Lihat ke Halaman Asli

Revisi PM 32 Tahun 2016 Harusnya Bisa Menjadi Titik Awal Pembenahan Transportasi Nasional

Diperbarui: 3 November 2017   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tepat 1 April 2016 mendatang, pemerintah melalui Kementrian Perhubungan akan memberlakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Tujuan pemerintah memberlakukan PM 32 tahun 2016 ini adalah agar industri transportasi darat antara yang online dan yang konvensional dapat berjalan tanpa ada gesekkan di lapangan.

Meski dokumen draft revisi PM 32 tahun 2016 tersebut masih misteri, namun dari penjelasan Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Pudji Hartanto, ada 11 point yang direvisi pemerintah agar tidak ada gesekkan antara transportasi online dan konvensional. Dari 11 point revisi tersebut ada beberapa point yang menjadi perhatian lebih bagi publik yaitu kewajiban STNK berbadan hukum, kuota jumlah angkutan sewa khusus, penetapan tarif dan pengujian berkala (KIR).

Pertimbangan pemerintah untuk menerapkan kewajiban STNK berbadan hukum, memang sangat baik. Tujuannya agar tanggung jawab penggelolaan angkutan berbasis aplikasi ini jelas. Namun di sisi yang lain, penerapan kewajiban STNK berbadan hukum tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari ride sharing yang diterapkan dalam transportasi online.

Dalam skema transportasi ride sharing, kendaraan milik personal dapat diberdayakan untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dengan konsep ride sharing, diharapkan jumlah pengguna mobil pribadi dapat berkurang. Namun dengan kewajiban STNK berbadan hukum, konsep ride sharing yang ditujukan untuk menggurangi jumlah kendaraan bermotor dan meningkatkan utilisasi kendaraan pribadi akan tak berjalan.

Skema STNK berbadan hukum juga akan menciptakan konglomerasi baru dalam penyewaan kendaraan bermotor. Para pengusaha yang modalnya kuat akan membeli mobil untuk mendapatkan economies of scale dalam menjalankan usaha transportasi sewa tersebut. Tentu saja ini bertentangan dengan prinsip ride sharing dan prinsip untuk memberdayakan masyarakat serta menciptakan lapangan pekerjaan. Padahal hingga saat ini pemerintah masih belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya.

Jika pemerintah tetap memaksakan angkutan transportasi daring ini mengubah nama di STNK menjadi koperasi atau badan hukum, diperkirakan kasus Cipaganti dapat terjadi dikemudian hari. Dalam bentuk yang lain.

Sekadar mengingatkan saja beberapa tahun yang lalu anggota koprasi Cipaganti kehilangan dana investasi mereka pada kendaraan transportasi rute Bandung Jakarta. Dari dakwaan yang dibacakan oleh penuntut umum pada persidangan, pengurus koperasi Cipaganti disebutkan sejak tahun 2007 hingga 2014, telah berhasil menghimpun dana sebesar Rp 4,7 triliun dari 23.193 orang dengan jumlah simpanan mulai dari Rp 20 juta hingga Rp1,5 miliar.

Anggota koprasi Cipaganti tersebut diiming-imingin penghasilan yang besar dengan menginvestasikan dana mereka di kendaraan minibus yang melayani rute Jakarta Bandung pp. Kendaraan minibus tersebut diatasnamakan koperasi Cipaganti dengan janji akan diberikan imbal hasil yang besar dikemudian hari. Namun kenyataannya hingga kini nasib dana anggota koperasi yang berjumlah Rp 4,7 triliun tak jelas juntrungannya. Apakah Kementrian Perhubungan ingin kasus Cipaganti ini terjadi lagi?

Isu lainnya dari revisi PM 32 tahun 2016 adalah kuota jumlah angkutan sewa khusus. Berdasarkan pengamatan dan diskusi dengan pengemudi online terkuak bahwa jumlah armada angkutanonline mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Pertumbuhan ini tentu saja mengurangi jumlah order yang masuk ke mitra pengemudionline. Dahulu untuk mendapatkan penghasilan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta perhari, mitra pengemudi online mudah untuk mendapatkannya. Namun kini untuk mendapatkan Rp 500 ribu perhari, mereka harus berjuang dari pagi hingga tengah malam. Ini diperparah lagi dengan penurunan bonus yang dilakukan oleh penyedia aplikasi.

Seharusnya para penyedia aplikasi seperti Grab, Uber dan Go Car dapat membuat dan menjaga supply demand di bisnis transportasi daring ini. Bukan hanya membuka pendaftaraan anggota baru sebesar-besarnya saja. Tujuannya agar pendapatan mitra pengemudi dapat terjaga dan para penyedia aplikasi bisa mendapatkan bagihasil yang optimum.

Dengan membuka terus jumlah mitra pengemudi di daerah yang telah padat, menunjukkan bahwa penyedia aplikasi telah berlaku semena-mena dengan mitra pengemudi yang telah aktif menjadi anggota transportasi daring tersebut. Ketika pendapatan mitra pengemudi terjaga, maka keberlangsungan transportasi daring juga akan terus ada. Sehingga pembatasan jumlah armada harusnya bisa menjadi regulasi yang baik bagi masyarakat pengguna dan mitra pengemudi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline