[caption caption="STNK Angkot Wajib atas Nama Perusahaan | Dokpri"]
[/caption]Konsistensi serta ketegasan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dalam menegakkan undang-undang (UU) dan aturan di lingkup perhubungan patut diacungi jempol. Liat saja ketika Jonan mewajibkan industri aviasi untuk melaporkan laporan keuangan, penerapan tarif batas bawah dan penegakan aturan mengenai persyaratan kepemilikan pesawat.
Tak hanya sampai disitu. Menteri Jonan juga terbilang berani dan nekat terkait langkah Kementerian Perhubungan yang pada saat itu belum memberikan izin pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Beliau berani berbeda pendapat dengan kolega sesama menteri bahkan kepada Presiden Jojowi. Padahal proyek mercusuar tersebut telah diresmikan oleh Presiden Jokowi. Sungguh besar ‘nyali’ sang mentri kelahiran Singapura, 21 Juni 1963 yang lalu.
Kini masyarakat Indonesia tengah menanti kembali nyali dan keberanian Jonan untuk menegakkan aturan dan berlaku adil di industri transportasi. Khususnya dalam menegakkan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sebelumnya Kementrian Perhubungan telah mengeluarkan Peraturan Menteri (PM) No 32 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Umum. Dalam PM No 32 tahun 2016 itu tertulis keharusan agar penyedia jasa transportasi wajib berbentuk badan hukum. Selain itu di dalam salahsatu pasal pada PM No 32 tahun 2016 juga ditulis kewajiban agar Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) angkutan umum wajib didaftarkan dengan menggunakan nama perusahaan.
Tentu saja aturan yang dibuat Menteri Jonan ini sangatlah bagus. Namun pertanyaannya apakah pak menteri bisa menjalankan aturan ini konsiten dan tak pandang bulu? Memang untuk angkutan umum seperti taksi sudah lazim jika STNK menggunakan nama perusahaan. Sebab selama ini taksi memang diselenggarakan dan dijalankan oleh perusahaan taksi. Namun bagaimana dengan angkutan perkotaan (Angkot)?
Selama ini Angkot merupakan moda transportasi angkutan umum yang dikelola dan dioperasikan oleh perorangan. Memang sebagian daerah sudah menginduk kepada Koperasi. Namun STNK maupun BPKB-nya pun masih menggunakan nama individu. Di Jakarta setidaknya ada 16 ribu armada angkot yang dimiliki oleh individu. Belum lagi di luar Jakarta yang mayoritas angkutan umumnya dilaksanakan oleh Angkot.
Jika Menteri Jonan konsisten dan taat pada UU, artinya akan ada ribuan Angkot yang harus mengganti STNK dan BPKB-nya kepada nama perusahan. Karena ini sesuai dengan PM No 32 tahun 2016 . Jika tidak sesuai maka jajaran di bawah Menteri Jonan akan bertindak tegas dengan menangkap atau tak mengijinkan Angkot beroperasi,
Memang dampak dikeluarkannya PM No 32 tahun 2016 akan terasa langsung kepada penerimaan negara. Kementrian Keuangan akan mendapatkan tambahan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari biaya balik nama kendaraan bermotor. Namun di sisi lain, masyarakat kecilah yang akan menerima dampaknya.
Nah sekarang apakah Mentri Jonan akan berani menegakkan aturan tersebut kepada seluruh angkot? Apakah Menteri Jonan berani untuk memaksa ribuan Angkot untuk mengganti STNK dan BPKB ke nama perusahaan? Jika berani, semoga saja tak ada gesekan di masyarakat.