Apa jadinya jika Anda terjebak dalam sebuah perjalanan bersama orang yang tidak terlalu Anda sukai? Canggung, kesal, atau marahkah?
Hal itulah yang dialami oleh Sam dan Happy, dua orang saudara dengan latar belakang yang sama sekali berbeda dalam film Kulari ke Pantai (2018).
Sam, anak perempuan berusia 10 tahun dari Rote, NTT digambarkan memiliki citra 'anak desa'. Tumbuh besar di Rote membuatnya menjadi sosok yang memiliki jiwa petualang, mencintai alam, dan jauh dari ketergantungan teknologi.
Sementara itu, Happy si anak Ibukota adalah kebalikan dari Sam. Happy hidup seperti 'orang kota' pada umumnya yang hidupnya bergantung pada tren, tidak bisa lepas dari gadget, bahkan tidak menyukai alam.
Selama melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Banyuwangi lewat jalur darat, Sam dan Happy mau tidak mau harus belajar untuk saling memahami.
Bukan hal mudah untuk menumbuhkan rasa toleransi, sehingga pertengkaran kerap kali terjadi. Namun kembali lagi, hidup akan indah jika semua orang saling berusaha memahami.
Kenyataan tersebut adalah hal yang sama dengan yang kita temui di Indonesia; Masyarakat multikultural. Konsep mengenai multikultural dijelaskan secara sederhana dalam buku berjudul Film Theory: An Introduction.
Stam mengatakan bahwa multikultural mengacu pada berbagai budaya di dunia dan hubungan historis di antaranya, termasuk hubungan subordinasi dan dominasi. (Stam, 2000)
Multikulturalisme lekat dengan kehidupan masyarakat, sehingga menjadikan rasa toleransi sebagai hal fundamental bagi siapapun yang tinggal di Indonesia. Perbedaan seperti apa pun tidak akan berpengaruh selama kita menghargai nilai-nilai yang dipegang oleh orang lain.
Selain dari 'kuliah singkat' mengenai toleransi dalam masyarakat multikultural, film Kulari ke Pantai juga menyisipkan pesan lain yang menarik bagi saya.