Saya jadi interisti sejak SMP kelas 1. Saya gak tahu kenapa harus menjadi fans dari sebuah tim yang kalahan, sering apes, dan tentu saja dampaknya adalah tim itu sangat menjengkelkan buat saya. Tapi, saya sudah terlanjur cinta dengan dirinya. Mau bijimana lagi?
Belakangan saya baru tahu bahwa Internazionale Milan memang tim yang biasa-biasa saja. Ia adalah tim yang tidak terlalu ngotot mencari kemenangan. Sebab bagi Inter, kemenangan di dunia memang fana. Kemenangan sejati, ya, di akhirat nanti. Keberhasilan Inter meraih treble winner pada 2010 itu pun saya rasa karena faktor kebetulan. Kebetulan Inter punya tim dan pelatih yang lumayan. Dan tentu saja karena Tuhan sedang kasihan.
Saya menangis saat Inter kalah 2-4 dari Lazio di musim 2001/2002. Di stadion Olimpico, Ronaldo Nazario juga menangis. Ia tertunduk sambil menutup wajahnya karena saat itu adalah kesempatan Inter untuk meraih Scudetto setelah terakhir kali meraihnya pada 1989.
Saat itu, membicarakan hasil laga atau prediksi pertandingan sepakbola, khususnya Liga Italia jauh lebih asik daripada mempelajari mata pelajaran apapun namanya. Nama-nama pesepakbola populer di era itu memenuhi bagian belakang buku pelajaran saya. Ada Ronaldo, Vieri, Recoba, Totti, Batistuta, Del Piero, dan banyak pemain bintang lainnya.
Tabloid Bola juga berjasa memperkenalkan saya dengan sepakbola Eropa dan tentu saja Internazionale Milan. Setidaknya satu minggu sekali saya membeli tabloid ini di perempatan lampu merah Kecamatan Simpang Empat. Uangnya dari mana? Tentu saja dari uang jajan yang disimpan. Sesekali juga minta pada ibu saya.
Saya sangat menikmati ulasan-ulasan hasil pertandingan dan prediksi para pengamat di Tabloid Bola saat itu. Yang paling saya tunggu dari tabloid ini adalah ulasan hasil pertandingan yang biasanya mencantumkan rating para pemainnya. Melihat Christian Vieri mencetak 4 gol lalu dapat rating 8.0 itu membuat saya mesem-mesem, persis kayak ABG yang lagi kasmaran. Bisa membeli tabloid ini merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Kadang, satu artikel bisa saya baca berulang-ulang sambil menunggu edisi terbaru terbit.
Pada hari Jumat (19/10) dan Selasa (23/10), tabloid Bola resmi akan menerbitkan dua edisi terakhirnya setelah 34 tahun. Tutupnya tabloid bola ini memang sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari. Sebab saat ini orang-orang memang tidak membutuhkannya lagi.
Sekarang zamannya serba praktis. Ingin melihat hasil pertandingan, tinggal buka hape Android. Dengan satu dua kali klik, sudah bisa terlihat. Untuk melihat highlight pertandingannya, tinggal buka Youtube. Sekarang, mari kita antar Tabloid Bola ke liang lahatnya.
Lalu, bagaimana dengan media cetak lain?
Mereka sedang di dalam keranda. Menuju pemakaman umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H