Besok, 9 Desember 2020, Indonesia akan mencatatkan sejarah dengan menggelar pesta demokrasi di tengah pandemi. Besok, dunia akan mencatat apakah keputusan Indonesia tetap menggelar Pilkada Serentak di tengah pandemi adalah keputusan tepat, atau justru blunder yang menyebabkan nyawa-nyawa rakyatnya melayang.
Sejak pagebluk bernama Covid-19 menjangkiti tanah air awal tahun lalu, sampai saat ini belum ada tanda-tanda mereda. Meski 1,2 juta vaksin yang katanya ampuh menangkal penyebaran Corona, toh jumlah itu hanya sepersekian persen dari total penduduk Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa.
Pelaksanaan Pilkada Serentak di sejumlah Provinsi di Indonesia sempat menjadi pro kontra. Ada yang sepakat tetap digelar karena itu adalah amanat konstitusi, ada yang memilih menunda demi menyelamatkan jutaan nyawa. Tapi keputusannya, Pilkada tetap jalan terus, dengan catatan protokol kesehatan yang diperketat.
Simulasi dan persiapan pelaksanaan Pilkada Serentak dengan protokol kesehatan sudah dilakukan penyelenggara pemilu. Namun apakah simulasi itu akan berjalan sesuai harapan? Tentu tidak ada yang tahu.
Pilkada selalu digelar penuh dengan kemeriahan. Orang-orang bersemangat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) demi memenangkan calon pemimpin yang diidamkan. Pesta pora kemenangan selalu terjadi usai pasangan yang diidolakan berhasil menduduki jabatan. Lalu tiba-tiba, semuanya harus dipaksa tak berlebihan karena alasan penyebaran virus Corona. Tak boleh ada keramaian, tak boleh ada kerumunan dan semuanya harus menahan diri melakukan kemeriahan.
Pasti Pilkada Serentak esok hari akan sepi. Namun yang patut dikhawatirkan adalah, minimnya partisipasi masyarakat untuk datang ke TPS guna melaksanakan hak-hak konstitusi.
Tingginya kasus Covid-19 tentu menjadi alasan pembenar masyarakat enggan datang ke TPS. Meski skenario protokol kesehatan dipastikan ketat, toh traumatis masyarakat akan banyaknya nyawa melayang akibat Covid-19 tetap menghantui.
Dalam pemilu biasa saja, tingkat partisipasi masyarakat tidak pernah mencapai 100%. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat, tingkat Golput pada Pilpres 2004 sebesar 23,30%, tahun 2009 mencapai 27,45 dan pada 2014 mencapai 30,42%. Sementara data Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat, sebanyak 19,24% masyarakat Indonesia memilih tidak menggunakan hak suaranya pada Pilpres 2019 lalu.
Jika dilihat dari fakta itu, tidak menutup kemungkinan angka Golput pada Pilkada Serentak 2020 ini akan semakin meningkat. Selain masih ada yang sok idealis dan menganggap calon pemimpin tak kompeten, ancaman Covid-19 juga menjadi alasan.
Di beberapa daerah yang menggelar Pilkada Serentak, kasus penyebaran Covid-19 masih cukup tinggi. Tentu ini membuat masyarakat cemas untuk mendatangi TPS yang pastinya merupakan tempat kerumunan orang.