Lihat ke Halaman Asli

Kebijakan Setengah Hati Menteri Jonan yang Blunder

Diperbarui: 3 Juni 2016   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konferensi Pers Pemerintah yang Mengijinkan Transportasi Berbasis Aplikasi

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan akhirnya mengizinkan transportasi berbasis aplikasi untuk dapat beroperasi. Namun, "restu" yang diberikan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada 1 Juni 2016 tersebut tampaknya tak ikhlas. Sang menteri masih setengah hati memberikan izin beroperasinya transportasi berbasis aplikasi tersebut.

Ini dapat dilihat dari 3 syarat yang diberikan Kementerian Perhubungan agar transportasi berbasis aplikasi ini dapat beroperasi. Syarat tersebut adalah Surat Izin Mengemudi (SIM) yang harus dimiliki pengemudinya harus menggunakan SIM A umum. Namun, jika kendaraannya 7 seaters atau microbus, Kementerian Perhubungan mensyaratkan agar menggunakan SIM B1 Umum.

Syarat lainnya adalah semua kendaraan yang akan digunakan harus melewati Uji KIR. Sedangkan satu persyaratan lain yang diminta Kementerian Perhubungan adalah Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Jonan mengatakan, untuk kendaraan yang tergabung dalam badan hukum (perusahaan/PT) STNK yang digunakan harus atas nama perusahaan. Sedangkan pengemudi yang tergabung dalam Koperasi, harus merujuk pada UU Koperasi.

Jika kita telaah satu per satu persyaratan yang diberikan Menteri Jonan, jelas yang masuk akal hanya uji KIR. Sedangkan yang lainnya mengada-ada dan bertentangan dengan UU Lalulintas sehingga syarat yang diajukan Menteri Jonan bernuansa mengganjal beroperasinya transportasi berbasis aplikasi ini.

Jika Pak Jonan cerdas dan mau membaca kembali UU Lalulintas No 22 Tahun 2009 pada Paragraf 3 mengenai Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi dijelaskan bahwa di Pasal 80 terpampang jelas sekali tertulis kriteria SIM dan batasannya. Kriteria SIM A atau SIM B bukan ditentukan dari berapa jumlah tempat duduk, tetapi ditentukan dari bobot kendaraan.

Dalam UU No 22 Tahun 2009 Pasal 80 huruf A dijelaskan bahwa SIM A berlaku untuk pengemudi yang ingin mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang boleh melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram.

Sedangkan di pasal yang sama di huruf B dijelaskan, SIM B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram.

Ini jelas sekali Menteri Jonan tak memahami UU Lalulintas.

Nah, sekarang apakah Avanza dan Xenia yang paling banyak dipakai oleh mitra pengemudi berbasis aplikasi memiliki berat 3.500 kilogram? Untuk Avanza dan Xenia berat kosong tak mencapai 2000 kilogram. Avanza hanya memiliki bobot 1.060 kilogram, sedangkan dan Xenia hanya 1,130 kg.

Jika Menteri Jonan tetap memaksakan kehendaknya yang tidak sesuai dengan UU Laluintas, setiap pengendara atau pemiliki mobil minibus seperti Kijang, Suzuki APV, Nissan Grand Livina dan semua jenis mobil dengan 7 tempat duduk, harus membuat SIM B I. Jika tidak, mereka bisa ditilang oleh polisi lalu lintas.

Sedangkan syarat lainnya yang patut kita kritisi adalah syarat STNK. Kendaraan yang tergabung dalam badan hukum (perusahaan/PT) STNK yang digunakan harus atas nama perusahaan. Sedangkan pengemudi yang tergabung dalam koperasi, harus merujuk pada UU Koperasi. Menteri Jonan meminta agar mitra pengemudi transportasi berbasis aplikasi personal yang saat ini beroperasi agar bergabung dengan koperasi. Nantinya pengemudi yang tergabung dalam koperasi harus merujuk pada UU Koperasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline