"Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya. Di sanalah aku berdiri untuk selama-lamanya," begitulah lirik lagu Indonesia Raya stanza ke-2. Liriknya bernyanyi supaya rakyatnya senantiasa mengingat bahwa mereka selama-lamanya memiliki Indonesia, tanah yang kaya kekayaan alamnya. Semuanya ada, seolah pencipta menjadi lebih dermawan saat menuangkan potensi tambang, potensi hutan, potensi air, potensi laut, termasuk potensi pasir laut di Indonesia. Potensi pasir laut ini menjadi salah satu penggenjot pertumbuhan ekonomi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023, Joko Widodo bersama jajaran menterinya menimbang dan membuka peluang pengelolaan hasil sedimentasi laut, termasuk rincian jenis sedimentasi laut yang bisa diperdagangkan.
Dalam pasal 6 peraturan tersebut, Joko Widodo membuka kesempatan bagi sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dan meningkatkan pendapatan nasional melalui sektor ekstraktif ini. Pengelolaan ekspor pasir laut ini menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi baru untuk Indonesia setelah 20 tahun dihentikan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Alasan dari kedua presiden tersimpul pada keselamatan lingkungan ekosistem laut. Tak hanya itu, sengketa tanah atau adanya ketidaksepakatan batas negara dengan negara tetangga, Singapura, juga menjadi permasalahan.
Alasan yang kontras dari masa kepresidenan lalu mendukung munculnya dilema ekonomi dan lingkungan dari berbagai pihak saat mempertimbangkan konsistensi pemerintahan Indonesia dalam menjaga kemakmuran rakyat, melestarikan kesehatan lingkungan, dan meningkatkan pertumbuhan yang berkualitas. Dilema ini pun dibebani pula dengan kekhawatiran akan ketergantungan dan terlenanya Indonesia pada sektor ekstraktif yang berpotensi menciptakan gejala dini deindustrialisasi. Lantas, apakah kedermawanan pencipta alam Indonesia membuat negeri ini menjadi bijaksana dan dermawan pula dalam menetapkan kebijakan untuk rakyatnya?
Mengapa Joko Widodo Membuka Kembali Keran Ekspor Pasir Laut?
Aturan mengenai diperbolehkannya pengerukan pasir laut ini dipicu bukan hanyalah untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi semata. Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KKP), Sakti Wahyu Trenggono, mengungkapkan bahwa kebijakan ini tidak merusak ekosistem alam, tetapi justru meregulasi pemanfaatan pasir laut agar kerusakan lingkungan bisa dicegah. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 ini muncul sebagai solusi dari pengerukan sembarangan yang terjadi di pulau-pulau tanah air. Tanpa adanya regulasi ini, pengerukan pasir laut Indonesia secara sembarangan tidak dapat dikenakan sanksi dan nilai ekonomi yang seharusnya muncul tidak dapat dipanen untuk negara.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan pasir yang dimaksud untuk diekspor pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 adalah sedimen berupa lumpur. Sedimen berupa lumpur yang boleh dikeruk ini pun hanya sedimen yang dapat membahayakan alur pelayaran dan telah dipisahkan dengan unsur mineral lainnya supaya memiliki nilai ekonomi, tidak menumpuk sia-sia. Adanya pembolehan ekspor pasir laut ini juga dapat membantu pemerintah dalam mencegah bahaya di alur pelayaran secara "gratis" dan meringankan ongkos pengerukan di banyak area dari Selat Malaka sampai dengan selat Batam-Singapura.
Potensi pasar ekspor pasir laut pun dinilai menjanjikan. Dibanding membiarkan tumpukan sedimen di negeri ini, pemerintah meyakini pasir laut dapat menjadi komoditas ekspor yang mengangkat nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Trenggono menjelaskan hal ini diperkuat dengan tingginya permintaan untuk ekspor pasir laut dari berbagai negara, salah duanya adalah Singapura dan Hongkong. Pada tahun 2001, nilai ekspor pasir laut Indonesia bahkan mencapai US$ 60 juta. Mengingat bahwa 20% volume pasir laut dunia berasal dari Indonesia, tidak memanfaatkan sumber daya ini berarti kehilangan peluang untuk memperoleh pendapatan yang signifikan. Oleh karena itu, pemanfaatan pasir laut menjadi cara untuk mengurangi kerugian ekonomi dan meningkatkan nilai ekonomi negara.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, menegaskan bahwa pemerintah akan memastikan adanya skema pengaturan seperti Domestic Market Obligation (DMO) yang menjadikan kebutuhan dalam negeri sebagai prioritas pertama karena banyaknya permintaan pasir laut dalam negeri, seperti Giant Sea Wall dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pula. Pemerintah berjanji akan mengawasi pelaksanaannya secara langsung dan ketat, seperti memberikan Harga Patokan Pasir (HPP) laut untuk penggunaan domestik ditetapkan sebesar Rp 93.000 per meter kubik, sementara untuk ekspor sebesar Rp 186.000 per meter kubik.
Kerusakan Lingkungan dan Turunnya Produktivitas Nelayan
Sayangnya, alasan-alasan pemerintah ini mengundang banyak perdebatan dari para ahli. Permasalahan utamanya adalah kerusakan lingkungan yang realitasnya masih terjadi. Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mengkritik kebijakan pemerintah yang menjual pasir laut kepada perusahaan asing, menyebutnya bertentangan dengan visi keberlanjutan dan ekonomi biru yang sering digaungkan di berbagai forum internasional. Ia menyoroti bahwa langkah ini tidak memperhatikan keadilan ekologis bagi masyarakat pesisir, terutama nelayan kecil yang sangat bergantung pada perikanan tangkap. Ia menganggap bahwa kerusakan dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta kerugian ekonomi bagi para nelayan, jauh lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh dari PNBP. Indonesia sebenarnya tidak memperoleh keuntungan, tetapi mengalami kerugian bahkan kebangkrutan ekologis akibat penambangan pasir laut ini. Pengalaman tenggelamnya puluhan pulau kecil di masa lalu akibat penambangan pasir harus dijadikan pelajaran.