Lihat ke Halaman Asli

Bebaskan Papua dari Penjara Kepentingan Sekular

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena perebutan pulau Papua tidak dapat dipungkiri. Sudah 50 tahun Papua memang merupakan pulau yang terpenjara oleh berbagai kepentingan sekular. Karena pemerintah Indonesia memperbanyak kepentingan sekular tanpa memperhitung nilai kebaikan manusia dan alam Papua. Kepentingan itu, dibuat sesedemikian rupa, sehingga menjadi tujuan akhir hidup manusia. Padahal sesuatu yang dianggap amat penting itu belum tentu baik.

Sementara kebaikan itu, tidak dapat mengandung unsur kepentingan sekular, karena kebaikan selalu merupakan sesuatu yang ideal dan sekaligus konkret. Kebaikan yang demikian mencerminkan pulau Papua ini. Kebaikannya dinyatakan secara absolut dan alamiah dengan melahirkan, memelihara dan membebaskan diri dan manusia Papua sebagai apa adanya. Sayangnya, kehadiran Indonesia atas Papua hanya bercokol dalam moncong kepentingan. Pemerintah Indonesia membangun Papua atas dasar ide dan program negara-negara sekular. Bahkan kepentingannya mengandung beraneka bau kematian manusia.

Tujuannya hanya satu yakni menyerahkan Papua ke pangkuan NKRI. NKRI lantas menari-nari dan berpesta pora karena menghancurkan alam Papua. Kehancuran baru bagi orang Papua dideteksi dengan adanya gelembung transmigrasi, masuknya penyakit modern sampai pada kekuatan tangan besi (industrialisasi), yang berkuasa atas penghancuran Papua dari sebelumnya berpola nomaden. Jadi Papua telah lama diperakan oleh para penguasa dan koloni hanya demi keperntingan sekular belaka.

Bebaskan Papua Dari Bedil Imperialisme Nyata

Dinasti koloni yang dibangun atas Papua kemudian kita kenal sebagai peradaban politik dari berbagai kapitulasi persoalan yang berlarut-larut dan mengorbankan orang Papua. Plebelisit Papua tahun 1969 hanya taktik demokrasi yang tidak memenuhi ruang demokrasi orang Papua dalam menyampaikan pendapat. Pola yang sama dikaji dalam penyelenggaraan Otsus di era abad 21 tahun 2001 hingga sekarang. PEPERA ( penentuan pendapat rakyat ) hanya mengikutsertakan orang-orang Papua yang dibuat senang oleh koloni saja. Begitu juga dengan Otsus yang memanjakan kelompok elite. Rakyat Papua sengaja dipelihara dalam dua kelompok warga. Warga senang-senang dan warga menderita dengan tujuan nasinalisme perubahan di Papua diperkecil, kecintaan akan nasionalisme orang Papua menjadi tidak begitu penting sehingga menuju pada kehancuran peradaban.

Penulis Arsip Papua asal Belanda, P.J.Drooglever dalam bukunya yang berjudul Tindakan Pilihan Bebas “ Orang Papua Dan Penentuan Nasib Sendiri” diterjemahkan oleh Penerbit dan Percetakan Kanisius Yogyakarta, terungkap secara jelas bagaimana keinginan koloni negara-negara barat mencoba merebut Pulau Papua. Garis batas kemudian ditarik atas kesepakatan sepihak yakni pihak luar; Inggris dan Belanda. Jadilah Papua Nugonea diwujudkan dalam satu Negara Baru dibawah rantai Inggris Raya, sedangkan Papua Barat dijadikan kuda hitam saja tanpa penempatan satu status positif seperti PNG.

Konsep Otonomi Khusus menjadi pedang pembangunan yang diharapkan berlaku sebagai solusi masalah Papua selama 25 tahun sejak diberlakukan dalam bentuk undang-undang. Tambal sulam Otsus pun gagal menyambut suatu perubahan sejati untuk rakyat Papua. Kehadiran Otsus hanya menyuplai sejumlah dominasi pasar saja. Kepentingan rakyat Papua terpukul mundur di-era otsus. Bahkan desain otsus memberi ruang yang begitu besar bagi laju eksploitasi Tanah Papua. Gejolak rakyat Papua terus meningkat dari tahun ke tahun. Rakyat kini menjadi rindu dan gelisah untuk kembali ke asalnya. Di mana mereka harus mau hidup sebagai bangsa merdeka, bebas dan selamat secara abadi.

Proses pemerdekaan Papua ditengah pengkaplingan ekonomi sekarang, harus dipandang sebagai bagian terpenting dalam usaha pencokolan Tanah ini kearah penjarahan babak baru. Entitas politik kemerdekaan rakyat Papua sudah dijarah oleh berbagai Negara termasuk Indonesia. Dalam babak perebutan Papua, sampai pada tahapan sekarang harus dikurangi dominasi kaum kapitalisme yang telah gagal menunjukan kedaulatan rakyat di dunia. Fariasi kapitalisme tidak memberi kemerdekaan penuh dalam sejarah pendirian Negara. Yang ada hanyalah penghisapan. Papua harus diletakkan dalam kultur luar dari arus pasar bebas, kapitalisme yang serakah dan tak berperikemanusiaan. Ketergantungan pada pasar adalah tradisi luar yang tidak cocok bagi Papua. Maka itu, arah penyelesaian Papua, tuntas bila Papua dipandang terpisah dari cengkraman siapapun dan dominasi politik manapun. Ia harus merdeka dan bebas sebagai apa adanya dan semestinya dari berbagai kepentingan sekular belaka!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline