[caption caption="ilustrasi (sumber foto: gunanya.com"][/caption]Dulu, duluuu sekali. Mbah Fakih dan mbah Somat sering bersitegang karena perbedaan prinsip dalam ibadah. Tetapi perbedaannya bukan perkara akidah. Soal akidah, keduanya tetap konsisten mengikuti manhaj Al Glundungi yang sangat masyhur sejak abad ke 3 Hijriah.
Mulanya, hubungan antara mbah Fakih dan mbah Somat baik-baik saja. Tetapi sejak mbah Fakih melihat mbah Somat solat ashar pada pukul enam sore, ia mulai menaruh rasa curiga. Apalagi saat itu, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau solat mbah Somat tidak tepat mengarah ke kiblat. Dari penglihatan mbah Fakih, solat mbah Somat saat itu sedikit miring ke arah timur. "Benar-benar ngawur," bathin mbah Fakih.
Karena tidak ingin memiliki prasangka buruk, ia segera melupakan kejadian sore itu. Ternyata upaya mbah Fakih percuma. Sebab ia masih sering menyaksikan mbah Somat solat seenak udelnya. Belum lagi pakaiannya itu lho, semrawut.
Karena sudah sering melihat perilaku aneh mbah Somat, mbah Fakih sering jengkel dan ngedumel. "Kok bisa begitu ya," kata mbah Fakih, tak habis fikir. Tetapi karena termasuk orang alim, ia tetap menjaga agar lisan dan hatinya tidak sampai menyesatkan mbah Somat. Ia juga tak ingin murid-muridnya ikut-ikutan mencurigai kelakuan mbah Somat yang "nyeleneh" itu.
***
Puluhan kali sudah mbah Fakih menyaksikan kejanggalan praktek ibadah mbah Somat. Dari perkara waktu solat yang sering terlambat, salah kiblat, sampai masalah busana yang ala kadarnya.
Karena sudah sangat mengganggu pikirannya, mbah Fakih berencana mengajak mbah Somat berdebat di forum terbuka yang disaksikan banyak orang. Tapi setelah dipikir-pikir, ia akhirnya mengurungkan niat tersebut. Mbah Fakih khawatir kalau murid dan masyarakat di kampung menganggap mbah Somat sebagai orang yang sesat.
Untuk menghindari anggapan itu, mbah Fakih akhirnya memutuskan untuk ngobrol empat mata dengan mbah Somat. Setelah selesai mengimami solat ashar, mbah Fakih mengajak mbah Somat ngopi di warungnya mbak Sri, janda anak dua yang sudah dua tahun cerai dengan suaminya.
"Kang Somat, tak traktir ngopi mau nggak? Di warung mbak Sri yang janda itu," ajak mbah Fakih.
Mendengar ajakan seperti itu, mbah Somat jelas sangat gembira. Apalagi dia sudah lama tidak nongkrong di warung mbak Sri yang terkenal berparas ayu, berkulit putih dan memiliki rambut panjang terurai. Warung mbak Sri berada sekitar 500 meter dari Masjid Al Glundungi yang didirikan oleh guru besar mereka, mbah Glundung.
"Mbakyu, pesen kopi hitam dua ya. Gulanya jangan banyak-banyak ya," kata mbah Fakih, sesampainya di warung mbak Sri.
Ia kemudian mencari tempat duduk favoritnya yang berada di pojokan warung. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri khawatir kalau ada warga kampung yang mengetahui rencananya untuk menginterogasi mbah Somat. Tapi kekhawatirannya langsung sirna karena sore itu masyarakat di kampung sedang menggelar kerja bakti di sekitar masjid. Belum habis setengah batang rokok, kopi yang dipesan sudah siap. Dengan gaya centilnya, mbak Sri menyajikan dua cangkir kopi kepada dua orang ulama sepuh itu.