"Minimalism is not substraction for the sake of substraction, minimalism is substraction for the sake of focus."
Khalila Indriana
Pernah gak sih, kamu telat menghadiri sebuah event penting atau bahkan remeh hanya karena terlalu lama berdiri memilih pakaian di depan lemari? Biasanya, ini terjadi pada perempuan, namun saat ini antara perempuan dan laki-laki menjadi sama saja.
Setiap manusia yang hidup di masa kini dimanjakan oleh beragam macam kemudahan untuk terus mengisi dan mengisi isi lemari mereka. Yang tertarik dengan diskon-diskon bertebaran di marketplace tak hanya para puan, tuan-tuan pun merasakan kegirangan. Hal ini, apabila disadari merupakan menjadi kebiasaan membudaya yang semakin membutakan.
Bagaimana tidak, coba saja dibayangkan, jika kita terlalu sering membeli pakaian, maka apa yang akan terjadi setelahnya? Iya, rumah semakin sesak dengan pakaian dan akan mengakibatkan masalah baru setelahnya,
"Duh, baju-baju lama ini enaknya aku apakan?"
" Dibuang gak ya, eh tapi sayang"
"Yah, lemariku udah gak cukup, apa perlu ya aku beli lemari baru lagi?"
Monolog-monolog tadi akan sering terdengar di dalam keseharian. Tak bisa dipungkiri, sebuah kekalapan yang tak tertahan membuahkan kebingungan dalam pikir tuan dan puan. Hidup yang sebelumnya sederhana, menjadi rumit ulah dari isi lemari pakaian.
Aku membenarkan, bahwa pakaian memang bagian dari kebutuhan utama, tapi rasionalisasi itu menjadikan banyak orang menjadi buta. Nafsu dan ego tak sepenuhnya bisa disalahkan, sebab memang sosial budaya dan gaya hidup turut mengambil bagian. Sebut saja begini,
"Eh coba deh liat baju, wah kayaknya anak orang kaya!"
"Ih bajumu kok gak ganti-ganti, gak punya uang buat beli ya?"
Atau tren yang sempat viral dan turut menyasar di berbagai pusat perbelanjaan dan universitas-universitas 'biasa' hingga universitas para 'sultan' yaitu, "Berapa Harga Outfit Lo!",
Jujur hal ini sempat menjadi lawakan dalam lingkaran pertemananku, seperti ini