Lihat ke Halaman Asli

PSP Watch

Kalo kagak mampu mendirikan perusahaan, terus kenapa saham orang lain lu jual-jualin?

IHSG - Nilai Nominal Saham GOTO Rp 1 per Lembar

Diperbarui: 3 April 2022   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bakar-duit-2-62495ac05a74dc08244ba784.jpg

Harga nominal saham GOTO per lembar hanya sebesar Rp. 1 per lembar, tetapi para pembeli saham IPO harus rela membayar Rp. 338 per lembar, apakah artinya para pembeli saham IPO menyuntikan modal sebesar 338 kali lipat lebih mahal dari pada para pemgang saham existing?

Tidak ada aturan bahwa setoran modal para shareholder dalam satuan lembar saham, harus sama dengan nilai nominal per lembar-nya.  Shareholder dapat menyetorkan modal per lembar yang nilainya lebih besar dari pada nilai nominal sahamnya.  Bahkan para shareholder juga dapat menyetorkan modal dalam satuan lembar yang nilainya lebih rendah daripada harga nominal saham.

Kemungkinan bahwa harga setoran modal para shareholder per lembar saham, nilainya sama dengan nilai nominal sahma per lembar, hanya mungkin berlaku bagi para shareholder yang mendirikan perusahaan (shareholder-pendiri), itupun kalau para shareholder tersebut memang maunya demikian. Sebab bisa saja para shareholder-pendiri tersebut memilih cara yang lain, misalnya menyetorkan modal sebesar Rp. 100 per lembar saham, pada saham yang nominalnya Rp. 1 per lembar.  Maka pada kasus demikian, para shareholder-pendiri tetap dicatat telah menyetorkan uangnya Rp. 100 perlembar saham, bukan cuman Rp. 1 per lembar. Dan atas selisihnya dicatat sebagai “agio saham” atau “tambahan modal disetor”.

Seiring dengan perkembangan usaha, perusahaan membutuhkan penambahan modal. Apabila existing shareholder tidak mampu menyuntikan modal tambahan, maka praktik bisnis yang umum adalah, para shareholder akan mengundang investor lain menjadi shareholder pendatang baru.

Untuk melindungi kepentingan para shareholder-pendiri, tentu saja para shareholder-pendiri akan mengajak investor (shareholder) baru untuk membeli “saham baru” pada harga market perusahaan.  Pada perusahaan yang belum IPO, maka harga market adalah harga yang disepakati antara pihak penjual (existing shareholder) dengan pihak pembeli (new shareholder).  Sedangkan pada perusahaan yang sudah IPO (listed), harga market adalah harga saham di BURSA, atau harga nego “kesepakatan” antara penjual dan pembeli, sepanjang transaksi pada pasar nego tidak menyebabkan pergantian PSP.

Sebelum anda bingung, kenapa saya menganggap pihak penjual adalah para “existing shareholder”, padahal uang hasil penjualan saham baru, masuk ke kantong perusahaan (bukan kantong “existing shareholder), sebab setelah perusahaan menerbitkan dan menjual saham baru, maka porsi kepemilikan “existing shareholder” otomatis menjadi turun.  Sehingga seolah-olah shareholder seperti telah menjual sebagian kepemilikannya yang menyebabkan kepemilikan shareholder existing mengalami penurunan.

Namun demikian penurunan porsi kepemilikan bukan karena saham para “existing shareholder” menjual sahamnya, melainkan karena dampak dilusi saham, tetapi hasil akhirnya sama saja, bahwa porsi kepemilikan “existing shareholder” berkurang.  Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pihak penjual saham baru yang sebenarnya adalah “existing shareholder” bukan perusahaan penerbit saham baru.

Contohnya, mula-mula saham hanya dimiliki oleh para “shareholder pendiri”, yang telah menyetorkan modal sebesar Rp. 1 / lembar, nilai tersebut sama dengan nilai nominal (Rp. 1 / lembar). Maka Ketika perusahaan membutuhkan tambahan modal, yang kemudian menerbitkan saham baru, dan para pendiri tidak punya uang untuk menambah suntikan modal, maka saham baru ditawarkan kepada investor (calon shareholder-baru). Misal harga market perusahaan setelah beroperasi sekian tahun, menjadi Rp. 10 per saham, maka haraga saham baru akan dijual kepada shareholder baru sebesar Rp. 10 per lembar, dimana sebesar Rp. 1 per lembar dicatat sebagai “modal disetor”, dan selisihnya sebesar Rp. 9 per lembar dicatat dalam “akun agio” saham atau “tambahan modal disetor”.

Kemudian pada periode berikutnya, kembali perusahaan membutuhkan modal, dan para shareholder-existing tidak punya uang untuk menyuntik modal, maka perusahaan kembali menerbitkan saham baru, yang ditawarkan kepada para shareholder baru (angel investor), mungkin pada harga market yang sudah semakin tinggi.  Misalnya, jika sebelumnya ditawarkan pada pada harga Rp. 10 per lembar, mungkin pada putaran selanjutnya, perusahaan menawarkan harga saham baru sebesar Rp. 50 per lembar, maka atas penerimaan uang dari penjualan saham baru sebesar Rp. 500 per lembar dari para shareholder-baru, sebesar Rp. 1 per lembar dicatat sebagai “modal disetor”, dan selisihnya sebesar Rp. 49 per lembar dicatat dalam “akun agio” saham atau “tambahan modal disetor”. Begitu seterusnya berulang-ulang, dan akhirnya perusahaan melakukan go publik ditawarkan pada harga Rp. 338 per lembar.

Itu sebabnya kalau anda melihat pada ekuitas GOTO sebelum IPO, total “modal disetor” hanya sebesar Rp. 800,7 miliar, sedangkan “agio saham” atau ”tambahan modal disetor” nilainya beratus-ratus kali lipat menjadi Rp. 179,34 triliun.

Karena GOTO rutin menerbitkan saham baru yang serinya berbeda-beda, maka menjadi terlalu rumit untuk menelusuri data setoran modal mulai dari pendirian perusahaan sehingga sampai menjelang IPO.  Oleh karena itu anggap saja bahwa hanya para “shareholder pendiri” saja yang menyetorkan modal sebesar Rp. 1 perlembar, selebihnya para investor “angel” membeli saham baru pada harga lebih besar daripada Rp. 1.  Adapaun, terindikasi bahwa para pendiri adalah para pemegang saham seri B, sebanyak 505,7 juta lot.   Sedangkan para investor angel, terindikasi sebagai pemegang saham seri A sebanyak 10,83 miliar lot.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline