Sebelum mempelajari Konsep Gender yang pada mata kuliah "Sosial Emosional Anak Usia Dini" , penulis menganggap bahwa istilah gender dan jenis kelamin memiliki arti yang sama. Namun, sebenarnya kedua istilah tersebut memiliki arti masing-masing, meski memiliki keterkaitan yang menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam (Santrock, 2007) gender diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi psikologis yang meliputi bawaan,perasaan, sikap, dan karakter. Kemudian, dari segi sosio-kultural yang berhubungan dengan kebiasaan, peran, dan identitas yang menjadi ciri khas masing-masing.
Misalnya, perempuan identik dengan kerudung, make up, rok, dan boneka. Adapun, laki-laki identik dengan baju koko, peci, robot, mobil-mobilan, perang-lerangan dan aksesoris lainnya yang khusus untuk laki-laki.
Sedangkan, jenis kelamin hanya terbatas pada hal-hal yang membedakan laki-laki dan perempuan dari segi biologis. Seperti yang kita tahu, perempuan memiliki rahim, sel telur, hamil, menyusui, dan menstruasi. Adapun laki-laki, identik dengan jakun, jenggot, dan sel sperma.
Pendidikan gender penting untuk diberikan kepada anak sejak mereka usia dini. Karena, pada masa tersebut, anak tengah mengalami perkembangan yang signifikan, terutama pada otaknya.
Dokter Bernik Endyarnie Nadia SpA(K) mengungkapkan bahwa perkembangan otak anak pada usia dua tahun mencapai 80 % dan meningkat menjadi 90-95% pada saat usia 5-6 tahun( Kompas.com).
Oleh karena itu, tidak heran apabila anak usia dini dijuluki sebagai peniru yang handal. Disamping memiliki daya ingat yang kuat, mereka juga bisa meniru dengan cepat. Seringkali kita mendapati anak yang berusia 2-7 tahun melihat ibu atau orang disekitarnya berdandan, menggunakan high hills, mereka tertarik untuk melakukan hal yang sama dan akhirnya mencoba tanpa pernah diminta.
Tujuan memberikan pendidikan gender pada anak, yaitu untuk mengenalkan pada anak mengenai identitas dan perannya sebagai laki-laki dan perempuan untuk mengantisipasi agar anak tidak menunjukkan perilaku yang menyimpang dari identitasnya, misalnya anak laki-laki yang lebih suka mengenakan pakaian wanita.
Kemudian, tujuan yang kedua adalah untuk memberi pemahaman kepada anak mengenai batasan-batasan saat bermain dengan lawan jenis. Secara tidak langsung, pendidikan gender memiliki hubungan dengan pendidikan seksual.
Namun, dalam pendidikan gender, anak lebih cenderung diberikan edukasi mengenai siapa saja yang boleh melihat dan menyentuh organ vitalnya, melalui perbedaan-perbedaan identitas yang telah disebutkan dalam paragraf sebelumnya.
Tujuan ketiga, yaitu menjadikan anak lebih siap untuk menjalani tugas atau perannya saat mereka dewasa nanti. Seperti laki-laki dituntut untuk bisa melindungi, mengerjakan pekerjaan yang sulit untuk bisa dilakukan oleh sebagian besar perempuan, dan tugas lainnya.