Lihat ke Halaman Asli

Supriyadi

Penjual Kopi

Ketika Nama Sumanto  dan Suminto Membawa Kesamaran Berteman di Facebook  

Diperbarui: 5 Maret 2016   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Ilustrasi/Foto: Hendro D. Laksono"][/caption]Sumanto : Begitu saya mengawali menyebut nama itu untuk Sumanto Al Qurtuby. Saya mengenalnya hanya sebatas di media sosial. Entah siapa yang lebih dulu mengajak pertemanan; saya atau dia. Yang jelas nama Sumanto tiba-tiba muncul dalam deretan pertemanan di facebook. Untuk memastikan kapan jalinan pertemanan terjadi. Saya sambil mengetik tulisan ini, melihat di pertemanan; saya dan dia ternyata berteman November 2009, sepuluh bulan setelah saya mendaftar akun facebook. Satu-satunya akun yang saya punyai tak ada yang lain.

Sebutan nama Sumanto semakin melekat di otak. Ketika saya membayangkan peristiwa manusia kanibal asal Purbalingga, Jawa Tengah. Sumanto yang gemar memakan daging manusia itu pernah menghebohkan jagad Indonesia. Pemberitaannya menghiasi media massa  tanah air dalam kurun tahun 2003. Dengan peristiwa kala itu, lalu seorang sutradara Christ Helweldery, pada tahun 2004, membuat sebuah film berjudul Kanibal-Sumanto. Tapi film tersebut tidak se-booming peristiwa itu sendiri.

Berpijak nama Sumanto, saya memahami Sumanto yang berteman di facebook, sangat beda dengan Sumanto pemakan daging manusia. Dan menegaskan dalam hati bahwa Sumanto yang berteman di facebook adalah seorang intelektual, berharta (punya simpanan duit), dan muslim. Sumanto kanibal adalah seseorang yang seumuran dengan saya; yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari penguasa negeri ini. Sehingga baik dalam hal pendidikan maupun ekononomi tak pernah dia jangkau sebagai sisi manusia Indonesia merdeka; bukan intelektual (saya tidak akan menyebut orang bodoh), miskin (tidak punya duit banyak), dan muslim.

Nama Sumanto juga pernah membuat saya samar mengenali ; membuat saya sok dekat dalam komentar postingannya. Ada rasa kecele. Karena saya mengira Sumanto adalah Suminto, seorang  teman yang sekali ketemu berkenalan; sebelum ada facebook di sebuah warung kopi. Lalu dalam kurun waktu yang tidak pernah saya hitung,  tak pernah jumpa lagi.  Suminto, tanpa ada nama tambahan, yang sekarang dalam view name facebook Soe Chessplenx. Tak tahunya berteman dengan saya di facebook baru bulan November 2011. Belakangan ini saya mulai sering ketemu kembali di ruang redaksi Koran AyoRek terbitan Surabaya. Karena Suminto di Koran ini menjadi redaktur. Sebelum masuk ruangan redaksi, dia harus melintasi meja dan kursi duduk saya yang berada di depan pintu.

Kesamaran saya berlanjut. Seiring dengan Sumanto tiba-tiba muncul nama di belakangnya Al Qurtuby di view name facebook. Ingatan saya menebar pada buku yang pernah saya miliki,  “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution”. Buku yang diterbitkan Lembaga Studi Agama dan Filsafat yang merupakan kumpulan tulisan dari teman dan murid Harun kala itu; dipersembahkan untuk Harun Nasution, seorang intelektual muslim dalam menginjakkan usianya ke 70 tahun. Buku yang sudah berpisah dengan saya sebelas tahun lalu itu. Hanya tersisa mengingat nama yang sampai sekarang masih beken. Sebut saja ada Nurcholis Madjid almarhum, Yusril Ihza Mahendra, Frans Magnis Suseno, Komaruddin Hidayat, Azumardi Azra, dan Saiful Muzani.

Berkali-kali saya mengernyitkan kening untuk mengingat salah satu kontributor  dalam buku tersebut; antara Sumanto dan Suminto. Tak sabar memendam susah untuk ingin tahu; siapa sebenarnya Sumanto Al Qurtuby. Saya mencoba searching di nenek google. Mungkin saja karena sudah nenek dalam searchingan tidak banyak melahirkan khasanah tentang Sumanto Al Qurtuby. Nama tersebut  muncul dalam rangkaian mesin pencarian, sebuah blog: LENTERA: Satu Lagi Ide “Nakal” Sumanto al-Qurtuby; akmalbashori.blogspot.com. Sebaris scroll ke bawah:  Images for sumanto al qurtuby: muncul lima photo yang kesemuanya menyimpulkan senyum ---barangkali sebagai simbol ekspresi murah senyum bahwa dirinya anti kekerasan, humanis, pluralis, dan liberalis.

Dari lima photo tersebut, saya mencoba menjelajahkan krusor untuk klik pada link domain. Photo Sumanto Al Qurtuby, berkacamata mendekati gelap dalam link Gatra.com: Kolom dan Wawancara “Sumanto Al Qurtuby: Euforia Pro-Arab di Indonesia” (Sabtu, 17 Oktober 2015 21:05). Di syariahwalisongo.blogspot.co.id: Profil Alumni “Sumanto AL Qurtuby "young intelectual icon" “ (tidak menyebutkan tanggal postingan).

Berbaju putih sebagai photo profil di twitter dan dia terakhir ngetuwit @squrtuby: 5 Oct 2015 My forthcoming book from Routledge.  via @routledgebooks. Berjas hitam sebagai photo profil Academia; sebuah media sosial untuk akademisi berbagi penelitian yang mengklaim selalu dikunjungi 36 juta pengunjung setiap bulan. Selanjutnya dengan tampilan memakai blangkon, photo di posting di sebuah blog gilig.wordpress.com: “Mengenal "Islam Progresif" dan Pandangannya terhadap Seks Bebas” (psotingan ini juga tidak menyebutkan tanggal).

Mesin pencarian google itu juga menunjukkan blog pribadi Sumanto Al Qurtuby. Namun sayang, setelah saya open link in new tab, tak banyak hal menarik dalam blog sang professor ini. Terakhir dia meluapkan pemikirannya dalam blog pribadinya: sumantoqurtuby.blogspot.co.id “NU Amerika Kecam Penyerangan Israel Terhadap Relawan di Gaza” (SELASA, 01 JUNI 2010 | 12:06 WIB).

Melihat kenyataan ini, saya mengetik kata kunci lain: “penyunting buku 70 tahun Harun Nasution”. Disitu muncul nama-nama yang saya sebut di atas sebuah link  olx.co.id: Iklan. Saya geser scroll hingga bawah. Cukup terhenyak dan kaget; saya salah ternyata. Sumanto Al Qurtuby bukan Aqib Suminto. Dalam buku tersebut menyumbang sebuah tulisan : Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor Voor Indlandsche Zaken (1989-42); H. Aqib Suminto.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline