Lihat ke Halaman Asli

reni herawati

psikolog klinis

Terapi Tawa untuk Menurunkan Kecemasan pada Lansia Pasien Hipertensi

Diperbarui: 8 November 2022   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Usia lanjut merupakan tahap perkembangan akhir dalam siklus kehidupan manusia. Proses penuaan merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dicegah dan merupakan hal yang wajar dialami oleh seseorang yang diberi karunia umur panjang. Semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang (Hamid, dalam Rohmah dkk, 2012).

Menurut Depertemen Kesehatan RI (Kementrian Kesehatan RI, 2016) lanjut usia atau yang sering disebut dengan lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Berdasarkan data proyeksi penduduk lansia di Indonesia, pada tahun 2017 diperkirakan terdapat 23,66 juta jiwa penduduk lansia, diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020 sebesar 27,08 juta jiwa, pada tahun 2025 sebesar 33,69 juta jiwa, tahun 2030 terdapat 40,95 juta jiwa dan pada tahun 2035 terdapat 48,19 juta jiwa (Pusat Data dan Informasi Kementrian Republik Indonesia, 2017). Berdasarkan data tersebut, diperkirakan jumlah penduduk lansia di Indonesia akan semakin bertambah.

Tiga provinsi terbesar yang memiliki jumlah penduduk lansia terbesar adalah DI.Yogyakarta (13,81%), Jawa Tengah (12,59) dan Jawa Timur (12,25%). Sedangkan khusus di Kabupaten Bantul, jumlah lansia pada tahun 2017 semester ke dua dari data yang diiperoleh dalam website kependudukan mencapai 135.640 jiwa (14,63%) dari total penduduk sebesar 927.181. Jumlah tersebut merupakan jumlah lansia terbanyak setelah Kabupaten Sleman yang ada di Yogyakarta (Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2017).

Orang lanjut usia sering mengalami kerusakan struktural dan fungsional pada aorta, yaitu arteri besar yang membawa darah dari jantung, yang menyebabkan semakin parahnya pengerasan pembuluh darah dan semakin tingginya tekanan darah (La Ode, 2012). Hal tersebut didukung oleh data yang dituliskan oleh Kementrian Kesehatan RI (2017) yang menyatakan jika hipertensi banyak terjadi pada umur 35-44 tahun (6,3%), umur 45-54 tahun (11,9%), dan umur 55-64 tahun (17,2%). Kekhawatiran akan timbulnya masalah-masalah baru pada hipertensi akan menyebabkan gangguan mental emosional yang banyak ditunjukkan dengan gangguan kecemasan (Istiroqah, dkk.,  2013). Keadaan fikiran juga berpengaruh terhadap tekanan darah. Stres, perasaaan takut, cemas akan memicu tekanan darah yang semakin meningkat (Sustrani, dkk., 2005).

Seperti yang diketahui hipertensi merupakan suatu penyakit tanpa gejala yang menyertai penderita yang dapat mengakibatkan kematian secara tiba-tiba. Keadaan tersebut membuat penderitanya semakin khawatir sehingga tekanan darah akan cepat meningkat. Ditemukan pada saat pengukuran tingkat kecemasan pada penderita hipertensi mengalami gejala kecemasan akibat penyakit hipertensi (Istiroqah, dkk 2013).

Ada sejumlah penyebab tekanan darah tinggi (hipertensi) dan penyakit jantung, seperti kegemukan, faktor keturunan, merokok dan konsumsi lemak yang berlebihan. Tetapi stres adalah salah satu faktor dominan (Kataria, 2004). Selain itu faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriktif yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah akibat aliran darah yang ke ginjal menjadi berkurang atau menurun dan berakibat diproduksinya rennin. Rennin akan merangsang pembentukan angiotensai I yang kemudian diubah menjadi angiotensis II yang merupakan vasokonstriktor yang kuat yang merangsang sekresi aldosteron oleh cortex adrenal, hormone aldoseron ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tublus ginjal dan menyebabkan volume cairan intra vaskuler yang menyebabkan hipertensi (La Ode, 2012).

Seseorang yang mengalami kecemasan dalam menghadapi penyakit yang dialaminya mengalami ketegangan dalam menghadapi hari-harinya, sedangkan tubuh memerlukan kondisi yang rileks tanpa kecemasan. Salah satu alternatif releksasi pada penderita hipertensi adalah dengan terapi tawa (Istiroqah, dkk, 2013). Menurut penelitian Frey (dalam Rafdi, 2008) 10 menit tertawa sama dengan setengah jam berlatih mendayung yang dianggap sebagai latihan aerobik yang dianggap terbaik untuk mengendalikan kondisi tubuh. Pranomo (dalam Rafdi, 2008) menyatakan bahwa 20 menit tertawa setara dengan berolahraga ringan selama dua jam.

Sebuah sesi tawa pada umumnya merupakan kombinasi sempurna antara berbagai teknik tawa stimulus, dipadukan dengan latihan pernafasan dan perenggangan. Kataria (2004) membagi sesi tawa menjadi enam bagian yaitu tepuk tangan berirama, penderasan (chanting), pernafasan dalam, teknik tawa yoga, teknik tawa bermain-main, teknik tawa berdasarkan nilai. Setiap bagian dalam terapi tawa memiliki manfaat yang berbeda-beda. Tawa secara rutin akan meningkatkan pasokan oksigen untuk memperbaiki kondisi tubuh dan memperlebar pembuluh darah serta mengirimkan banyak darah ke ujung-ujung dan semua  otot di seluruh tubuh (Kataria, 2004). Selain itu tertawa juga dapat melatih otot dada, pernafasan, wajah, kaki dan punggung. 

Terapi tawa dalam paradigma psikodinamika termasuk dalam salah satu media katarsis sebagai salah satu peluapan emosi negatif yang ada pada diri seseorang. Freud (Palma, 2002) menyatakan bahwa gejala neuroitik pada seseorang timbul karena tertahannya ketegangan emosi yang ada, ketegangan yang ada kaitannya dengan ingatan yang ditekan. Terapi tawa dapat melepaskan energi positif yang dapat menstimulasi otak untuk melepaskan pikiran negatif yang dialami tubuh sehingga dapat membuat tubuh menjadi lebih rileks yang kemudian menyebabkan seseorang dapat berfikir lebih jernih dan menggunakan akal sehat. Kecemasan yang dialami peserta menjadikan peserta mengalami ketegangan dan ketakutan sehingga menimbulkan gejala-gejala fisiologis yang menghambat kegiatan sehari-hari. Pikiran-pikiran negatif yang dimiliki peserta membuat peserta tidak mampu melakukan penyelesaian masalah secara maksimal. Peserta merasa tidak dapat melakukan apapun yang kemudian membuat meningkatnya kecemasan yang dimiliki.

Setelah dilakukannya terapi tawa, peserta merasa tubuh menjadi rileks dan dapat berfikiran lebih positif sehingga mampu menghadapi permasalahan yang ada. Hal tersebut senada dengan pendapat Palma (2002) yaitu tertawa secara langsung dapat menyebabkan beberapa perubahan fisiogis pada tubuh, yang memiliki efek positif pada kesehatan, tertawa dapat menimbulkan keadaan emosional yang lebih positif, tawa juga memiliki kualitas sebagai media katarsis, serta dengan tertawa secara tidak langsung dapat menjadi strategi koping terhadap stres.

Daftar Pustaka

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline