Lihat ke Halaman Asli

Bias Asa Cinta Nadia

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bunga-tulip.jpg

Bias Asa Cinta Nadia Cerpen Oleh: Maz Puji Raut kesedihan mendalam nampak jelas tergambar di wajah Nadia. Gadis anggun itu hanya mampu menerawang ke arah gumpalan awan yang dilalui oleh pesawat terbang yang membawanya dari Surabaya menuju Jakarta. Kabar tentang kecelakaan tragis yang menimpa Naufal dan calon istrinya bak petir di siang bolong baginya. Naufal adalah anak sang majikan ke dua orang tuanya yang sudah dua puluh enam tahun mengabdi. Ayahnya bekerja sebagai sopir pribadi pak Hermawan seorang pengusaha properti terkemuka. Sedangkan ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Konon yang memberi nama dirinya adalah bu Anisa istri pak Hermawan karena keluarga itu tidak dianugerahi anak perempuan. Maka bu Anisa dan pak Hermawan yang merupakan orang yang santun dan dermawan sangat gembira menyambut kelahiranya dua puluh tiga tahun silam. "Subhanallah, cantik sekali anak ini, bolehkah kami yang memberi nama bi Ijah?" Cerita tentang masa kecilnya mengalir pelan diantara lantunan dzikir yang terucap di bibirnya. Kedua pipi gadis itu sembab oleh air mata yang sedari tadi jatuh membasahi. "Monggo nyonya, kami ikut senang dengan nama yang akan nyonya berikan untuk anak kami." Jawab ibunya. "Ah bibi ni kebiasaan, jangan panggil saya dan suami saya dengan sebutan tuan dan nyonya. Semua manusia itu sama di mata Allah bi...yang membedakan hanyalah ketakwaanya." Ungkap bu Anisa yang disambut oleh suaminya pula dengan nada serupa. "Benar paman Suryana dan bibi Khadijah, panggil saya dan ibu ya dengan panggilan bapak dan ibu saja. Bagi kami paman dan bibi sudah kami anggap sebagai saudara." Kedua orang tua Nadia hanya mengangguk tersenyum dalam hati meskipun sebenarnya sungkan tapi mereka sangat mengagumi kerendahan hati keluarga milyarder itu. "Oh ya bi, gimana kalau Nadia Fitri. Bolehkah kami menamainya dengan Nadia Fitri...?" Lanjut bu Anisa. "Subhanallah, nama yang bagus nyon...eh bu Annisa." Sahut ibunya Nadia hampir kelepasan ngomong.

***

Naufal adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Jarak usia dengan kakaknya yang ke empat berselisih sepuluh tahun. Keinginaan untuk memiliki seorang anak perempuan rupanya begitu besar namun Allah berkehendak lain. Saat kelahiran anak yang kelimapun pasangan itu di anugerahi kembali seorang anak lelaki yang diberi nama Muhammad Naufal. Nadia sendiri berselisih tiga tahun dengan anak sang majikan. Semasa kecil bagi Nadia, Naufal adalah ibarat sosok kakak yang baik untuk adiknya. Apalagi Nadia adalah anak semata wayang setelah ibunya dipanggil kembali menghadap Allah karena penyakit kanker yang diidap ibunya ketika usianya baru menginjak tiga tahun. Betapa tidak, semasa kecil mereka naik sepeda berboncengan ke sekolah yang tak jauh dari rumah mereka. Saat mereka duduk di bangku SMP tak segan-segan Naufal sampai harus berantem dengan anak-anak jalanan yang mengganggunya. Sepeninggal almarhumah ibunya terang saja bu Anisa dan Pak Hermawan semakin sayang padanya dan sudah menganggapnya layaknya anak sendiri. "Jangan menangis sayang ada kami disini, semuanya sangat sayang pada Nadia." Air mata Nadia tak kuasa berhenti menetes ketika mengingat saat-saat ia harus kehilangan seorang ibu yang sangat mencintainya. "Iya dek Nadia jangn sedih lagi, kakak jadi ikut sedih." Saat itulah pertama kali ia melihat Naufal menangis sedih. Dengan segenap cinta dan kasih sayang bu Anisa mendekapnya yang saat itu masih belum begitu tahu arti sebuah kehilangan.

***

Ruang ICU RS. Fatmawati, Jakarta. Gadis berjilbab itu menghambur memeluk seorang wanita paruh baya yang sangat menyayanginya, Bu Anisa. Tangis kedua wanita itu pecah. "Bagaimana keadaan kak Naufal bunda?" Setengah terisak Nadia menanyakan keadaan Naufal. "Kakakmu masih kritis nak, Dewi yang tidak tertolong. Dia meninggal seketika dalam kecelakaan itu." Air mata gadis itu kian deras mengalir. "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun..."

****

Seorang pemuda terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Detak jantungnya masih lemah. Berbagai peralatan medis menempel pada tubuh pemuda itu. Nadia tak kuasa melihat kondisi Naufal yang sudah di anggap sebagai kakaknya sendiri. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan untuk menahan tangis. Namun air mata gadis itu tak berhenti membanjiri kedua pipinya. Gadis itu luruh dalam sujudnya. Siang malam ia duduk di samping pembaringan pemuda itu. Lantunan ayat-ayat suci Al Quran senantiasa meluncur dari bibirnya. Doa yang tulus mengalir dari dalam kalbu.

"Wahai rabb, tuhanku pemilik alam semesta. Engkau telah menganugerahkan rasa cinta di dalam hati hamba. Saat hamba harus kehilangan seorang ibu yang sangat menyayangi hamba, Engkau memberi pengganti seorang wanita yang sangat mulia yang sangat menyayangi hamba dan hambapun sangat menyayanginya. Disaat hamba merasa seorang diri karena tidak memiliki seorang adik ataupun kakak, Engkau menganugerahkan kepada hamba seorang kakak yang sangat menyayangi hamba dan hambapun sangat menyayanginya. Wahai rabbku, Engkau yang maha menetapkan segala qada dan qadar setiap insan di dunia ini, sembuhkanlah kakak yang sangat hamba sayangi."

Sepanjang siang dan malam gadis itu menemani Naufal yang masih tak sadarkan diri. Keletihan yang teramat sangat membebani tubuh gadis itu sehingga ia terlelap di samping pembaringan dengan Al Quran masih terpegang di tangan kananya. Nadia bermimpi seolah melihat dua orang wanita yang nampak sangat bahagia berada di sebuah taman yang sangat indah. Dia sendiri belum pernah melihat taman seindah itu. "Nadia kemarilh sayang..." Nadia seolah merasa tak asing lagi dengan wanita cantik yang memanggilnya. "Ibu...!" Pekik Nadia antara percaya dan tidak percaya. Yah, ia yakin bahwa wanita cantik yang memanggilnya itu adalah ibu kandungnya. Betapa bahagia hatinya bisa kembali berjumpa dengan sang bunda yang telah lama meninggalkanya. Seketika ia sangat rindu dengan pelukan sang bunda. Air mata kembali menetes. Ketika ia berlari ingin memeluk sang bunda, justru sang bunda kian menjauh. "Kenapa ibu menjauh, tak rindukah ibu dengan Nadia? Nadia sangat ingin memelukmu ibu." Air matanya kian deras menetes. Namun dilihatnya sang bunda tersenyum, "Nak...belum saatnya bagi kita untuk berkumpul kembali. Percayalah tiap saat ibu sangat merindukanmu. Ibu sangat menyayangimu. Doa ibu selalu untukmu." Senyum sang bunda perlahan mampu meluluhkan kerinduanya, "Tahukah ibu saat ini Kak Naufal tengah kritis karena kecelakaan yang menimpanya. Nadia, sangat sedih. Nadia sangat menyayangi kak Naufal ibu. Tapi entah kenapa dalam hati Nadia mendambakan sosok calon imam seperti kak Naufal? tapi Nadia merasa tak pantas menjadi pendampingnya karena bagaimanapun juga keluarga kak Naufal adalah majikan kita." Mendengar keluh kesah putri semata wayangnya itu, wanita cantik itu hanya tersenyum. "Ketahuilah anakku, Insya Allah keluarga Naufal adalah keluarga yang diberkahi, keluarga yabg dermawan, keluarga yang memegang teguh ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. Bahkan ketahuilah anakku sebelum ibu kembali dipanggil menghada-Nya, saat kalian tengah bermain-main dengan riangnya di halaman rumah...bu Anisa mengutarakan harapan dan keinginanya semoga kelak kamu dan Naufal bisa membina sebuah keluarga." Sorot mata Nadia seketika berbinar mendengar jawaban sang bunda. Gadis cantik di sampingnya ikut menimpali. Nadia terkejut karena akhirnya dia bisa mengenali siapa gadis cantik di sebelah ibunya. "Mbak Dewi...!" Pekik Nadia. Gadis cantik di samping ibunya itu kembali tersenyum. "Mbak sangat bahagia ketika mas Naufal datang meminang. Mbak merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia mendapatkan calon suami seperti mas Naufal. Mbak yakin dia orang yang sholih. Tapi takdir Allah berkehendak lain. Mbak juga bahagia andaikata mas Naufal mendapat pengganti pendamping hidup seperti dik Nadia." Nadia hanya mampu berkaca-kaca mendengar penuturan Dewi calon istri Naufal. Sebuah sentuhan lembut pada bahunya membangunkan Nadia dari tidurnya. "Ada apa sayang, kenapa kamu memanggil nama Dewi dan ibu kamu?" Nadia bermimpi ditemui almarhum ibu dan mbak Dewi ma...." Bu Anisa tersenyum. Direngkuhnya tubuh Nadia yang kembali terisak setelah menceritakan perihal mimpi yang dialami gadis itu dan membelai lembut jilbab putih yang senantiasa melekat di kepalanya. "Iya nak...sewaktu mama melihat kalian yang selalu rukun saat kalian masih kecil dulu, mama memang pernah membicarakan hal itu pada ibumu." Wanita setengah baya itu menceritakan pada Nadia tentang pembicaraan mereka dua puluh tahun lalu. "Tapi apa pantas bu jika Nadia bersanding dengan ananda Naufa?" Bu Anisa tersenyum mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh bu Khadijah. "Lho memangnya kenapa bi?" "Ya...ka..karena Nadia hanyalah putri seorang..." Belum selesai bu Khadijah berbicara bu Anisa kembali memotong karena sudah menduga arah pembicaraan ibunya Nadia ke arah perbedaan status sosial. "Bi...demi Allah saya dan mas Hermawan tak pernah membedakan status sosial. Kami sudah menganggap Nadia seperti anak kami sendiri." Nadia terenyuh mendengar penuturan wanita berhati mulia dihadapanya yang tak pernah luntur dimakan waktu. "Lantas jika Allah berkenan memberi pertolongan untuk Naufal sehingga ia bisa sadar dari komanya, apakah engkau berkenan mendampinginya?" Tanpa mampu berkata-kata lagi Nadia bersimpuh, meraih tangan wanita berhati mulia itu, menciumnya dan menangis di pangkuanya.

****

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline