Catatan Kecil Kebanggaan Kepada Korps Marinir TNI AL
Oleh : Pudji Widodo
Kok marinir dilatih menjadi raider
Salah satu kebutuhan penting pada operasi dan latihan TNI AL adalah kehadiran dukungan kesehatan. Tergantung skala dan derajat resiko latihan, maka dukungan kesehatan dapat berupa tim kesehatan yang hanya terdiri bintara atau tamtama paramedis, namun sering juga para dokter harus terlibat langsung di medan latihan. Padatnya kegiatan dukungan kesehatan bukan hanya terjadi di satuan operasi, namun juga di Lembaga Pendidikan (Lemdik) TNI AL. Hal tersebut penulis alami saat bertugas sebagai Kepala Kesehatan Akademi Angkatan Laut (AAL).
Pada tahun 2008, penulis pernah mengalami situasi di mana seluruh dokter dan perwira kesehatan semuanya melaksanakan dinas luar mendukung kegiatan latihan praktek Taruna/Kadet AAL, sehingga di Kesehatan AAL tinggal penulis dan Kepala Rumah Sakit AAL yang kebetulan seorang Kowal yaitu Mayor Laut (K/W) dr. Trisna Rini, Spesialis Mata.
Dalam situasi tersebut terdapat kegiatan Kadet jurusan Korps Marinir lattek di Puslatpur Purboyo Malang yang mutlak memerlukan kehadiran dokter. Maka tidak ada alternatif lain, penulis sebagai Kakes AAL harus melaksanakan tugas sebagai dokter latihan, sedang Kepala Rumah Sakit harus menjaga gawang mewakili tugas struktural penulis sebagai Kakes AAL, selain melaksanakan pelayanan kesehatan sehari-hari.
Patner tugas saya sebagai dokter latihan adalah dua orang bintara paramedis Pelda RUM Soewito dan Serda RUM Setiawan dan seorang pengemudi ambulan. Pak Suwito mengawali dinas di TNI AL sebagai Tamtama Korps Marinir, sehingga sebagian besar kedinasannya lama di satuan Batalyon Infanteri Marinir di Jakarta. Sedang Serda Setiawan sebelum di AAL, sudah bertugas lama di Batalyon Kesehatan 1 Marinir. Beruntung Pak Suwito mendapat kesempatan mengikuti pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan yang membuatnya memiliki kemampuan profesi keperawatan.
Suatu saat usai menunggu kadet latihan menembak malam, kami terlibat pebincangan menjelang istirahat malam. Latar belakang profesi Pak Suwito tersebut yang membuat penulis tertarik menanyakan apa yang membuatnya terkesan sebagai prajurit marinir. Dia menjelaskan bahwa selamat dalam dua kali penugasan di Timor Timur tentu saja yang membuatnya bersyukur, selain berbagai operasi keamanan dalam negeri yang lain. Namun satu hal yang dia tidak mengerti sebagai bawahan adalah program Menhankam/Pangab saat itu Jenderal TNI M. Yusuf, yaitu pembentukan 100 batalyon berkualitas raider yang harus diikuti para prajurit marinir.
Ego dan kebanggaan korps membuat peristiwa yang telah dialaminya hampir 27 tahun tetap membekas dan menimbulkan pertanyaan mengapa prajurit marinir yang sudah dilatih komando harus menjalani latihan raider seperti batalyon infanteri TNI AD. Pak Suwito sebal banget setiap hari long march melulu, sementara dia sudah melakukan Lintas Medan menempuh Banyuwangi - Surabaya sekitar 350 km.
Pendidikan Komando (Dikko) marinir dilaksanakan dalam 5 tahap, yaitu dasar komando, tahap hutan, tahap laut, tahap Gerilya Lawan Gerilya dan diakhiri lintas medan. Untuk meredakan dongkolnya, saya sampaikan ke Pak Suwito bahwa sejarah mencatat Marinir tidak hanya bertugas merebut tumpuan pantai lalu istirahat nyaman, karena tugas merebut sasaran berikutnya dilaksanakan satuan lain .