Lihat ke Halaman Asli

Antigoneo: Pembuktian Rangga, Sihir Nano dan Renungan Teater Koma

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tiga orang gila berada dalam sebuah komplek pemakaman, seorang diantaranya memainkan accordion, mengiringi tarian dua yang lainnya.Suara musik dan tariannya terasa senyap dan muram. Beberapa saat kemudian ketiga nya ‘terusir’ saat serombongan wisatawan datang untuk menikmati paket wisata di pemakaman tersebut. Suasana muram berganti riang dan riuh dengan celoteh pemandu wisata dan wisatawan.

Komplek pemakaman tersebut berada di dekat pantai, dengan pemandangan elok. Sayangnya terancam penggusuran, mengingat pemerintah kota dan investor berencana membangun hotel di lokasi tersebut, sementara pemakaman itu akan diubah menjadi lapangan golf.

“Siapa yang mau diingatkan kematian, disaat sedang bermain golf.” celoteh salah seorang wisatawan.

Dilema Walikota

Pembangunan hotel tersebut adalah proyek popular dari pemerintah kota, mendapat dukungan dari investor dan juga warga. Krisis ekonomi telah mengakibatkan pengangguran, hotel itu nantinya diharap akan mampu memberi lapangan kerja.

Pemerintah kota tidak serta merta menggusur tapi dengan memberi kebijakan memindahkan makam-makam tersebut ketempat lain.

Nyaris semua setuju, tapi tidak untuk Klara. Gadis itu menolak penggusuran maupun pemindahan, karena di kompleks tersebut terdapat makam saudara lelaki yang sangat dia cintai yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Upaya protes Klara -mendapat dukungan mantan guru sekolahnya yang buta- mengajukan proses hukum sampai tidur di seputar makam saudaranya itu.

Klara adalah dilemma bagi walikota. Dia, keponakan kesayangannya dan janji untuk selalu menjaga gadis tersebut. Sementara pembangunan hotel adalah janji lain dari walikota untuk warga, sebuah proyek masa depan yang akan membawa kebangkitan ekonomi.

Sebuah pertarungan antara proyek ‘kesejahteraan ekonomi’ melawan hati nurani.

Antigoneo

Naskah yang di tulis Evald Flisar, terasa menarik untuk disimak, semacam drama psikologi, dimana dalam beberapa saat kita bisa berubah keberpihakan kepada masing masing karakter yang sebenarnya saling bertentangan.

Teater Koma, menjadikan Antigoneo sebagai cerita yang di pentaskan untuk produksi ke 124, di Gedung Kesenian Jakarta 7-16 Oktober 2011.

Pementasan kali ini menjadi debut bagi Rangga Riantiarno sebagai sutradara. Meskipun sekian tahun terlibat langsung atautidak langsung produksi Teater Koma, tentu tak gampang buat Rangga.

Antigoneo berada dalam ‘pakem’ Teater Koma, penuturan cerita yang runtun, rapi. Pemilihan actor yang tepat sampai tata panggung yang begitu detail. Hanya saja, kali ini tata musik terasa minimal, tapi bukan suatu kekurangan karena cerita ini hendak menyajikan ke penontonbukan hanya sekedar hiburan tapi juga perenungan yang kritis.

Yang patut disimak kali ini adalah permainan apik disuguhkan N. Riantiarno yang berperan sebagai walikota, karisma keaktorannya sungguh lah sebuah sihir.

Pertunjukan yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam itu,bukan hanya bukti keberhasilan pencapaian Ranggamenjadi sutradara sebuah “lembaga” teater paling legendaristapi juga menunjukkan Teater Koma tetap menjadi rujukan tontonan terbaik bagi penikmat pertunjukkanteater di negeri ini.

[caption id="attachment_135694" align="alignnone" width="448" caption="Dudung Hadi, Budi Rio, Cornelia Agatha dan Tuti Hartati di pementasan Antigoneo, Teater Koma, GKJ, 7102011"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline