Lihat ke Halaman Asli

Dokter Andri Psikiater

TERVERIFIKASI

Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa

Belajar untuk Memafkan

Diperbarui: 10 Juli 2015   19:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - memohon maaf pada Hari Raya Idul Fitri (Shutterstock) 

Oleh Andri,dr,SpKJ,FAPM (Psikiater Klinik Psikosomatik RS OMNI Alam Sutera)

Lebaran sebentar lagi. Sekitar seminggu lagi umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Idul Fitri setelah sebulan lamanya berpuasa. Tradisi di Indonesia, biasanya Idul Fitri identik dengan permohonan maaf. Iklan dan baliho di berbagai media mulai menampilkan permohonan maaf. Persiapan teks ucapan lewat sms,bbm atau cara lain juga berisi ucapan maaf yang dirangkai sedemikian indah. Sayangnya sering kali kata maaf itu hanya lebih sering diungkapkan sebagai bagian dari tradisi tanpa ada makna yang diyakini sebagai bagian dari upaya perbaikan kondisi diri. Saya pernah menulis bahwa puasa di bulan Ramadan itu adalah bagian dari terapi perilaku yang sangat baik. Dalam sebulan semua aspek di dalam tubuh manusia itu dilatih, pikiran, perilaku, fisiknya dan perasaannya semua dilatih agar menjadi lebih baik. Sehingga pada akhir Ramadan dan memasuki 1 Syawal, diharapkan manusia tersebut telah menjadi manusia yang lebih baik, manusia “baru” yang siap menghadapi kehidupan di depannya.

Berkata Maaf Itu Tidak Mudah

Mudahnya mengatakan maaf di akhir Ramadan ternyata tidak selalu tercermin dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan orang. Kita sering sulit mengucapakan dua kata dalam kehidupan kita, kata “Maaf” dan “Terima Kasih”. Momen mengucapka kedua kata itu kadang tanpa disadari sedemikian rumitnya sampai harus menunggu seperti lebaran untuk mengucapkannya. Kata maaf yang tulus memang harus lahir dari kesadaran diri dan kerendahan hati. Jika kita tidak memiliki kedua hal itu rasanya sulit untuk meminta maaf kepada yang lain. Orang yang tidak mempunyai kesadaran diri biasanya tidak merasa adanya kesalahan dari dirinya sehingga membuatnya tidak merasa pernah berbuat salah. Sedangkan orang yang tidak punya kerendahan hati sering kali sulit untuk mengatakan maaf karena merasa rendah jika melakukan itu. Usia seseorang juga bukan menjadi jaminan dia mudah untuk berkata maaf. Semakin tua usia seseorang malah ada beberapa yang malah merasa enggan meminta maaf karena maaf bukanlah pantas untuk seorang yang sudah senior. Banyak orang berpendapat kata maaf adalah milik para orang-orang muda yang mempunyai banyak kesalahan dalam kehidupan. Padahal tidak ada hubungan antara lebih muda dengan lebih banyak salah.

Kepribadian Pemaaf

Beberapa karakter kepribadian tertentu ternyata tidak mudah meminta maaf dalam kehidupannya. Orang dengan kepribadian narsisistik tidak mudah meminta maaf karena merasa dirinya paling tinggi dan paling baik di antara semua orang. Meminta maaf seolah-olah membuatnya merasa lebih rendah dan tidak berarti lagi. Orang-orang seperti ini sehari-hari kita kenal sebagai orang yang tinggi hatinya dan sering kali berlaku sombong. Ada juga karakter kepribadian antisosial atau psikopatik yang jelas tidak perlu meminta maaf karena merasa dirinya tidak ada kesalahan. Orang dengan kepribadian antisosial tidak akan merasa bersalah apalagi merasa berdosa jika melakukan perbuatan salah. Kepribadian seperti ini tidak heran banyak terdapat di kalangan orang-orang yang tidak segan berbuat jahat demi mencapai ambisi pribadinya.

Memaafkan Perlu Latihan

Mengucapkan maaf dan memaafkan dengan tulus ternyata bukan hal yang mudah dan saling sinergis. Terkadang banyak orang yang mudah mengatakan maaf tetapi secara tulus sebenarnya tidak memaafkan di hatinya. Tidak salah jika banyak orang juga mengatakan bahwa meminta maaf perlu melatih diri. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa permohonan maaf lahir dari kesadaran diri dan kerendahan hati mengakui adanya kesalahan dalam kehidupan orang tersebut. Setelah menyadari perbuatan salahnya maka dengan rendah hati dia meminta maaf. Namun ternyata tidak mudah menyadari perbuatan salah. Perlu adanya tilikan atau kesadaran diri yang baik agar mampu menilai diri sendiri dan perbuatan yang kita lakukan. Dalam keseharian praktek, saya selalu berusaha menekankan kepada pasien-pasien saya agar mampu untuk sadar diri dan melihat segala sesuatu yang dilakukan dengan obyektif. Hal ini juga dilakukan oleh saya dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga perlu melatih diri untuk menyadari apa yang saya lakukan dan apakah dampak perbuatan saya tersebut untuk orang lain. Hal ini saya lakukan agar kemampuan itu terus terasah karena kadang kala kita sendiri bersikap egois dan melupakan untuk terus sadar diri. Kemampuan untuk menyadari perbuatan sendiri dan dampaknya ini yang tidak datang sekonyong-konyong. Perlu latihan dan dukungan dari sekitar agar hal tersebut mampu terlaksana secara alami. Meminta maaf sebagai bagian dari manifestasi kemampuan diri untuk menyadari perbuatan yang telah dilakukan adalah kelanjutan upaya latihan ini. Sepertinya mudah dilakukan tetapi ternyata sering kali sulit dan penuh hambatan. Selamat Merayakan Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline