Lihat ke Halaman Asli

Puan Lacmi

Universitas Padjadjaran

Hiperrealitas dalam Media Sosial (Politik Pencitraan dan Tragedi Kanjuruhan)

Diperbarui: 9 Desember 2022   07:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

presstv.com

Politik Pencitraan, Media Sosial, dan Tragedi Kanjuruhan

Ketika berbicara mengenai kegiatan politik, beberapa masyarakat, khususnya Indonesia, akan setuju bahwa politik pencitraan adalah kegiatan utama di dunia tersebut. Lalu apa itu politik pencitraan? Politik pencitraan adalah sebuah situasi dan kondisi di mana para aktor politik melakukan pembentukan image atau citra untuk mendapatkan penggambaran sifat sesuai apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat (Malonda, 2019). Jika dahulu praktik tersebut dilakukan secara konservatif, seperti kampanye visi misi yang dilakukan di lapangan olahraga dengan memuat kapasitas ribuan pendukung, sekarang praktik tersebut dilakukan dengan arena yang telah berubah. Dengan berkembangnya teknologi informasi diimbangi dengan kecanggihan masyarakat dalam mengaplikasikannya, media sosial sekarang hadir sebagai arena praktik politik pencitraan yang baru. 

Media sosial menurut Merriam-Webster adalah aplikasi komunikasi elektronik yang mendorong pengguna untuk menciptakan komunitas online sebagai tempat berbagi informasi, pesan, dan konten lainnya. Penggunaan media sosial sebagai arena praktik politik pencitraan yang baru dapat dibuktikan dengan adanya kejadian di mana para pejabat atau ketua partai mengucapkan perasaan duka terhadap sepak bola Indonesia atas terjadinya tragedi Kanjuruhan. 

Tragedi di Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 2022 ini adalah bentuk tragedi kemanusiaan. Dikatakan sebagai tragedi kemanusiaan karena tragedi ini telah menyebabkan ratusan korban tewas akibat adanya penembakan gas air mata di dalam stadion sehingga korban tewas sesak nafas. Penembakan gas air mata ini merupakan upaya mematikan aparat keamanan dalam melerai bentrokan antara salah satu suporter tim sepak bola dengan aparat keamanan. Upaya mematikan yang dilakukan oleh aparat keamanan itu juga telah dikabulkan dengan adanya regulasi tertulis dari FIFA pada pasal 19 mengenai Stadium Safety and Security Regulations yang berbunyi 'No firearms or "crowd control gas" shall be carrier or used' (Sidik, 2022). 

Adanya tragedi tersebut seakan-akan memberikan tanda pada sejumlah aktor partai politik, yang digadang-gadang memiliki peluang untuk maju dalam babak pilpres 2024, untuk berbondong-bondong memberikan ucapan berduka dan memasang atribut partai sebesar mungkin dalam unggahan di akun media sosialnya. Kegiatan tersebut jelas merupakan langkah aktor partai politik dalam membentuk citra yang baik dihadapan masyarakat Indonesia, khususnya suporter sepak bola. 

Hiperrealitas Baudrillard

Hiperrealitas dalam kajian Baudrillard, seorang teoritis posmodern yang radikal, adalah bentuk media dalam kehidupan masyarakat yang telah menjadi realitas itu sendiri. Menurutnya, media yang seharusnya mencerminkan realitas menjadi tidak lagi demikian karena adanya kesalahan-kesalahan aktor dalam membentuk realitas yang disajikan kepada penerima realitas tersebut (Ritzer & Stepnisky, 2019). Dengan begitu, terciptalah penerima realitas yang tidak dapat membedakan mana situasi nyata dan fantasi hingga masyarakat atau penerima realitas tersebut menganggap bahwa realitas sebenarnya ada pada fantasi tersebut. 

Dalam konteks kali ini, media yang dimaksud adalah media sosial. Media sosial sebagai arena baru para aktor partai politik untuk melakukan praktik pencitraan menyebabkan masyarakat Indonesia tidak dapat membedakan mana tindakan nyata aktor tersebut dan mana tindakan pengaburan sifat untuk mendapatkan citra baik, yang dilakukan demi mendapatkan dukungan suara Pemilu. 

Pada tragedi Kanjuruhan ini, masyarakat Indonesia, khususnya suporter sepak bola, berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan dukungan dari pihak pemerintah atau beberapa pemangku kepentingan lain mengenai tragedi kemanusiaan ini. Dukungan ini memiliki peran pada masyarakat sebagai tanda bahwa pihak-pihak tersebut sangat menyesali kejadian Kanjuruhan dapat terjadi dan mengutuk pihak-pihak yang ikut andil dalam kejadian mematikan tersebut. Namun, kenyataannya sejumlah aktor partai politik Indonesia memanfaatkan kelemahan masyarakat atau suporter sepak bola tersebut untuk melakukan pencitraan. 

Hal ini menyebabkan realitas yang dibentuk oleh mereka telah mengalami pengaburan makna sehingga masyarakat Indonesia bertanya-tanya "Apakah ucapan berduka dari sejumlah aktor partai politik ini adalah bentuk pencitraan atau bentuk ketulusan nyata?". Sayangnya, pada beberapa penerima realitas atau sebut saja masyarakat Indonesia, bentuk ucapan duka yang diberikan oleh sejumlah aktor partai politik dianggap sebagai pertunjukan fantasi yang nyata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline