Karena pada optimis bahwa IPO emiten pendatang baru NPII bakal digoreng kelangit, maka saya coba membaca laporan keuangan yang tersedia pada prospektus, untuk mengetahui kebutuhan "duit" emiten, yang hasilnya, mengindikasikan bahwa emiten ini sedang kepepet duit untuk modal kerja. Jadi jangan heran kalau tujuan dana IPO seluruhnya untuk modal kerja.
Kalau sudah kepepet duit, uang IPO harus secepatnya masuk ke dalam kantong emiten. Itu sebabnya dibuat program menarik, setiap pembelian 1 lot saham IPO dapat geratis 5 lot warrant. Harapannya ritel berbondong-bondong pesan saham IPO. Kalau keran sudah dibuka lebar pada awal IPO maka tinggal tunggu tanggal mainnya menyusul emiten IPO lainnya, yang lagi butuh duit IPO untuk 100% modal kerja.
Dari mana indikasi emiten ini butuh duit segera? Gampang kok, tinggal dianalisa apakah posisi emiten saat ini, "lebih besar pasak" atau "lebih besar tiang"?
Diketahui emiten ini pada tahun 2021 menghasilkan cash profit = laba bersih + penyusutan = 32,4 miliar + 3,4 miliar = Rp. 35,8 miliar. Tetapi sayangnya laba sebanyak tersebut belum dapat dinikmati, karena sebagian besar masih ditahan oleh pelanggan, sebesar = saldo piutang dagang akhir -- saldo piutang awal = 33,9 miliar -- 32,3 miliar = Rp. 32,3 miliar. Sehingga, praktis, laba yang dapat dinikmati, tersisa sebesar = 35,8 miliar -- 32,3 miliar = Rp. 3,5 miliar.
Tapi boro-boro laba dapat dinikmati, karena emiten ini butuh uang untuk membayar;
- Biaya dibayar dimuka misalnya untuk sewa alat berat, ausransi dan gaji karyawan, sebesar = uang muka akhir -- uang muka awal = 14,1 miliar -- 704,3 juta = Rp. 13,4 miliar
- Bayar uang muka pajak Rp. 10,7 miliar
- Bayar biaya IPO Rp. 2,8 miliar
- Bayar biaya dimuka bagian jangka panjang = Rp. 5,4 miliar
Jadi total uang yang dibutuhkan sebesar = Rp. 32,3 miliar.
Jadi setelah dibandingkan dengan laba yang dihasilkan, maka hasilnya "besar pasak daripada tiang", yaitu duit hasil laba cuman Rp. 3,5 miliar tapi kebutuhannya Rp. 32,3 miliar, sehingga terjadi defisit sebesar 3,5 miliar -- 32,3 miliar = Rp. 28,8 miliar.
Lalu siapa yang nutup defisit uang tersebut? Sementara ini pakai uang dari hasil ngutang kepada vendor, sehingga utang kepada vendor naik menjadi Rp. 7,3 miliar. Dan sisanya = 28,8 miliar -- 7,3 miliar = Rp. 21,5 miliar ditutup dari setoran modal para PSP (itu pun kalau anda percaya).
Kenapa saya masih ragu dengan setoran modal PSP. Sebab dahulu semenjak perusahaan didirikan sampai dengan tanggal 31 Des 2020 PSP cuman mampu setor modal Rp. 3 miliar, tiba-tiba tahun 2021 dilaporkan mampu setor modal berkali-kali lipat sebesar Rp. 260 miliar. Tapi anehnya baru saja dilaporkan para PSP menyetorkan modal menurut akte notaris per tanggal 29 Desember 2021 sebesar Rp. 250 miliar, tetapi tanggal 31 Desember 2021 duit kas cuman tersisa Rp. 1,3 miliar. Membagongkan.....
Dan jangan iri, kalau PSP beli saham baru Rp. 2 per lembar pada bulan Desember 2021, dan 5 bulan kemudian, publik disuruh beli saham baru seharga Rp. 132- Rp. 142 per lembar. Alias 7.100% lebih mahal daripada PSP.
Jadi solusi kebutuhan modal untuk operasional adalah uang hasil IPO. Saat ini uang yang dibutuhkan emiten untuk modal kerja sebesar Rp. 32,3 miliar, jumlah tersebut sekitar 25% dari dana IPO. Kalau anda mau optimis, paling tidak para ritel yang hobby antri saham IPO bakal kebagian jatah 25%. Sisa saham IPO mungkin masih dipegang oleh investor strategis. Tetapi kalau emiten mau jual semua (100%) saham IPO kepada ritel pada saat IPO juga tidak masalah dan tidak melanggar aturan. Sebab yang diatur oleh otoritas, jumlah minimal jatah ritel sebesar 15% dari saham IPO. Dan kalau ritel mau diberikan 100% juga tidak ada larangan.