini kakakmu karena saya juga sudah menganggapmu sebagai adik. Disini kita adalah saudara, jika ada satu diantara kita yang tengah mengalami kesusahan maka kita semua juga mengalami kesusahan. Sebaliknya jika ada diantara kita yang mendapat kesenangan kita juga merasakanya."
Aku terharu sekaligus malu. Betapa perhatianya pimpinanku itu padaku. Lantas aku menceritakan dari awal sampai akhir. Ia mendengarkan dengan seksama. Manggut-manggut dan tersenyum.
"Sekali lagi saya ikut prihatin ji. Memang tak mudah menghadapi masalah seperti yang kamu alami. Tapi bukanya tidak ada pemecaham atau solusi. Yang dikatakan ibumu benar. Melampiaskan amarah tak akan menyelesaikan masalah. Cobalah untuk bisa memaafkan dan mengikhlaskan orang yang kamu cintai. Insya Allah ada pengganti yang lebih baik. Yang penting kamu harus jadi orang sukses lebih dahulu. Bukankah itu yang diinginkan orang tuamu?"
Kata-kata ibu dan Mas Asfuri itu bagaikan embun penyejuk yang membasuh gemuruh amarah di dadaku. Aku bersujud terharu.
****
Sepertiga malam terakhir membuatku luruh. Betapa kerdil dan bodohnya diri ini andai tak ada orang-orang terdekat yang menyayangiku aku pasti sudah kalap dan melakukan tindakan bodoh. Aku sadar sepenuhnya. Akulah yang salah. Meskipun aku masih mencintai Nurhayati namun ia akan menjadi istri orang pilihan orang tuanya. Kini aku hanya bisa mendoakan semoga dia wanita yang pernah sangat kusayayangi bahagia dengan pilihan orang tuanya.
Heningnya malam kembali pecah oleh lantunan suara merdu KH. Muammar ZA dari corong Masjid Al-Hidayah.
Bip.
Sebuah sms masuk.
"Assalammualaikum kak, jika kakak lah bangun datang ke masjid yah kak. Kami ingin dengar kakak yang melantunkan adzan."
Subhanallah,
Akankah ini pertanda darimu Ya Allah, mungkinkah gadis itu pengganti Nurhayati?
****
Nurhayati meminta syarat. Ia bersedia menikah dengan Burhan setelah ia menyelesaikan kuliah S1nya di Yogyakarta, dan meminta Burhan menimba ilmu agama di pesantren. Burhan yang seorang begajulan nampak kecewa namun ia sudah terlanjur basah mengejar mimpinya untuk menguasai aset-aset kekayaan milik orang tua Nurhayati. Menerima syarat itu dengan setengah hati. Adalah ponakanku Dwi yang tak sengaja mendengar dan merekam pembicaraan Burhan dengan teman-teman gengnya. Sebuah rencana busuk yang tak pantas. Itulah yang diceritakan adik perempuanku Tia via telepon. Katanya Nurhayati juga menitipkan surat ntukku.
Sebuah tanya menelisik dalam hati. Masihkah kau mencintaiku Nur? Ah, tak bisa kubayangkan. Terasa sesak jika aku terus menerus memikirkanya. Sedih. Namun aku tak menyangka Nurhayati membuat keputusan seperti itu.
"Justru itu bagus menurut ibu Ji, langkah yang cerdas. Yah....Nurhayati mungkin mempunyai keinginan yang mulya untuk menyadarkan Burhan. Wanita manapun akan berpikir seribu kali untuk menerima lelaki macam dia. Semuanya dalam genggaman Allah Subhanahu Wa Ta'ala Ji...jika memang ia jodohmu Insya Allah kalian bisa bersatu. Saran ibu sekarang tenangkan hati dan pikiranmu. Gunakanlah waktu 5 tahun ini bagimu sebagai kesempatan emas untuk menekuni pekerjaanmu. Raihlah kesuksesan dunia dan akhirat dengan berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah. Doa ibu untukmu Ji..."
Aku menutup perbincangan telepon dengan Bu Dzakiyah guru agama waktu aku masih sekolah di SMK. Dada ini terasa lega. Hatiku tentram. Aku bisa kembali tersenyum. Api harapan yang sempat redup itu kembali berkobar. Harapan akan kasih sayang Allah, Tuhan Seru sekalian alam yang hanya pada-Nya segala sesuatu bergantung.
****
Teruntuk engkau yang kucinta,
Semoga rahmat dan karunia Allah selalu menyertaimu mas. Aku menulis surat ini dengan berurai air mata. Maafkan Nur yang lemah dan tak berdaya. Bukan maksud hati Nur mau membebani atau menyakiti perasaan mas. Jujur jika Nur tak mengungkapkan perasaan ini Nur akan jauh lebih tersiksa.
Demi Allah,
Nur mencintai dan menyayangi Mas Aji semata karena Allah. Nur tak bisa berpaling ke lain hati. Nur sangat berharap bisa bersama mengarungi hidup dalam bingkai mahligai rumah tangga hanya denganmu mas, bukan orang lain. Tapi kenapa cobaan ini begitu berat bagi Nur untuk dihadapi? Nur akan dijodohkan oleh lelaki yang Nur tahu bagaimana buruk perilakunya. Nur sadar tak bisa melawan kehendak orang tua. Alhamdulillah sekeras-kerasnya orang tua Nur, mereka menerima syarat yang Nur pinta sebelum pernikahan itu dilaksanakan, Nur ingin meneruskan kuliah S1 di Jogja sembari mondok di Ponpes Pandanaran seperti yang Nur cita-citakan selama ini. Nur juga meminta syarat agar Burhan bersedia menungguku sampai lulus kuliah dan ia juga harus mondok di pesantren juga. Nur lakukan hal ini karena Nur yakin akan kekuasaan Allah Azza Wa Jalla, sebagai bentuk bakti Nur sama orang tua, keinginan untuk memiliki seorang imam rumah tangga yang sholih seperti dirimu mas, dan juga entah kenapa Nur merasa masih mungkin bisa hidup bersama dengan orang yang sangat Nur sayangi, yakni dirimu mas. NURHAYATI MENCINTAIMU KARENA ALLAH.
Doa Nur untukmu Mas.
Aku menggigil membaca goresan tangan Nurhayati pada sepucuk kertas dalam genggamanku.
Subhanallah,
Sampai begini besarkah perasaan sayangmu padaku Nur? Air mataku meleleh.
****
Lima Tahun Kemudian....
Sebuah mobil Toyota Avanza memasuki pelataran rumah Pak Sumedi. Seorang lelaki bertubuh tinggi kurus, raut wajahnya menyejukkan seolah terbiasa terbasuh air wudhu turun dari mobil diikuti oleh seorang wanita setebgah baya yang mengenakan busana muslimah.