Tertera riasan rona merah muda di pipimu, ketika kamu kembali meringkus cinta. Tak ubahnya langit arkais kehilangan kekasih senjanya.
Begitulah kiranya, aku pun sama ketika kamu duduk bersamaku tertawakan derita; Kita lupa pernah bersekutu dengan air mata.
Sebaliknya pun terlihat di keheningan hutan aksara melindapkan kebisingan mesin-mesin penggerak kota tanpa rasa, kamu pernah mengadar di sana.
Dan aku pun sama pernah berburu canda tawa hingga tersesat terlunta-lunta lalu berhenti di derasnya air terjun aku melihatmu palingkan muka; Kita lupa pernah mengasingkan diri dari kejamnya cinta.
Selalu memilih tetap beriringan di tengah kerasnya kehidupan kota besar bernama; Setia, memang terlalu riskan bagi pengulang dan pesakitan seperti kita. Iya kejenuhan dan cemburu memang terlalu mematikan bila tak waspada menjaga koefisien rasa.
Maka dari itu sepakatlah, apabila di antara kita tiba pasukan samurai jenuh dan cemburu mengalungi leher kita.
Dan seketika itu pula lah kita selalu butuh jeda hanya untuk nanti datang kembali merona merah mudakan cinta atau bahkan menamatkan baik-baik cerita tanpa harus menjadi asing sesudahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H