Lihat ke Halaman Asli

Supriyadi

Penjual Kopi

Ruang-ruang Imajinasiku: Ending-kah?

Diperbarui: 22 April 2016   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi / Hendro D. Laksono"][/caption]Lelaki yang memilih duduk sendiri di sudut café  kota itu, menunjukan raut muka kecewa. Jiwanya baru saja tersendak sebuah peristiwa. Hubungan esensinya bersama seorang perempuan yang tengah dijalani dengan klimaks. Ternyata berakhir dengan kisah pernikahan yang dilakukan oleh perempuan itu.

Sebenarnya ia sadar kisah hubungan esensi itu hanya terjadi pada Sartre dengan Simone asal Perancis. Dalam gumamnya, tak mungkin kisah itu berulang pada orang lain apalagi dirinya. “Karena dua insan filsuf itu lebih dulu memetik rekayasa yang mengalahkan takdir, “ ucapnya dalam kesendirian.

Setatap pandangannya keluar di depan pintu  ia menghentikan lamunan berat itu. Tangannya bergerak-gerak mirip menyembunyikan sesuatu. Karena diketahui di balik pintu café, dua orang polisi kota sedang mondar-mandir.

Belum berhenti ia menggerakkan tangan. Suara tak asing bagi dirinya mampir dalam telinga. "Dor...dor...dor...," . Tiga kali tembakan. Lalu lelaki itu melongokkan kepala tanda mencari tahu. Separoh dari balik kaca pintu ia melihat tubuh kurus bertatto sedang terkapar.  Darah keluar dari dada kiri. Sejenak kota itu terasa hening.

Tanpa berpikir panjang ia membuat analisa sosial, polisi kota yang sedang merobohkan dua bandit kota itu; diketahui selama ini sering membuat resah warga kota. Sekilas ia sendiri di café kota itu sempat bertatapan mata dengan dua bandit itu. Kepongahan bandit itu ia tak hentinya tatap dengan matanya yang tajam.

Berbekal analisa sosial ia tak begitu tertarik dengan peristiwa kriminal itu. Ia kembali menyematkan tempat duduk, meski diluaran mulai terdengar suara beberapa wartawan mewawancari komandan polisi kota. Ia  kembali diam dalam duduk sambil menikmati chivas regal; mengesankan tidak terjadi sesuatu yang berjarak dengan tubuhnya.

Rokok kretek kembali ia nyalakan. Sesekali mengusap hidung yang tak beringus. Matanya sedikit diliarkan dalam pandangan. Tepat tak begitu jauh dari duduk, pandangannya menatap dua lelaki sedang ngobrol saling bergantian menempelkan mulut ke telinga. Seorang perempuan di depannya tampak perempuan cantik, bersepatu high heel dan hanya mengenakan you can see.

Searah matanya sambil senyum tersungging menatap perempuan itu sedang menghisap rokok. Sementara paha  kaki kanan yang hanya mengenakan cuts jeans tepat pada arah pandangan; terlihat bergambar tattoo beruang.

“Pelacur…!, “ sentaknya dalam hati.

Lalu ia menghentikan keisengannya. Meredam sok ingin tahu apa yang akan dilakukan dua lelaki dan satu perempuan itu. Ia lalau kembali mengasikkan dirinya dengan gadget bawaannya; yang tak pernah putus dengan situs berita dari sebuah media online. Baginya salah satu online itu masih layak untuk dibaca; dibanding online lain yang beritanya penuh kebohongan dan copy paste.

Lelaki itu lalu meraih tas dan mengambil buku kecil dan bolpoint. Ia terlihat menulis sesuatu dan mencorat-coret buku kecil itu. Itulah cara yang dilakukan untuk menghitung waktu nisbi; selama ini yang ia pahami sebagai hitungan keserempakan tujuan.     

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline