Lihat ke Halaman Asli

Sejarah Kebangkitan Majelis Taklim di Kota Padangsidimpuan Tahun 1901-2020 Terhadap Perspektif Teori siklus Ibnu Khaldun

Diperbarui: 2 Desember 2023   21:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh:Puja Indah Pratiwi  Mahasiswa Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi 

Topografi wilayah Padangsidimpuan berupa lembah yang dikelilingi oleh Bukit Barisan. Gunung Lubuk Raya dan Bukit (Tor) Sanggarudang yang terletak berdampingan di sebelah utara kota merupakan puncak tertinggi dari bukit dan gunung yang mengelilingi kota ini. Saat ini salah satu puncak bukit yang terkenal di Padangsidimpuan adalah Bukit (Tor) Simarsayang. Selain dikelilingi bukit dan gunung, Padangsidimpuan juga dilintasi banyak sungai yaitu: sungai BatangAyumi, Aek Sangkumpal Bonang, Aek Rukkare yang bergabung dengan Aek Sibontar, dan Aek Batang Bahal. 

 Secara historis, sejak zaman dahulu Padangsidimpuan merupakan tempat persinggahan para pedagang dari berbagai daerah, pedagang ikan dan garam dari Sibolga - Padangsidimpuan - Padang Bolak (Paluta)-Padangsidimpuan - Sibolga. Dianalisis topografi  Topografi daerah ini, yang dilintasi banyak sungai sebagai sarana transportasi masa itu, maka dapat dipahami mengapa sejak zaman dahulu Padangsidimpuan merupakan daerah persinggahan para pedagang dari berbagai daerah. Seiring perkembangan zaman, tempat persinggahan ini semakin ramai dan kemudian menjadi kota. 

Ketika Padri berkuasa (1821-1837) kota ini dibangun pertama kali sebagai benteng pada 1821 oleh pasukan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Lelo. Pada zaman penjajahan Belanda, Padangsidimpuan dijadikan pusat pemerintahan oleh penjajah Belanda di daerah Tapanuli (1885-1906). 

 Peran Padangsidimpuan sebagai tempat persinggahan para pedagang ternyata terus berlanjut pasca kemerdekaan. Berdasarkan keterangan salah seorang saksi sejarah bahwa opungnya (H. Abd. Rahim Harahap (1923-2001) merupakan seorang saudagar getah (toke getah) dari Kecamatan Batang Angkola selalu datang ke Padangsidimpuan pada hari Poken, yaitu hari Senin, demikian juga saudagarsaudagar yang lain. Data ini kemudian diperkuat dengan hasil wawancara saksi sejarah lainnya, Aswin Harahap berusia 75 tahun "Mulai dari Opung kita, kota Padangsidimpuan ini sudah menjadi tujuan pedagang di wilayah Tapanuli, rmasuk saudagar-saudagar kopi Sipirok."

 Analisis terhadap data-data tersebut dapat dipahami bahwa sepanjang sejarah, bahkan sebelum Padri, masa Padri (1821) dan kekuasaan Belanda hingga saat ini, Padangsidimpuan memiliki peran strategis di wilayah Sumatera bagian Tenggara, baik karena potensi alamnya, adat istiadatnya, maupun fungsinya sebagai kota pendidikan dan pusat perekonomian bagi wilayah-wilayah di sekitarnya. Basyral Hamidi menggambarkan posisi Padangsidimpuan sepanjang sejarah bahwa:

."Padangsidimpuan sejak dahulu menjadi kota transit dan telah berkembang sebagai kota dagang dan pusat pemerintahan."Letak geografis Padangsidimpuan yang sangat strategis serta perannya sebagai pusat pemerintahan dari masa ke masa, mendukung lajunya perkembangan Padangsidimpuan dibanding wilayah Tapanuli Bagian Selatan lainnya, karena masuknya ide-ide dan pengaruh dari luar.
 

Secara sosiologis, dalam tradisi orang Mandailing, memiliki keluarga besar dan anak pertama laki-laki yang dijuluki Si Suan Bulu adalah sesuatu yang diidam -idamkan. Si Suan Bulu bermakna penanam bambu, yang artinya pembuka huta yang baru. Filosofi dari Si Suan Bulu adalah bahwa pada zaman dahulu huta (kampung) yang baru dibuka dipagari bambu sebagai batas sekaligus benteng kampung. 

Maka memiliki anak pertama laki-laki merupakan keinginan semua orangtua ketika itu, dengan harapan anak-anaknya menyebar kemana-mana, membuka kampung dan menjadi penguasa di daerah itu.Analisis peneliti tradisi ini kemudian bergeser dengan datangnya Islam ke daerah ini, yang awalnya membuka kampung dengan tujuan menjadi penguasa daerah tapi kemudian tujuan itu berkembang untuk menyebarkan Islam, sebagai pemuka agama. Pergeseran ini disebabkan kepulangan pemuda-pemuda mandailing dari menuntut ilmu dari tanah Haramain, Makkah dan Madinah.

 Berdasarkan analisis terhadap data-data sejarah masjid-masjid pada periode Perkembangan majelis taklim secara kuantitas pada periode ini ditandai dengan bertambahnya jumlah majelis taklim dengan ditemukannya kelompok kelompok pengajian yang tidak hanya di masjid dan Sikola Arab tapi juga di rumah rumah. Secara kualitas perkembangan majelis taklim pada periode ini ditandai dengan adanya pengembangan isi (materi) taklim yang pada awalnya hanya Tauhid dan Ibadah dengan pendekatan Tasawuf, maka pada periode ini berkembang, dengan adanya penambahan materi praktik membaca Al-Qur'an secara bersamasama dengan pemilihan surat, zikir dan doa tertentu. Penyampain materi pengajian masih menggunakan metode umumnya pada masa itu, yang lebih bersifat hafalan dan ceramah, tanpa penjelasan yang rinci. Majelis taklim pada periode ini dibina oleh seorang ustaz sebagai figur sentral, memunculkan sifat fanatisme pada figur ustaz dan berkembang di daerah pedesaan.

Pasca pemberontakan G. 30 S/PKI tahun 1965 semangat keberagamaan masyarakat menguat baik dari kalangan orangtua maupun pemuda. Gerakan PKI yang anti agama dan pancasila menimbulkan kesadaran masyarakat untuk kembali kepada ajaran Islam dengan mengembangkan kembali pusat-pusat pendidikan keagamaan umat. Setelah berpusat di masjid, maka pengajaran agama untuk masyarakat umum dikembangkan di madrasah (Sikola Arab) yang pada awalnya dibangun untuk pendidikan generasi muda. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline