Lihat ke Halaman Asli

Pudji Widodo

TERVERIFIKASI

Pemerhati Kesehatan Militer.

Dari Si Mungil Nomad Sampai Hercules Jumbo, Menyadarkan Terbatasnya Kehidupan

Diperbarui: 29 Januari 2021   13:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua pesawat TNI AL Nomad N-22 bersanding dengan pesawat NC-212, foto : www.indomiliter.com, 22/7/2009

Oleh : Pudji Widodo

Pesawat militer, yang mungil dan yang jumbo

Operasi pencarian dan pertolongan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 oleh Basarnas telah dinyatakan resmi berakhir pada tanggal 21 Januari 2021. Tugas berikutnya terkait investigasi dilaksanakan oleh KNKT, yaitu melanjutkan  pencarian material memori CVR guna menguak penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya di perairan Kepulauan Seribu. Kita berharap hasil investigasi tersebut ditindaklanjuti dengan upaya memperkecil setiap resiko keselamatan penerbangan, guna mewujudkan kondisi zero accident oleh setiap pemangku kepentingan transportasi udara.

Yang bisa dipastikan terukur adalah pelaksanaan standar prosedur operasi, namun jaminan keselamatan penerbangan tidak akan bisa dipastikan.  Sebagai contoh pesawat Malaysia Airlines MH 17 pada Juli 2014 dalam penerbangan dari Amsterdam ke Kualalumpur saat sedang di atas wilayah Ukraina Utara, ditembak jatuh dengan rudal darat ke udara oleh kelompok separatis pro Rusia. Oleh karena itu setiap musibah penerbangan juga akan menyadarkan para pengguna jasa atau penumpang, bahwa resiko terkait keselamatan penerbangan akan selalu ada.  

Pengalaman pertama saya menjadi penumpang pesawat militer adalah dengan pesawat Hercules C-130 TNI AU saat bertugas di Timor-Timur. Setiap rute ke Dili, pada umumnya dilayani oleh pesawat Hercules TNI AU untuk kepentingan pergeseran personel dan logistik komando pelaksana operasi (kolakops) Timor Timur. Seperti dalam bis kota, saya pernah terus menerus berdiri dalam penerbangan dari Dili menuju Malang. Terbatasnya frekwensi penerbangan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh personel yang mendapat ijin cuti pulang ke Jawa dan membuat penumpang "Herky" dari dan ke Dili selalu penuh.

Tiga bulan sebelum jajak pendapat yang merubah status Timor Timur menjadi negara merdeka, saya sudah meninggalkan Bumi Timor Lorosae. Kali ini tidak dengan pesawat TNI AU, namun menumpang kapal PT Pelni KM Dobonsolo.  Sejak saat itu sampai tahun 2013 saya tidak pernah lagi naik pesawat Hercules C -130. Baru pada tahun 2014, saat saya mendapat tugas mengikuti Latihan Gladi Posko PPRC TNI di Divisi Infanteri 1 Kostrad Cilodong Depok, saya kembali bisa naik pesawat Hercules TNI AU. Ada yang sama dengan yang saya alami pada tahun 1995 sampai 1999,  yaitu terbayang peristiwa jatuhnya Hecules C-130 pada tahun 1991. Musibah ini menyebabkan meninggalnya 135 prajurit TNI AU setelah bertugas mengikuti upacara parade HUT TNI.  

Setelah ditunjuk sebagai tim seleksi calon bintara dan tamtama TNI AL (werving) pada tahun 2001 -2003 di luar Jawa, saya baru bisa merasakakan naik pesawat fixed wing Nomad TNI AL. Berbeda dengan Hercules TNI AU yang berbadan besar dan mampu membawa ratusan pasukan para dalam operasi serbuan lintas udara, pesawat Nomad TNI AL yang mengantarkan tim werving, panjangnya hanya 12,5 m dan mampu membawa penumpang maksimal 14 orang. Nomad yang mungil membuat saya terayun-ayun di angkasa dan menyadarkan betapa kecil serta fananya manusia di tengah hamparan pemandangan lautan luas semesta. Di kawasan Asia Pasifik, hanya Nomad yang mampu terbang rendah untuk memantau obyek dari dekat.

Pesawat Nomad buatan Government Aircraft Factories (GAF) Australia, mulai memperkuat TNI AL dan tergabung dalam Skuadron 800 yang dibentuk pada Juli 1976. TNI AL menggunakan pesawat Nomad  tipe N22 maupun N24, dengan penambahan sejumlah pesawat yang datang pada tahun 1993 dan 1995. Pesawat yang datang pada dua tahun terakhir tersebut adalah Nomad bekas pakai Angkatan Udara dan Angkatan Darat Australia. Secara bertahap TNI AL mulai mengurangi operasional pesawat Nomad, menyusul terjadinya beberapa kali musibah jatuhnya pesawat Nomad dan memilih NC-212 sebagai pengganti. Pada tahun 2007 TNI AL menerima penyerahan pesawat NC-212 ketiga jenis patroli maritim sebagai realisasi kontrak antara PT DI dan Kemhan RI sejak tahun 1996<1>.  

Tugas dan catatan musibah pesawat fixed wing

Si mungil Nomad yang terguncang-guncang  membawa saya dari Tanjungpinang, Medan, Palembang dan Jakarta pada tahun 2002, mengingatkan musibah jatuhnya Nomad di Perairan Pulau Mapur, Bintan Utara Kepulauan Riau pada tahun 1987. Pesawat naas yang ber-home base di Tanjungpinang  saat itu sedang bertugas melaksanakan patroli rutin.  Beberapa tahun setelah itu, saya baru mengetahui ada kisah dramatis bahwa pilot Nomad N22S bernomor P-817  yang jatuh, yaitu almarhum Mayor Laut (P) Suwelo Wibisono bertukar tugas dengan Mayor Laut (P) Abdul Malik Yusuf. Pilot  Abdul Malik yang semula menerbangkan pesawat baru Nomad P-817, mendapat perintah menerbangkan pesawat lama Nomad P-809 menuju Sabang. Sebaliknya Suwelo Wibisono yang semula mengawaki Nomad P-809 ganti menerbangkan Nomad P-817<2>.

Selain musibah Nomad P-817, pada akhir tahun 2007 pesawat Nomad P-833 menyusul jatuh di Batu Daun, Ujung Kareung Sabang. Dua tahun kemudian, pada 7 Desember 2009 pesawat Nomad P-837 yang terbang dari Long Bawan menuju Tarakan, jatuh di area pertambakan kecamatan Sekatak, kabupaten Bulungan Kaltim. Kompas.com mencatat bahwa sejak diproduksi pada tahun 1975, sebanyak  100 unit Nomad telah jatuh (7/9/2009). Menurut Wikipedia, sampai dihentikan produksinya pada 1985, GAF Australia telah menjual 172 unit Nomad. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline