Gangguan depresi merupakan salah satu gangguan jiwa yang paling umum di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, teori-teori depresi telah berkembang pesat untuk memahami lebih lanjut tentang gejala-gejala yang terlibat dalam gangguan depresi.
Dalam artikel ini, kita akan membahas dua teori yang berkaitan dengan depresi, yaitu ruminasi dan anhedonia. Kedua teori ini menyoroti gejala-gejala yang lebih dominan dan membantu kita memahami kompleksitas gangguan depresi.
Ruminasi: Memahami Sirkuit Pikiran Negatif
Ruminasi adalah proses berulang yang mendasari proses mengenang dan memperpanjang pengalaman emosional yang negatif secara terus-menerus.
Orang yang mengalami ruminasi cenderung terjebak dalam cangkang pikiran yang tidak produktif, berpikir berulang kali tentang kegagalan, kesalahan masa lalu, atau peristiwa traumatis. Mereka sering terjebak dalam siklus pikiran negatif yang tak berujung, yang dapat menyebabkan perasaan sedih yang lebih dalam.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ruminasi terkait dengan gangguan fungsi beberapa sirkuit otak yang terlibat dalam pengaturan emosi.
Studi pencitraan otak telah mengungkapkan bahwa orang depresi yang mengalami ruminasi mengalami peningkatan aktivitas di korteks prefrontal (PFC), sebuah area yang terlibat dalam pemrosesan emosi dan pengambilan keputusan.
Selain itu, terdapat penurunan aktivitas di area yang terkait dengan regulasi emosi, seperti amigdala. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan dalam sirkuit otak yang terlibat dalam pengaturan emosi, yang dapat menyebabkan perasaan sedih yang berkelanjutan.
Anhedonia: Kehilangan Kenikmatan dalam Hidup
Anhedonia adalah gejala utama dalam gangguan depresi yang ditandai dengan hilangnya minat atau kesenangan pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati.
Penderita anhedonia merasa kehilangan minat dan kesenangan pada hal-hal yang sebelumnya memberikan kegembiraan. Hal ini dapat mencakup hilangnya minat terhadap hobi, hubungan interpersonal, makanan, atau bahkan kegiatan sehari-hari yang sederhana.