"Kalau suatu saat aku diberi kesempatan untuk menjadi orang normal, kesempatan itu tidak akan aku terima Puj. Karena aku bangga, sebagai manusia pengidap dispraksia."
Tulisan ini bersumber dari temanku yang aku telah kenal lama, dulu saat masa Sekolah Menengah Pertama. Aku dan dia tak sengaja bertemu saat bersama-sama menjadi peserta pelatihan jurnalistik se-Jawa Timur di salah satu hotel di Kota Batu, Malang. Terhitung sudah hampir delapan tahun aku dan dia berteman. Aku memang termasuk tipe anak yang bisa dibilang mudah sekali menjalin dan akrab dalam membangun pertemanan dengan orang lain. Salah satunya, dengan temanku yang satu ini.
Awalnya, aku menganggap temanku ini ya seperti orang normal pada umumnya, malah cenderung aktif. Kenangan pertama kali aku dan dia membangun pertemanan adalah ketika pada hari terakhir pelatihan dimana para peserta diberikan challenge untuk membuat sebuah rubrik bersama.
Semua peserta pelatihan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, dan di kelompokku, aku menjadi anak asal Madura sendirian, sisanya adalah dari luar Madura. Yah, wajar lah, saat itu aku jadi super insecure. Sebab, teman-teman berkomunikasi menggunakan Bahasa Jawa, sedangkan aku? Sama sekali tak memahaminya saat itu. Aku merasa tersisihkan, saat aku ingin berpendapat, aku menimbang-nimbang banyak hal, dari mulai malu, aku minoritas, juga karena khawatir pendapatku dianggap tidak cemerlang.
Hingga akhirnya, ada ia yang datang menjemput bola. Temanku ini, Fita (bukan nama sebenarnya) menghampiriku, dia seolah mengerti akan perang batin dalam diriku. Ia memberikan aku ruang untuk bersuara, dan ternyata semua teman-teman satu kelompokku itu menyetujui. Kami bekerja bersama, hingga aku masih mengingat kenangan yang begitu mengesankan bahwa saat itu kelompok kami mendapat penghargaan kelompok dengan rubrik terbaik. Tentu aku bahagia sekali.
Dari sana, aku dan Fita mulai dekat, kami sering berbagi hal seputar kepenulisan. Saat naik kelas 12 SMK, aku lepas kontak dengannya. Dan, betapa senangnya aku, beberapa pekan yang lalu, ia kembali menghubungiku lewat akun facebook yang jarang sekali aku buka. Kami kembali bertukar cerita. Malam itu, dia meneleponku, rindu katanya. Ia sekarang kuliah di Jogja, dan aku di Malang.
Yah, sebagaimana anak kuliahan pada umumnya, yang dijadikan keluh-kesah tentu kalau bukan masalah hati ya manis pahit dinamika perkuliahan. Tak sengaja, aku berkata padanya kalau di semester ini, aku menempuh mata kuliah pendidikan inklusi, Ia menyimak seperti biasanya. Tanpa kusangka, diujung percakapan dia mengatakan satu hal yang aku juga kaget mendengarnya, ia berkata seperti ini,
"Eh Puj, mau aku beri tahu rahasia ga? Asal kamu tau, aku dispraksia."
Mendengarnya tentu aku kaget. Sebab, aku sedikit banyak tahu mengenai dispraksia ini seperti apa. Tentu, hasil membaca-baca di beberapa buku perkuliahan juga berkat penjelasan dari dosenku di kelas. Namun, ada satu hal yang membuatku penasaran dan ingin bertanya langsung terkait bagaimana Fita bisa dealing dengan keadaan yang ia alami.
Untuk kamu yang belum mengetahui, dispraksia adalah sebuah gangguan yang terjadi pada perkembangan koordinasi gerak. Biasanya, anak-anak dispraksia lemah dalam gerak motorik kasar, motorik halus, dan pada sebagian orang biasanya berpengaruh pada kemampuan ia berbicara. Hal ini yang aku pelajari melalui teori di perkuliahan. Namun yang semakin membingungkan bagiku adalah, kalau benar begitu, mengapa kemudian Fita bisa begitu gesit kesana kemari, cepat saat mengetik, dan lancar sekali dalam berbicara? Mengapa teori yang ada seolah bertentangan dengan kenyataannya.