Aku bercerita kepada istriku. Dulu, aku memiliki kekasih yang baik hati. Ia selalu menemaniku di saat aku sedih, juga di saat gembira. Ia adalah orang yang menyelamatkanku di saat aku sedang terombang ambing di lautan. Ia adalah satu dari sedikit orang yang mau mendengarkan keluh kesahku. Setiap hari ia menampung air mataku.
Istriku menyimak ceritaku. Matanya terpejam. Badannya direbahkan di atas pundakku. Satu tangannya diletakkan di atas dadaku. Sejenak, ia menghela napas. Lalu ia memintaku untuk melanjutkan ceritanya.
Dalam perjalanan hidupku, aku memang tidak pernah menemui jalan seterjal itu. Aku belum pernah berjumpa dengan gelombang pasang sedahsyat itu. Aku belum pernah menjumpai gelap seperti yang aku lihat saat itu.
Aku belum pernah merasa hidupku sesunyi itu. Orang-orang tidak mempedulikanku. Mereka menyapaku sebentar, lalu pergi. Ada yang mengajakku ke warung kopi, kami bercerita sebentar, lalu kami pulang kembali. Tak ada sesuatu yang bisa aku harapkan kecuali diriku sendiri.
Tiba-tiba seorang wanita mengetuk pintu rumahku. Ia menyapaku dengan ramah. Ia tahu betul aku sedang gundah. Aku risau dengan masa depanku. Aku kehilangan satu tumpuanku dalam hidup.
Meskipun aku tahu, semua bagian dari skenarioNya. Semua sudah diatur olehNya. Namun, tetap saja aku tak kuat menahan beban itu. Kukatakan kepadanya, "Aku sedih. Aku kehilangan orang yang mengajarkan tentang hidup. Aku kehilangan harapan, bahkan saat ini aku sulit melangkahkan kakiku."
"Tidak," jawabnya. "Jalanmu masih panjang, meski berliku. Kau harus mampu menghadapinya. Aku menemanimu di sini. Jadi, tak ada lagi yang perlu kau khawatirkan sekarang."
Sejak saat itu, aku senang berada di sisinya. Aku gembira. Kini ada orang yang mau mendengarkan petikan gitarku. Ada orang yang mau mendengarkan suaraku yang cempreng itu.
Lagu demi lagu kunyanyikan. Perlahan ia pun ikut bernyanyi bersamaku. Namun, belum lama aku mengenalnya, tiba-tiba ia meninggalkanku. Ia hilang begitu saja. Aku menangis. Aku marah sejadi-jadinya. Bagaimana bisa malaikat penyelamatku justru pergi meninggalkanku?
Hari-hariku dipenuhi sumpah serapah. Aku berteriak. Aku seperti adalah api yang merah membara. Aku seperti iblis yang penuh dendam. Doaku adalah laknat. Kata-kataku kotoran binatang. Hatiku hitam legam. Tak ada rasionalitas dalam diriku. Dua kali aku dihujam pedang. Aku sakit. Aku terkapar di medan perang. Gigiku rontok dihantam tombak. Tangan dan kakiku patah. Napasku tinggal sejengkal.
Istriku membisik, "Apa engkau tak merasa bersalah dengan mantan kekasihmu itu? Apalagi dengan kata-kata kotor yang sudah kau ucapkan, juga sumpah serapah yang kautujukan kepadanya?"