Lihat ke Halaman Asli

Puguh Prayogi

Mahasiswa Magister Akuntansi UGM, PNS Kementerian Keuangan

Romansa Kampus Biru untuk Ibu Pertiwi

Diperbarui: 30 Juni 2023   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Tanpa menggunakan internet untuk mencari tahu, saya sempat berasumsi bahwa istilah kampus biru yang melekat pada Universitas Gadjah Mada (UGM) berasal dari para mahasiswa UGM yang didominasi para kaum bangsawan pada awal berdirinya. Kaum bangsawan sangat lekat dengan istilah kaum berdarah biru. Akan tetapi, saya juga menemukan fakta bahwa kampus UGM juga memiliki julukan lain yaitu kampus kerakyatan. Suatu hal yang sangat kontradiktif dengan asumsi saya yang pertama. Hal yang menurut saya cukup mengejutkan adalah fakta bahwa sebutan kampus biru sama sekali tidak ada kaitannya dengan latar belakang mahasiswa yang belajar di sana.

Awal tahun 70-an, Ashadi Siregar merilis sebuah novel fenomenal berjudul "Cintaku di Kampus Biru" yang kemudian diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama. Novel tersebut menceritakan mahasiswa fakultas psikologi UGM bernama Anton yang menjalani lika-liku percintaan dengan sesama mahasiswa bahkan dosen yang mengajarnya. Hingga lima dasawarsa berselang, istilah kampus biru yang diperkenalkan dalam novel tersebut melekat sebagai nama alias untuk UGM, salah satu kampus terbaik tanah air.

Kisah cinta Anton dan para crush-nya dalam novel sangat melegenda hingga empat dekade berselang tepatnya tahun 2015, civitas UGM membangkitkan lagi kisah tersebut dalam sebuah lagu berjudul "Kampus Biru". Lagu tersebut tetap bercerita tentang cinta, namun tidak lagi menceritakan kisah asmara Anton dan para wanitanya. Kisah cinta dalam lagu "Kampus Biru" adalah kisah cinta penuh perjuangan antara mahasiswa dan cita-citanya untuk berbakti pada negeri dan ibu pertiwi. Kisah cinta yang diwujudkan dengan kerja keras untuk menjadi kawah candradimuka untuk mendidik para calon pemimpin masa depan Indonesia.

Selayaknya kisah cinta yang tidak pernah berjalan mulus, perjuangan para mahasiswa dalam menuntut ilmu juga menemui jalan terjal dan batu sandungan. Awal tahun 2023 istilah UGM diplesetkan menjadi "universitas gagal merakyat" oleh akun aliansi mahasiswa UGM @UGMbergerak sebagai dampak dari lahirnya kebijakan kontroversial uang pangkal yang ditetapkan pihak universitas.

Sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan, sudah ramai kasus uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa yang relatif sudah memberatkan dan jamak ditemui kasus penetapan UKT tidak sesuai dengan kondisi ekonomi mahasiswa. Kisah mahasiswa dan biaya kuliah yang mencekik tenggorokan memang selalu menarik untuk disimak. Walaupun Undang-Undang Dasar 1945 sudah dengan jelas menyebut pendidikan menjadi hak setiap warga negara dan negara wajib membiayai, nyatanya pendidikan masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar masyarakat, tak terkecuali pendidikan di UGM, sang kampus biru. Kisah semacam itu yang nantinya akan melahirkan kisah cinta dan ikatan emosional pada kampus dan negara. Kisah yang nantinya akan indah untuk dikenang, untuk diceritakan, tapi tidak untuk diulang.

Terlepas dari kontroversi yang ada, UGM tetap berupaya konsisten berada pada lini terdepan dalam menyediakan pendidikan berkualitas dan berkelanjutan. Integritas menjadi hal pertama yang selalu ditanamkan dan dipegang kuat segenap civitas akademik UGM. Aturan akademik universitas dengan mantap menyebutkan bahwa mahasiswa yang terbukti melanggar integritas akademik akan mendapatkan nilai E, kasta terendah dalam dunia pernilaian. Mahasiswa dapat bernegosiasi perihal biaya kuliah atau keringanan dalam pembelajaran, namun jika berkaitan dengan pelanggaran integritas, UGM akan mengusir pelanggar tanpa perlu menengok ke arah wajahnya.

Integritas secara konsisten ditanamkan sejak dini, karena para mahasiswa yang duduk di bangku kuliah saat ini, dalam dua dasawarsa ke depan yang akan duduk di kursi-kursi panas pejabat baik di lembaga publik maupun privat. Bukan sebuah kebetulan jika orang nomor satu di Indonesia saat ini diduduki oleh alumni UGM. Bukan juga kebetulan jika kontestasi pemilihan presiden tahun 2024 didominasi oleh nama-nama alumni dari UGM. Proses penciptaan pemimpin berkarakter telah dimulai dari kampus dengan penanaman nilai integritas.

Salah satu karakter unik yang ditekankan selain integritas di UGM adalah dorongan untuk terus mengembangkan diri dengan menambah pengetahuan global namun tetap menjaga nilai kearifan lokal. UGM menekankan bahwa pengetahuan dan ilmu yang didapatkan hanya mengubah pola pikir, namun tidak mengubah sikap dan perilaku ketimuran. Mahasiswa dan segenap cicitas akademik UGM dituntut untuk mampu menyaring setiap informasi yang datang dari dunia luar, memilih yang bermanfaat, dan membuang yang tidak sesuai. Hal tersebut diwujudkan dengan menyelipkan materi terkait budaya, organisasi, dan lingkungan di setiap pembelajaran. Harapannya jelas, selain menambah wawasan mahasiswa, juga mengingatkan bahwa sebagai warga negara Indonesia, kita juga terikat dengan budaya dan adat ketimuran.

Poin terakhir yang selalu diinternalisasikan kepada para mahasiswa adalah manfaat apa yang dapat diberikan mahasiswa kepada masyarakat dan negara. Mengutip kalimat legendaris John F.Kennedy,  "jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negara", UGM menyadari betul makna dari ucapan tersebut. Sebagaimana tercermin dalam visi dan misi universitas yang diturunkan ke dalam Hymne Gadjah Mada, Ultimate goal dari serangkaian proses pendidikan dan pengabdian adalah senyuman dari ibu pertiwi. Bermanfaat pada masyarakat dan negara tidak harus diwujudkan dalam bentuk menjadi presiden atau orang berposisi penting, tidak pula diwujudkan dengan turun ke jalan menentang kebijakan yang dianggap tidak memihak masyarakat. 

Kontribusi pada negara dapat dimulai dari memperbaiki diri dan lingkungan dengan ilmu yang didapat selama belajar. Kisah-kisah inspiratif alumni UGM yang mendirikan bank sampah dan memberdayakan warga sekitar atau kisah alumni UGM yang menjadi petani dengan omzet puluhan juta sebulan, tentu lebih mengena dari pada sekedar kisah mahasiswa yang turun ke jalan membakar ban dan turut serta menambah kemacetan.

Dari kampus biru, berjuang sepenuh hati dengan cinta untuk senyuman ibu pertiwi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline