Lihat ke Halaman Asli

Pujakusuma

Mari Berbagi

Jeruk Manis dari Warga Wadas

Diperbarui: 15 Juli 2022   11:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petugas melakukan pengukuran lahan di desa Wadas. Dok InewsJateng

"Bro, besok kamu ke Wadas ya. Liput pengukuran lahan penambangan kuari. Besok BPN mulai lakukan pengukuran lagi,"

Itu bunyi pesan WA dari redaktur saya di Jakarta, Senin malam. Seperti biasa, saya hanya bisa menjawab "Siap bos!".

Ya seperti prajurit, saya nggak mungkin menolak perintah redaktur saya itu. Kalau berkelit,  karier bisa ancur.

Wadas. Saya tak asing dengan desa di Purworejo itu. Saat pengukuran lahan untuk penambangan batu andesit di desa itu 8 Februari lalu, saya juga ada di sana. Saya melihat langsung, bagaimana ketegangan terjadi antara aparat dengan warga yang menolak penambangan kuari.

Pikiran saya melayang pada kejadian itu. Waktu itu suasana begitu mencekam. Teriakan, tangisan bahkan aksi kejar-kejaran berujung penangkapan. Kali ini kasusnya sama. Akan ada pengukuran di sana. Dalam hati cukup was-was juga. Mungkin nggak ya bakal terjadi chaos lagi?

"Hati-hati. Mayoritas tanah yang diukur kali ini adalah tanah warga yang dulu menolak penambangan. Ada selebaran aksi penolakan yang ramai di media sosial," balas redaktur saya.

Ah...tambah miris juga rasanya. Berangkat nggak ya? Nanti geger lagi. Nanti bentrok lagi. Apa saya pantau dari kejauhan saja? Update peristiwa dan wawancara dari telepon atau menunggu presscon?

Tapi naluri jurnalistik saya bergejolak. Saya termasuk orang yang punya prinsip, berita hasil pantauan lapangan lebih istimewa daripada sekadar menghadiri presscon atau wawancara via telephone.

Akhirnya, saya memutuskan berangkat ke Wadas hari itu juga.

Selama perjalanan Semarang-Wadas, saya kontak beberapa informan di sana. Bertanya kondisi terkini dan suasana. Sejumlah informan mengatakan, suasana Wadas aman-aman saja. Berkali-kali saya pastikan, dia jawab hal yang sama. Wadas kondusif.

Saya awalnya nggak percaya, tapi setelah saya masuk ke Desa Wadas, saya benar-benar merasakan hal yang berbeda. Di pintu masuk desa, tak ada masyarakat yang berjaga. Padahal dulu biasanya, mereka menjaga ketat pintu masuk. Semua pendatang dicek dan ditanyai keperluannya. Kali ini, saya bebas nyelonong boy tanpa halangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline