Lihat ke Halaman Asli

Menyambut Revolusi Mental dengan Kebijaksanaan Klasik

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Proposal Jokowi (presiden Indonesia terpilih) yang pernah disampaikan lewat harian Kompas (edisi cetak) beberapa bulan yang lalu (10/5) sungguh menarik jika direfleksikan secara mendalam. Dalam proposal tersebut, Jokowi mengundang semua pihak untuk ikut bekerja sama mulai dari keluarga hingga pada komunitas-komunitas kenegaraan agar bekerja sama dalam mendukung dan memperjuangkan revolusi mental. Dengan demikian, kita semua sebagai warga negara dipanggil untuk berpartisipasi dan bergerak bersama mulai dari dalam keluarga kita masing-masing.

Mulai dari Keluarga

Keluarga adalah seminari (bahasa Latin: seminarium yang berarti tempat persemaian; pendidikan) bagi setiap individu. Maka sangat tepatlah jika dikatakan bahwa keluarga itu merupakan social elevator utama dalam menyalurkan nilai-nilai kehidupan bagi seorang individu. Dalam keluarga, seorang individu dibimbing dan dididik menjadi pribadi yang berketerampilan, berintegritas dan berkeutamaan.

Proses pendidikan dan pembinaan dalam keluarga dapat menunjuk pada segala aspek kehidupan. Mulai dari keterampilan praktis hingga pada pembentukan diri menjadi pribadi yang berkeutamaan. Dalam keluarga seorang anak didampingi dalam menciptakan keterampilan tertentu (misalnya dengan membuat sesuatu). Tujuannya adalah agar ia memiliki bekal dan modal dalam menjalani kehidupannya. Keterampilan praktis itu dapat menjadi sarana baginya untuk mempertahankan hidupnya di masa yang akan datang.

Seraya pembinaan keterampilan praktis berjalan, seorang individu juga dididik ajaran-ajaran moral yang bermakna dalam kehidupan. Ajaran-ajaran moral ini dapat berupa nasihat-nasihat, petuah-petuah yang disampaikan oleh orang tua. Sebenarnya, semua budaya dan suku bangsa di dunia ini memiliki corak pengajaran yang demikian. Proses inilah semua yang disebut dengan kebijaksanaan klasik.

Sasaran

Manusia adalah makhluk sosial (mampu hidup bersama, bernegara). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa merindukan kehidupan bersama dengan orang lain. Dalam kebersamaan ini, seseorang hendaknya memiliki keutamaan dan berkualitas secara pribadi. Lewat segala keutamaan yang dimilikinya, seseorang mampu hadir dengan damai bahkan berpotensi untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh sesama yang hidup bersama dengannya.

Keutamaan-keutamaan ini sangat tampak dalam diri seorang jika ia menjadi pemimpin dalam komunitasnya (perkumpulan masyarakat). Tentunya, dengan menjadi pemimpin, ia dipanggil untuk menciptakan keadilan sosial dan berpihak pada kehidupan bersama. Ia memegang tanggung jawab penting dalam membawa orang yang dipimpin menuju cita-cita dan tujuan kehidupan bersama. Tetapi, keutamaan ini hanya akan terjadi jika seorang pemimpin itu telah mengalami pembinaan klasik dalam keluarganya sebelumnya.

Kini, kita semua harus berpikir seraya berefleksi: apakah kita sudah memikirkan dan mengajarkan kebijaksanaan klasik itu dalam keluarga kita masing-masing? Caranya sangat mudah, yakni dengan mengajari anak-anak kita dalam berketerampilan pribadi seraya memberi nasihat-nasihat moral yang berguna bagi mereka dalam menjalani kehidupan. Bagi penulis, inilah pintu masuk bagi revolusi mental dalam keluarga. (Ps Riswanto Halawa)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline