Ku rilis puisi ini ketika mata ku tak kuat lagi menanan tangis
Aku menulis ini ketika mulut ku tak mampu lagi berkeluh
Sebagai mana aku menggingatnya sebagai sosok yang pernah hadir
Meskipun dia tak pernah benar-benar tinggal
Serupa tanah yang menunggu hujan
Serupa daun menanti embun
Aku mendambakan bulir-bulir rasa mu merasuk dalam hati ku
Aku bagai gelap yg menanti terang
Termangu menunggu langit malam yg kian menebar cahaya mu
Aku menunggu mu di tiap ujung himpit pagi mnghampiri ku
Aku menunggu sambil menjeritkan sedikit gundah ku
Sedikit membingkai wajah mu di tiap hisapan angin memilin ku
Seperti malam yg selalu berkarat setiap kali aku mengukir takdir
Temaram mulai lembab lewat kata yang berselimut mawar
Entah mengapa ada selebat bayang hadir menyelinap lalu berhambur keluar
Seiring badai berarak mulai berjalan landai
Aku mencintai mu di balik sunyi dalam doa-doa yang tak kau ketahui
Dalam cinta-cinta yang tak kau sadari
Dan mencintai mu seperti menyulam kabut pada musim semi
Menyusui gelombang yang angkuh injak rapuh peluh mentari
Titian tirani hati bernyayi di balik riuh suara dedaunan menyimpan begitu banyak huruf-huruf sunyi
Di antara gemuruh ombak-ombak gelombang silih berganti
Aku temukan bengkohan selaksa kehidupan
Bahwa senyum mu adalah salah satu keteduhan yg menuntun kesetiaan menuju jalan ku ke depan
Tapi semua telah tertahan terhanti berakhir tanpa ucapan pisah tanpa lambaian tangan
Kau pergi seperti pencundang yg haus akan kebohongan..