Huahh, sedikit meregangkan otot punggung yang kaku. Teh manis di samping kananku tinggal seperempat gelas saja, sudah dingin pula. Kelihatan sangat harmonis bersanding dengan crispy crackers. Ah, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Beberapa hari tidak menulis, hidup ini macam ada yang kurang. Menulis dan membaca itu sudah sepaket, kalau berat sebelah akan timpang. Terlalu banyak membaca tanpa menuliskannya hanya akan membebani otak. Apa yang diketahui akan bertumpuk-tumpuk lusuh berjejalan dalam salah satu biliknya. Sebaliknya, terlalu banyak menulis tanpa membaca adalah kosong.
“Bukan sekedar membaca, tetapi mempertemukan antara satu buku dengan yang lain, mempertemukan mereka dengan realitas lalu menemukan sintesis dan membuat tulisan kita sendiri.” [Eiji Yoshikawa, penulis buku fenomenal Musashi]
Begitulah, membaca dan menulis itu bagai satu jiwa. Tak bisa dipisahkan. Keduanya bersinergi untuk menstimulus otak dan mengasah ketajaman analisa. Hah, omonganku tinggi banget ya? Abaikan, aku pun masih dalam taraf belajar. Dan akan terus belajar.
Kali ini, aku ingin sedikit menuliskan tentang racun logika. Bah, hal macam apa pula ini? Entahlah, idenya datang tiba-tiba dan aku langsung terusik tidak sabar untuk menulis sesuatu tentangnya.
Kalau istilahnya simbahku yang orang asli Jawa, ini seperti salah kaprah. Hal yang sejatinya salah, tetapi karena sudah berlaku umum, dilakukan berulang-ulang, kemudian terbiasa, maka berasa benarlah dia. Sebagai contoh, nggodog wedang yang seharusnya nggodog banyu atau ngliwet sega yang seharusnya ngliwet beras.
Dalam konteks lain, seperti istilah ghazwul fikr yang sering kita dengar saat mengikuti mentoring jaman SMA dulu. Masih ingat betul sebuah simulasi singkat ketika ada beberapa benda yang ditukar-tukar namanya. Kemudian secara acak, mentor menunjukkan benda itu satu per satu dan peserta mentoring diminta menyebutkan namanya (yang sudah ditukar-tukar tadi). Pada awalnya semua gelagapan karena di dalam otaknya masih punya gambaran asli, nama benda yang sebenarnya. Tapi ketika hal itu diulang-ulang, terus dan terus, lama-lama mereka pun terbiasa untuk menyebutkan benda sesuai label baru yang dikenakannya, meskipun itu salah.
Satu contoh lagi, boleh sependapat boleh juga tidak. Pacaran. Dalam persepsiku, itu salah. Kenapa? Jelas, kita dilarang mendekati zina. Dan pacaran, sangat riskan untuk terjatuh pada hal satu itu, zina mata… zina hati… Mungkin ada yang berapologi, gak pacaran kok cuma HTS-an apa TTM-an karena tidak pernah ada momen ‘jadian’. Haha, jangan pura-pura bodoh! Pacaran itu aktivitas, bukan sekedar kata-kata ikrar “kita jadian”.
Oke, sekali lagi dalam persepsiku, pacaran itu salah. Tapi menjadi semacam kebenaran umum ketika sudah dibenturkan dengan realitas masyarakat zaman sekarang. Berapa banyak orang tua yang khawatir dan was-was ketika anaknya tak kunjung membawa ‘teman dekat’ ke rumah. Jangan-jangan anakku gak normal, jangan-jangan anakku kuper (kurang pergaulan_pen), jangan-jangan dan jangan-jangan yang lainnya. Nah, karena aktivitas pacaran ini sudah demikian menyebar luas dalam seluruh lapisan masyarakat, maka akan tampak aneh apabila ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah cukup umur mengaku tidak punya pacar.
Itulah racun logika. Yang salah nampak benar dan yang benar nampak salah.
Dalam salah satu cerpennya yang berjudul “Datangnya dan Perginya”, AA. Navis menuliskan seperti ini: “Dia kalah sudah. Kalah oleh perasaan kemanusiaannya yang bertentangan dengan keimanan kepada Tuhannya.” Coba dicerna baik-baik, bagaimana bisa rasa kemanusiaan menghilangkan keimanan pada Tuhan? Rasa kemanusiaan seharusnya muncul sebagai buah keimanan, bukan saling meniadakan.