[caption caption="Ilustrasi"][/caption]Apakah kalian sudah mendengar kalau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan buka cabang di daerah? Saya yakin pasti kalian sudah mendengar, baik lewat pemberitaan atau informasi lainnya. Kabar itu tentu mengundang reaksi kalian; setuju atau menolak. Namun saya mempunyai pendapat lain ; KPK Daerah tidak penting!
Tentu dengan pendapat saya, kalian menanyakan, apa bedanya dengan kedua reaksi tersebut. Saya uraikan secara sederhana atas sikap kalian dengan pembentukan KPK Daerah. Bagi saya tak perlu muluk-muluk berdialektika, karena korupsi secara historical fact sudah jelas siapa pelakunya.
Apalagi sejak institusi yang dinamakan KPK itu didirikan berdasarkan Undang-Undang RI No : 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, belum pernah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penindakan secara menyeluruh terhadap kasus korupsi. .
Setuju, mungkin saja kalian berharap korupsi yang menggejala di setiap lini kekuasaan di republik ini sudah menjarah secara masif. Cara-cara gerakan persuasif maupun preventif yang dilakukan pelaku korupsi, kadang membuat bulu kuduk kalian berkidik. Begitu ada siaran pers dari KPK misalnya, telah terjadi korupsi miliaran hingga trilyunan rupiah di sebuah lembaga dan kemungkinan ada tersangka baru.
Kita pasti bersorak dan menebak-nebak dan menuduh pejabat di tingkat kekuasaan yang tidak kita sukai. Perhatian kita fokus pada perkembangan berita. Berharap cemas tersangka korupsi baru dari partai yang tidak kita suka.
Tak salah dengan sikap kalian yang tanpa dibarengi berpikir panjang lalu menyatakan setuju. Itu menunjukkan bahwa sikap kalian adalah sikap peduli terhadap negeri ini. Namun dengan sikap setuju kalian, perlu kita berpikir ulang kembali. Berapa duit lagi yang perlu dikeluarkan Negara untuk membiayai pembentukan KPK Daerah.
Belum lagi krisis multidemensi tentang sosok komisioner. Hal ini akan menjadi ancaman sekaligus pemicu tersendiri dengan terbentuknya KPK Daerah. Cara-cara rekayasa untuk menampilkan sosok komisioner pasti mewarnai proses fit and proper test; kata persyaratan baik integritas dan kapabilitas hanyalah diksi belaka.
Menyadari atau mengabaikan, sejarah korupsi di Indonesia sesungguhnya berangkat dari hilir. Selalu terjadi ketika hilir bergerak melakukan kegiatan korupsi ria. Itu terjadi tak bisa lepas dari penekanan hulu. Istilah setor upeti yang dikombinasikan dengan istilah komisi atau prosentasi adalah bentuk pengelabuhan praktik korupsi.
Bagaimana dengan yang menolak? Saya melihat penolakan kalian bermuara dari karena percayaan lembaga rusuah yang ada. KPK hanya sebagai bamper kekuasaan. Belum satu pun menghukum koruptor secara adil.
Pengertian adil yang saya maksud, belum menghukum koruptor hingga menjadi efek jera, masih tebang pilih dalam menangi kasus korupsi, dan hanya mentok pada kasus korupsi ditingkatan hilir. Lebih mengerikan penyidikan tindak pidana korupsi sering diwarnai like and dislike; jebakan maut bagi koruptor yang tidak mendukung kekuasaan hulu.
Belum lagi masalah kriminalisasi dan kontroversi dalam penanganan kasus korupsi. Sebenarnya bukan rahasia lagi, kriminalisasi dan kontroversi dalam tubuh KPK yang dilakukan oleh institusi hukum lain, seperti Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung. Karena perbuatan komisioner KPK yang seringkali melanggar pedoman lima asas yang dimliki; kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.