[caption caption="Sumber Foto: Food.detik.com "][/caption]Kalau ada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terlihat lesu, mengantuk dan tidak konsentrasi saat bekerja, padahal hari itu jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi, kemungkinannya cuma dua. Dia tidur terlalu malam (begadang), atau porsi sarapannya terlalu berlebihan.
Kalau kondisi tersebut dialami pegawai yang kebetulan bertugas di instansi yang tidak terkait langsung dengan pelayanan masyarakat sih, masih lumayan. Masih bisa ngeles. Tapi kalau PNS yang betugas di bagian pelayanan masyarakat, mau ngeles sulit. Hal ini tentu akan berdampak negatif dan mengakibatkan menurunnya kinerja di kantor.
Polisi juga begitu. Jangan sampai citra Kepolisian Republik Indonesia tercoreng karena ada anggota polisi kinerjanya rendah karena porsi sarapan yang berlebihan. Untuk mengantisipasi hal ini, pimpinan di kepolisian sebenarnya harus memberi imbauan agar anggota polisi tidak mengonsumsi nasi berlebihan.
Mereka yang yang sarapan berlebihan di pagi hari, potensi mengantuk saat bekerja memang sangat besar. Semakin banyak makan nasi, semakin ngantuk. Bukan semakin panjang semakin goblok lho ya. Hihihi...
Sarapan itu penting, bahkan sangat penting. Tetapi hal yang baik akan menjadi tidak baik jika dilakukan secara berlebihan. Solat wajib itu lima kali sehari. Kalau solat wajib diubah jadi dua puluh kali sehari tentu itu menyalahi syariat. Yang halal bisa jadi haram jika dilakukan secara berlebihan.
Saya sendiri agak heran dengan kebiasaan sarapan sebagian masyarakat di Indonesia. Menurut saya, porsi sarapan masyarakat di negara ini terlalu banyak. Bahkan tidak sedikit orang yang porsi sarapan paginya sama dengan porsi makan siang saya.
Padahal, Rasulullah saja tidak pernah mencontohkan sarapan dengan porsi yang besar. Di pagi hari, beliau hanya mengonsumsi beberapa butir kurma dan segelas air putih saja. Di negara barat juga begitu. Sepengetahuan saya, tidak ada orang bule yang porsi sarapannya seperti rata-rata orang Indonesia. Kalaupun ada, mungkin itu bule yang sesat.
Coba lihat di Jepang, orang jepang memakan lauk lebih banyak daripada makan nasi. Konsumsi nasi di negeri Sakura hanya 30 kilogram per tahun per kapita. Sementara di Indonesia, konsumsi nasinya sangat tinggi, yakni 130 kilogram per tahun per kapita. Padahal, rata-rata konsumsi nasi di dunia hanya 60 kilogram per tahun per kapita.
Faktor budaya, sugesti dan persepsi yang menganggap tidak ada yang bisa menggantikan nasi menjadi salah satu penyebab masyarakat Indonesia sulit move on dari nasi. "Kalau nggak makan nasi, nggak kenyang". Jargon seperti itu sangat populer disini.
Dan faktanya memang seperti itu. Saya sendiri termasuk orang yang sulit meninggalkan mahluk bernama nasi. Walaupun kadang-kadang saya juga pernah menggantinya dengan jagung rebus atau singkong goreng. Tapi rasanya saya nggak mampu kalau setiap hari cuma makan jagung dan singkong. Apalagi jagung dan singkongnya masih mentah. Heuheu...
Dalam kondisi perut lapar, roti satu bungkus pun tidak bisa menggantikan satu piring nasi. Kalau ini dianggap budaya, itu jelas. Karena makan nasi merupakan tradisi turun temurun masyarakat di Indonesia. Kalau hal ini hanya dianggap sebagai sugesti, ah gimana ya. Buktinya perut saya tidak pernah merasa kenyang saat mengonsumsi roti atau makanan apapun selain nasi. Kenyang sih kenyang, tapi kenyangnya beda. Walaupun saya tak bisa menjelaskan letak perbedaannya ada dimana. Menurut saya itu bukan sugesti.