Lihat ke Halaman Asli

Puja Nor Fajariyah

TERVERIFIKASI

Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Pendidikan, Masihkah Dirindukan?

Diperbarui: 2 Mei 2020   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

malukunews.co

Beranjak masuk hari kedua di bulan Mei, mengintip media sosial sesak akan ucapan-ucapan memperingati hari pendidikan nasional. Beragam opini tertuai, dari mulai harapan, sanjungan, dan kritik penuh penegasan. 

Tidak ada yang salah, ini semua menjadi penanda rakyat masih menganggap pendidikan sebagai sebuah objek kepedulian. Banyak diksi dipakai, tanda bahwa manusia di tanah ini masih berperasaan. Harap bila otak penerima pesan tidak dapat menangkap makna, hatinya dapat berperan sebagai indera perasa.

"Pendidikan, masihkah dirindukan?"

Menjadi sebuah pertanyaan yang muncul di benak penulis. Bukan tanpa sebab, hal ini karena adanya fakta kesenjangan terpampang nyata di depan mata. Namun, sedikit yang merasa. Pernah dulu penulis membaca buku karya Munif Chatib yang berjudul "Gurunya Manusia" dan "Sekolahnya Manusia." Dua buku yang begitu menggungah, menyadarkan sekaligus menguak sedikit banyak wajah dari pendidikan negara ini. 

Di sana tertulis, bagaimana seharusnya sebuah sekolah dan guru menjadi dua elemen penting yang menentukan seberapa suksesnya sebuah penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah sesuatu yang suci. Sesuatu yang di dalamnya terdapat proses perjuangan melawan ketidaktahuan. 

Sebagai seorang mahasiswa yang belajar di bidang pendidikan, penulis akrab sekali dengan berbagai tetek bengek berkaitan dengan pendidikan. Sempat penulis berpikir, kalau misalkan dalam pendidikan, menjadi sosok guru dan sekolah dari manusia itu sebuah keharusan, tapi mengapa sedikit sekali yang menyinggung perihal menjadi "Muridnya Manusia?". Seolah, ketika sebuah sistem pendidikan tidak berjalan mulus, maka yang salah adalah sistem sekolahnya atau guru yang kurang paham akan keadaan. 

Pelik memang kenyataan yang ada, namun jangan dikesampingkan kenyataan bahwa krisis moral pelajar bukan lagi sebuah hal yang perlu dipertanyakan. Saking banyaknya kasus yang muncul, hal ini menandakan bahwa telah berkurang sosok pelajar yang berperan sebagai muridnya manusia. Seolah, sosok guru serta sekolah yang telah memanusiakan manusia di dalamnya tertolak mentah-mentah oleh adanya fakta bahwa manusia tadi enggan untuk dimanusiakan. Jadi, diperlukan lagi pemahaman bahwa bukan hanya elemen sekolah serta guru yang menjadi penting, namun murid sebagai pembelajar juga memiliki peran yang sangat besar dalam sukses tercapainya sebuah proses pendidikan.

Bukan kemudian hendak menggeneralisir, ini hanya sebuah contoh kasus yang kasuistik. Namun, salah bila harus dilupakan dan dianggap sebagai sesuatu yang tak apa bila ditiadakan. Adanya perbedaan dalam memandang makna dari pendidikan adalah pemacu dari permasalahan yang ada tadi. Coba saja, bila pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang begitu dirindukan, maka akan dilakukan berbagai cara untuk dapat mewujudkan adanya pertemuan yang serasi dari tiga elemen pembentuk pendidikan yang ideal tadi. 

Sebuah proses memanusiakan manusia akan benar-benar membentuk sosok manusia utuh bila benar antara sekolah, guru serta murid dapat berhubungan secara beriringan. Maksudnya adalah, apabila baik itu sekolah, guru dan murid menganggap pendidikan adalah sebuah kebutuhan, maka ketiganya perlu saling menguatkan. Sekolah menghadirkan sistem yang baik, guru sebagai sosok pemegang sistem menjalankan perannya serta murid sebagai pembelajar tentu harus memiliki sikap tanggungjawab.

Fakta bahwa semua dari kita tidak benar-benar dapat lepas dari sebuah proses pendidikan. Contohnya adalah kenyataan yang sekarang terjadi di lapangan sebab adanya pandemi, sekolah tidak diliburkan namun hanya dialihkan. Biasanya belajar bertemu tatap muka, karena keterbatasan pembelajaran diusahakan berjalan sesuai dengan instruksi dan ketetapan dari Kementerian Pendidikan. 

Dalam prosesnya, memang sekolah dengan sistem online masih menemui begitu banyak batu sandungan. Dari mulai dianggap tidak efektif, menyulitkan pelajar dan guru yang tidak terbiasa dengan gawai, dan keluhan lain yang bersahut-sahutan seolah pemerintah dianggap tidak memberi solusi konkret atas kondisi yang terjadi. Sebenarnya, solusi konkret yang diinginkan tadi dapat dimiliki apabila kita belajar dari sebuah "filosofi kerinduan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline