Oleh : Pudji Widodo
Ibu pertiwi sedang hamil tua
Beberapa hari sebelum tanggal 1 Oktober 1965, Anwar Sanusi salah seorang tokoh penting PKI menggambarkan situasi saat itu sebagai "ibu pertiwi yang sedang hamil tua". Dari perut ibu pertiwi akan lahir satu kekuatan baru melalui sebuah revolusi (Said, 2018 : 67) <1>.
Lazimnya seorang ibu menjalani persalinan melalui jalan lahir normal atau pervaginam, namun atas indikasi tertentu maka proses persalinan dilaksanakan melalui prosedur operasi "Sectio Caesaria" atau dikenal sebagai operasi sesar. PKI tidak mau menunggu ibu pertiwi mengalami persalinan normal, proses revolusi tak bisa ditunggu lagi. Oleh karena itu PKI melakukan langkah pendahuluan merebut kekuasaan melalui aksi G30S/PKI dengan jalan menyingkirkan para Jenderal Angkatan Darat yang anti komunis.
Selaras dengan analogi Ibu hamil, maka rencana tindakan medis persalinannya tentu berdasarkan indikasi medis, misalnya ibu dengan panggul sempit, adanya tumor jalan lahir atau kelainan letak dan kegawatan janin. Tindakan persalinan dilaksanakan segera untuk menyelamatkan ibu dan bayinya. Tentu saja untuk dapat melaksanakan operasi sesar diperlukan seperangkat alat kesehatan, termasuk diantaranya pisau bedah.
Terakhir, karena ini tindakan operasi pasti tidak boleh dilakukan oleh sembarang tenaga medis, harus dokter ahli spesialis kebidanan-kandungan. Dalam hal G30S/PKI, seluruh keputusan untuk menyelamatkan ibu pertiwi yang hamil tua, berdasar berbagai pertimbangan termasuk berhubungan dengan riwayat penyakit yang diidap Bung Karno.
PKI memanfaatkan kondisi Soekarno yang mengidap penyakit kronis sehingga harus mendatangkan dokter dari China untuk pengobatannya. Sakitnya Bung Karno sejak awal Agustus 1965, menimbulkan pandangan bahwa siapa yang mengetahui lebih dahulu wafatnya Bung Karno akan memiliki kesempatan melakukan inisiatif di antara kubu yang berhadapan yaitu PKI dan Angkatan Darat. Benturan dua kekuatan tersebut belum terjadi karena keberadaan Bung Karno sebagai penyeimbang kekuatan.
Maka tidak aneh bila kemudian muncul informasi yang berbeda tentang prognosis status kesehatan Bung Karno. Tim dokter China yang dipimpin Chen Yi, Menlu RRC menyatakan bahwa Bung Karno akan segera meninggal atau lumpuh. Sebaliknya dr. Mahar Mardjono selaku dokter pribadi Bung Karno menyatakan tidak separah itu dan terbukti kesehatan Presiden Soekarno pulih kembali. Namun hal tersebut tidak mempengaruhi PKI untuk menunda rencananya merebut kekuasaan.
Pernyataan tim dokter China tentang status kesehatan Bung Karno menimbulkan kecurigaan bagi kubu angkatan darat. Ketidakpercayaan angkatan darat kepada tim dokter Kepresidenan dikemukakan oleh Soeharto dalam biografinya : "Jika benar Soekarno mengalami sakit keras tentu saja PKI yang dekat dengan China tahu pasti apa penyakit yang diderita Soekarno, agar jika presiden tidak mampu lagi memegang kontrol atas kekuasaan, maka PKI dengan cepat mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno" <2>.
Relevan dengan hal tersebut, Marsma TNI Tranggono, yang pernah bertugas sebagai ajudan Wakil Perdana Menteri Dr. Subandrio yang merangkap Menlu dan Kepala Badan Pusat Intelejen, sempat mendengar dialog antara Dr. Subandrio dengan Menlu RRC Chen Yi yang memperbincangkan kesehatan Soekarno.
Tempat yang tenang di Danau Angsa