Lihat ke Halaman Asli

Diny Cynthiawati Helena

Personality Versus Integrity

Tragedi Yawi Prayuwana

Diperbarui: 2 Oktober 2022   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay Ilustrasi Kucing Wanita Komik 

Mendadak diserang panik! Malah diperlakukan dan dianggap 'anak kecil'. Meskipun tidak berdampak besar untuk kondisi usia dan mental. Saya teramat kaget kenapa jadi begini? Bagian Pre Frontal Cortex dikendalikan. Ini bukan tragedi telepati. Memang ini simbolisasi dari pandemi korona. Yawi Prayuwana, dalam bahasa Abrap, bahasa yang dituturkan oleh masyarakat kampung Sawanawa, provinsi Papua. Tidak Saya tanggapi! Sebuah yayasan, untuk memberikan perlindungan, memberikan asuhan, dan juga bimbingan kepada anak-anak, dan mengusahakan pemulihan bagi anak-anak yang menyimpang dari jalan yang baik. Segala bentuk bayangan dan peristiwa tak terkendali itu merundung benak kalbuku yang meradang duka nestapa. Telah terjadi meta, amukan yang ganas! Setelah menjalani prosesi pemakaman Ayah, Aku cukup terguncang untuk kembali menjalani kehidupan normal dan kembali berbaur bersama para sahabat. Sesekali Nenek menemani diriku di malam kelam tidur berdua di rumah besar kami tanpa Ayah dan Ibu. Ibunda sudah lama meninggal. Nenek cukup bermurah hati kerap penuh perhatian memperhatikan kebutuhan dan kesendirianku. Aku cuma tahu bayang-bayang maut masih mengintai diriku kemana saja.

Saya butuh, dan perlu tempat tinggal. Sangat berbahaya hidup bersama-sama dengan manusia yang tidak pernah menerima fisik kita! Mereka bisa saja menghilangkan nyawa kita. Heksagram itu tragedi! Suatu tragedi penjiplakan, setahap dengan metaverse. Tragedi kemanusiaan, manifestasi fatalisme 'hexagraming', mirip leap second. Seperti ada orang lain dalam kamar, rasanya. Sering terasa senyap sepi mungkin mereka menggunakan headset di kamarnya? Tapi uniknya, terasa tautan yang personal. Tiba-tiba tengah malam masih ada yang batuk-batuk dari kamar sebelah seperti membelah jalan pikiran yang sedang aku tumpahkan pada tulisan. Cuma batuk aja' bisa membuat aku terkejut sampai mencoreti kertas dengan pena terguncang.

Terpukul sekali, menjadi indungnya sekelompok virus. Seperti bayangan maut mencengkeram menanti nyawa melayang. Aku terus menerus ketakutan menghadapi hari esok setiap terbit mentari. Mereka mengunduh leap second detik kabisat. Gerombolan arwah ada disini! Penambahan satu detik pada regulator yang menetapkan waktu 24 jam dalam satu hari. Tragedi kemanusiaan yang menimpa diriku menjadi anomali fatalisme. Sebenarnya ini cuma salah satu tipe penyesatan. Dengan mata kepala sendiri aku melihat dan mengalami tanpa bisa melindungi diri.

Aku enggak tahu kenapa bisa jadi begini. "Memangnya kamu enggak menduga sebelumnya peristiwa yang bakalan menimpa hidupmu? Enggak firasatan bakalan 'ngalamin kekacauan, kehancuran, kebinasaan." Dibawah satu atap terdapat berbagai kepala dan gelombang pikiran. Ini bukan telepati! Tapi saling menghormati eksistensi penghuninya. Kesehatan mental dan lingkungan akan terdiri dari kumpulan kepribadian yang adaptif saling beradaptasi, untuk saling menghormati dan saling memperhatikan satu sama lain. Bebas berekspresi, nyaman dan harmonis. Dwell artinya 'tinggal di', atau berdiam di tempat tertentu. Supaya umat bisa tenang menaikan ibadah syukurnya atas nikmat dari Yang Kuasa.

Menjadi teramat dibenci hampir-hampir memberi stigmatisasi gerak-gerik tubuh jasmaniku bagai 'artificial inteligensia'. "Dengan menggunakan cemooh dan fitnah, orang bahkan akan menghancurkan dirimu, waktu jati dirimu mulai timbul. Untungnya kamu telah mengenal dirimu seperti Tuhan mengenal kamu. Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu. Setiap orang yang dapat mengekang lidahnya dapat pula mengendalikan tubuhnya." Biasanya orang yang suka bicara sendiri tidak melulu gila, hanya suatu bentuk pengenalan diri yang koherensi. Mengalami bikultural koherensi bilingual, koding yang menentukan kecerdasan. Intuisiku sebagai korban semakin tegar tahan menderita, tetap mengampuni dan melupakan.

Tapi, semuanya tetap tidak pernah belajar setitik pun! Aku malahan semakin dirundung kelewat batas. Terus menerus diampuni, semakin anomali. Aku dijadikan tontonan umum, waktu setiap orang diterjang euforianya. "Keluarga mereka harus rukun kembali bersatu baik ayahbunda, dan ketiga anaknya. Apalagi, salah satunya ada yang udah 'ngasih cucu! Bagian dari 'take it personal' tuh'kan, menciptakan mezbah keluarga bukan terpisah-pisah. Alami! Enggak perlu menjiplak orang lain. Punya kebanggaannya sendiri. Enggak terkait kekuatan gaibnya!" Mereka sebutkan tentang mempermalukan Nama Tuhan! Musibah Citra Diri seharusnya enggak perlu terjadi. 

Komunitas kenyamanan, adalah serupa dengan penerimaan kelompok sosialnya, nasib, dan rejekinya. Penyebab marginalisasi masih bisa dirubah. Itu bisa dihindari oleh jutaan manusia hidup lainnya! Manusia dapat menjadikan dirinya seberapa rendah? Kecuali filantropis atau nirlaba, batasan mendasarnya sudah mirip gravitasi bumi. Aku sudah tidak bisa apa-apa malahan diserang habis-habisan! Sekali lagi itu pun tidaklah membuat 'mereka' cukup belajar setelah genosida yang kami alami. _ Selesai!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline