Suka cita. Mungkin perasaan itulah yang saat ini dirasakan oleh pengusaha taksi konvensional atas 'kematian' industri angkutan umum berbasis aplikasi. Setelah terbitnya PM 32 tahun 2016, kini Dirjen Perhubungan Darat Pudji Hartanto, memastikan akan mengatur harga untuk tarif angkutan umum berbasis aplikasi. Rencananya pemerintah akan membuat peraturan tarif ini dalam peraturan terpisah.
Dalam penjelasannya kepada rekan-rekan media pada acara sosialisasi Permenhub 32/2016, Pudji mengatakan angkutan umum berbasis aplikasi ini boleh menentukan tarif. Namun dengan persetujuan Kementrian Perhubungan.
Jika benar Kementrian Perhubungan akan mengatur tarif angkutan umum berbasis aplikasi, ini menunjukkan pengusahaan taksi konvensional telah mencengkram dan mengontrol regulator. Pasalnya selama ini pemerintah tak pernah cawe-cawe mengatur tarif angkutan penumpang sewa.
Regulasi seharusnya dibuat untuk keadilan. Bukan untuk kepentingan segelintir pengusaha yang tamak. Jika niatnya ingin membuat kompetisi yang sehat antar moda transportasi angkutan umum, harusnya pemerintah tak perlu mengatur tarif yang seharusnya menjadi domain pengusaha. Pengusaha sudah menghitungkan tarif dengan skema business to businessyang tentunya tak akan merugikan masyarakat. Sebab jika tarif merugikan masyarakat, secara alami moda transportasi tersebut akan ditinggal oleh konsumennya.
Sama seperti di industri telekomunikasi. Kementrian Komunikasi dan Informatika, yang tak pernah mengatur tarif percakapan telpon. Mereka hanya mengatur tarif interkoneksi saja. Selebihnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Sehingga persaingan sehat dapat terjadi dan harga tarif telekomunikasi juga menjadi terjangkau.
Meski terbilang aneh, jika Kementrian Perhubungan tetap ingin mengatur tarif, mereka harus mengatur seluruh tarif angkutan umum yang beroperasi di Indonesia. Tanpa terkecuali dan pandang bulu. Termasuk memberlakukan tarif kepada angkutan umum sewa yang juga dikelola oleh perusahaan taksi konvensional. Sebab jika sampai ditemukan keberpihakkan Kementrian Perhubungan kepada salah satu pengusaha licik, bisa dipastikan kredibilitas akan hancur dan tak akan dipercaya lagi masyarakat.
Sebab keberpihakkan regulator kepada pengusaha tamak sudah nampak terang benderang dalam PM 32 tahun 2016. Keberpihakan regulator nampak jelas ketika regulator mengharuskan STNK angkutan umum sewa menggunakan nama perusahaan. Padahal moda transportasi umum lainnya di PM 32 tahun 2016 tidak diwajibkan.
Selain itu keberpihakkan pemerintah juga nampak jelas ketika angkutan umum sewa tak diberikan kesempatan untuk menggunakan plat kuning. Pengusaha angkutan sewa tetap dipaksa untuk menggunakan plat hitam. Tanpa menerima insentif perpajakkan dari pemerintah. Padahal angkutan taksi menerimanya.
Kenapa selama ini pemerintah manut bak boneka yang bisa dikendalikan dan disuruh oleh pengusaha kapan saja mereka inginkan? Jika pemerintah memiliki niat keberpihakkan kepada masyarakat umum, harusnya Kementrian Perhubungan bisa ‘memaksa’ para pengusaha taksi konvensional untuk trasparan dalam menetapkan tarifnya. Bukan malah sebaliknya mematikan industri transportasi yang bisa memberikan tarif terjangkau bagi masyarakat.
Jika berpihak kepada masyarakat luas, harusnya dalam penetapan tarif taksi pemerintah harus jeli melihat seluruh komponen biaya yang diajukan oleh para pengusaha taksi. Bukannya malah bermain mata dan menyetujui seluruh usulan tarif yang mereka sodorkan melalui Organda.
Pasalnya angkutan umum berbasis aplikasi ini bisa memberikan harga yang jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan taksi konvensional. Padahal angkutan umum berbasis aplikasi membayar kewajiban pajak kendaraan bermotornya sesuai dengan aturan.