Lihat ke Halaman Asli

Munajat Cinta Syarifah

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Haikal dan Syarifah | Munajat Cinta Syarifah

Tuban, 20 September 2013.

Hari itu adalah hari yang bersejarah untuk kakakku, Lukman Hakim. Bersanding dengan seorang bidadari yang kini menjadi pendamping hidupnya, Nabila Aulia Dewi. Lebaran kemarin ketika kami sekeluarga bersilaturahmi ke rumah Paman Haris yang tinggal di kota Malang itulah awal mula kakakku bertemu denganya. Mbak Nabila terhitung masih keluarga jauh dengan Bulek Fatimah istri Paman. Setelah melakukan taaruf selama tiga bulan akhirnya Mas Lukman mempersunting Mbak Nabila.

"Mas yakin kok nduk cinta itu akan datang dengan sendirinya setelah menikah nanti karena pada dasarnya jika setiap kaum muslim melangsungkan pernikahan semata karena berharap ridha Allah Subhanahu Wa Ta'alaa dan ittiba' sunnah Rasulullah Shollallaahu 'Alaihi Wa Sallam, Insya Allah itulah pernikahan yang diberkahi dan rumah tangganya Insya Allah sakinah, mawaddah, dan warahmah..."

Aku tersenyum mendengar penuturan kakakku. Kulihat betapa besarnya keyakinan kakakku akan fadhilah sebuah syariat yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Shollallaahu 'Alaihi Wa Sallam, pernikahan. Bahwasanya pernikahan itu menyempurnakan separuh agama dan separuhnya lagi adalah kesabaran.

Sambil mengelus kerudung yang melingkar di kepalaku kakakku satu-satunya ini kembali bekata, "Makanya nduk...doakan saja moga pernikahan dan rumah tangga masmu ini semoga diberkahi oleh Allah Subhanahu Wa Ta'alaa dan langgeng hingga kembali dipertemukan di akhirat nanti."

"Siaaaap komandan...!!!" Kakakku tergelak. Ayah dan ibu yang duduk di kursi depan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah polah putra-putrinya yang katanya masih saja menggemaskan seperti saat kami masih kanak-kanak dulu.

Mobil Avanza hitam metalik yang dikemudikan ayah berjalan dengan tenang menyusuri tiap ruas jalan kota Tuban tempat kelahiranku.

***

Sebuah mobil Fortuner hitam metalik yang sudah tak asing lagi bagiku perlahan memasuki halaman rumah. Dadaku berdegup kencang ketika dari jendela ruang makan yang menghadap ke halaman depan rumah kulihat seorang pemuda bertubuh tegap keluar dari mobil mewah itu bersama dengan lima orang lainya.

Sebuah kopiah hitam menggantung di kepalanya menutupi rambutnya yang hitam lebat. Pemuda itu berwajah bersih dan bercahaya karena dawamul wudhu senantiasa menyelimuti wajahnya yang kuning langsat. Dengan mengenakan baju koko putih dan celana panjang hitam bagiku ia lebih rupawan dari bintang sinetron yang sering muncul di televisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline