Lihat ke Halaman Asli

Haruskah Ibukota RI Dipindahkan dari Jakarta?

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jakarta, 486 tahun sejak penguasaan Sunda Kelapa oleh pasukan Fatahillah itu, kini telah menjelma menjadi salah satu kota metropolitan dunia yang multicomplex.Kota dengan beragam masalah yang sampai saat ini belum juga ada solusinya.Hingga kemudian memunculkan pertanyaan, masih layakkah Jakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia?

Kemacetan, defisit air tanah, polusi, kepadatan peduduk hingga penurunan permukaan tanah, hari-hari belakangan ini terus menjadi permasalahan serius bagi kota Jakarta.Tentu semua masalah yang saling bersilang-sengkarut ini berawal dari tidak adanya pemerataan ekonomi antara pusat dan daerah.

Sejak September 1945 Jakarta telah ditetapkan sebagai Pusat Pemerintahan Nasional Indonesia.Kemudian diperkuat lagi dengan UU No. 10 tahun 1964 yang menyatakan bahwa Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.

Sejak saat itu jadilah kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus juga sebagai pusat bisnis.Berbagai company dagang dan head office perusahaan selalu menetapkan kota ini sebagai basisnya.Hal ini lambat laun membuat Jakarta menjadi salah satu kota tersibuk di dunia.Namun kenyataan ini tidak diiringi dengan solusi yang memadai dari pengelola negara.

Memang sejak era Orde Reformasi, pemerataan dan perimbangan ekonomi pusat dan daerah terus digaungkan dengan adanya Otonomi Daerah.Namun pada kenyataannya 80% uang yang beredar di negeri ini masih berada di Jakarta.Tentu hal ini menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat untuk berbondong mengadu nasib ke Jakarta.

Urbanisasi yang tidak terkendali dari daerah ke pusat membuat Jakarta menjadi kota dengan jumlah penduduk yang fantastis.Dengan luas daerah 740,3 km2 Jakarta dihuni sebanyak 9.588.198 jiwa penduduk (sensus 2010).Jumlah ini meningkat hingga 14 juta jiwa pada siang hari.Peningkatan jumlah penduduk pada siang hari ini disumbang oleh penduduk dari kota-kota satelit (Tanggerang, Bekasi, Depok, Bogor) yang bekerja di Jakarta.

Jumlah kendaraan bermotor yang terus bertambah tanpa adanya pembatasan membuat polusi udara di kota ini menjadi sangat memprihatinkan.Berbagai polutan udara seperti Carbonmonoksida (CO2), Nitrogenoxida (Nox), Hidrokarbon (HC), Sulfuroxida (SOx), dan partikel debu memenuhi udara kota Jakarta.Belum lagi kemacetan yang sedemikian parah akibat tidak seimbangnya pertumbuhan antara jumlah kendaraan bermotor dengan pembangunan infrastruktur.

Permasalahan lain yang cukup mengkhawatirkan bagi Jakarta adalah defisit air tanah.Seiring pesatnya laju pembangunan perumahan, perkantoran, apartemen dan sejumlah bangunan lainnya tentu berimbas dengan berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta.Dari data yang dihimpun Property Inside, defisit air baku Jakarta telah mencapai 11.982 liter per detik pada tahun 2010. Jumlah tersebut diyakini akan membengkak lebih dari tiga kali lipatnya pada akhir 2025, yakni menjadi 35.786 liter per detik.

Hal itu tentu menimbulkan masalah baru bagi Jakarta.Defisit air tanah itu kemudian tentu mempercepat penurunan muka tanah, selain kian intensifnya pembangunan fisik di Jakarta.Tim dari Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang melakukan kajian subsidensi permukaan tanah di 23 titik di sekitar Jakarta menyimpulkan, penurunan permukaan tanah bervariasi, 2 sentimeter hingga lebih dari 12 cm selama 10 tahun sejak 1997 hingga 2007. Amblesnya sebagian ruas Jalan R.E. Martadinata, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu hanyalah salah satu indikasi yang patut diperhatikan.

Pemindahan Ibukota, Solusi atau Masalah Baru?

Jika menilik itu semua tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita, masih layakkah kota Jakarta ini menjadi ibukota Republik Indonesia?

Wacana pemindahaan ibukota RI dari Jakarta sebenarnya telah lama digaungkan, bahkan Presiden Soekarno sendiri telah menargetkan kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah sebagai salah satu pilihan.Sementara Presiden Soeharto pernah mengusulkan daerah Jonggol, Jawa Barat sebagai pilihan lokasi ibukota baru.

Seperti diketahui, Presiden SBY kembali membuka wacana pemindahan ibu kota pemerintahan dari Jakarta setelah melawat ke Kazakhstan. SBY mengaku telah lama memikirkan wacana ini dengan merujuk beberapa negara yang telah lebih dulu sukses memindahkan ibu kota, salah satunya Kazakhstan.

Menurut SBY, pemindahan ibu kota akan menimbulkan dampak positif maupun negatif bagi Indonesia. Jika Indonesia memiliki kota pusat pemerintahan yang baru, SBY yakin kondisi Jakarta akan jauh lebih baik. Meski ibu kota pindah, Jakarta akan tetap berfungsi sebagai pusat ekonomi dan perdagangan.

Ketua Tim Visi Indonesia 2033, Andrinof A. Chaniago pernah memaparkan bahwa pemindahan Ibukota membutuhkan anggaran antara Rp 50 – 100 triliun.Jangka waktu yang dibutuhkan sekitar 10 tahun."Rekomendasi saya ke Kalimantan karena jumlah penduduk masih jarang, lahan luas, pulau aman dari ancaman gempa, dan lokasi di tengah Nusantara jadi mudah untuk dijangkau orang," ujar Andrinof.

Abubakar Siddiq, seorang praktisi media berpendapat lain.Kepada Property Inside dia menjelaskan bahwa pemindahaan ibukota negara harus memandang aspek geografis dan geopolitis.Menurutnya, pemindahaan ibukota negara seharusnya tidak jauh dari ibukota yang lama.Hal ini penting untuk mempertimbangkan efisiensi biaya.

“Mari kita lihat beberapa negara yang telah berhasil memindahkan ibukota negaranya, semisal Jepang yang memindahkan Kyoto ke Tokyo atau Malaysia yang memindahkan Kuala Lumpur ke Putrajaya.Keduanya tidak jauh dari ibukota yang lama.Tentu pemilihan lokasi ini harus mempertimbangkan efisiensi biaya, faktor geografis dan geologis,” jelas Abubakar.

Menurut dia, seharusnya pemindahan ibukota tetap berada di sekitar Jakarta atau minimal masih di pulau Jawa.Sebab jika pemindahan dilakukan di luar Jawa maka dana yang dibutuhkan akan sangat besar dan tentu saja akan membebani APBN.

“Saya lebih melihat kawasan Jonggol dan Tangerang yang potensial untuk itu.Jika dipindahkan ke luar Jawa bagaimana costnya? Misalnya, kita harus membangun bandara baru, infrastruktur baru, sementara jika berdekatan dengan ibukota yang lama semua itu sudah tersedia dan masih dapat dimanfaatkan,” ujarnya.

Meski upaya pemindahaan ini cukup mendapat sambutan dari berbagai kalangan namun tidak sedikit juga yang menolak ide ini.Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla tak sejalan dengan ide ini.Menurut Jusuf Kalla, beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan tidak sebesar di masa Orde Baru. Di era Otonomi Daerah sekarang, banyak peranan departemen terpangkas.Selain itu, memindahkan ratusan ribu pegawai dan puluhan kantor pemerintah bukanlah hal yang mudah. "Berapa pegawai harus bikin rumah," katanya.

"Dulu Jakarta mengurus seluruh indonesia, tapi sekarang departemen tidak mengurus lagi.Ada gubernur yang mengurus daerah masing-masing, ada dinas di sana," jelasnya.

Sementara itu, Ketua DPR RI Marzuki Alie mendukung wacana pemindahan ibu kota, yang kembali dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono . "Sejak dulu saya menyatakan pandangan yang sama, sebaiknya kota pemerintahan dipisahkan dari kota dagang atau industri," kata Marzuki.

Marzukijuga mengatakan,bahwa untuk memindahkan pusat pemerintahan tentu perlu waktu, namun pasti bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan."Sebaiknya keputusan politik tentang pemindahan tersebut sudah dilakukan saat ini, implementasi oleh pemerintahan berikutnya. Pemindahan tersebut harus memberi dampak positif  terhadap kepentingan nasional," jelas dia.

Pemerintah sendiri telah membentuk tim kecil untuk membahas pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta seperti yang diinginkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya saja, tim kecil tersebut sifatnya informal.

"Telah ada suatu tim kecil secara informal yang bekerja untuk menimbang dari berbagai aspek jika sampai kepada putusan pemindahan ibu kota dari Jakarta," kata Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha beberapa waktu lalu.

Memang rencana pemindahan ibukota ini dapat menjadi salah satu solusi bagi permasalahan Jakarta.Namun tetap harus diingat apakah solusi ini tidak akan menambah permasalahan baru bagi pemerintah.Apalagi jika pemilihan lokasi dan masterplan pemindahaan ibukota ini tidak terencana dengan baik.Jangan sampai wacana pemindahaan ibukota hanya menjadi proyek prestisius bagi rezim SBY-Boediono.

Sementara dana pembangunan infrastruktur di tempat yang baru tentu akan menyerap anggaran yang sangat banyak.  Tentu akan timbul kekhawatiran bahwa pemindahaan ini akan menjadi beban yang sangat berat bagi APBN.(**)

note: Tulisan ini sudah dimuat di Majalah Property Inside, edisi Oktober - November 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline