Lihat ke Halaman Asli

Film "The Act of Killing", Titik Nol Sejarah SBY

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Agak sulit dipercaya, ternyata The Act of Killing benar-benar menjadi film yang menjadi nominasi Oscar tahun ini.

Film yang telah sempat menghangat yang kemudian mereda dengan sendirinya sejak 2 tahun yang lalu.

Kenyataan bahwa film ini menjadi nominasi Oscar lah, yang notabene merupakan suatu penilaian atas kapasitas kualitas suatu film yang tertinggi di dunia, yang membakar bara masalah ini hingga ke seluruh penjuru mata angin, hari ini, tanpa ada peringatan sebelumnya.

Yang meredakan masalah ketika itu adalah bahwa film ini “hanya”lah film documenter, yang diperkirakan tidak akan mudah  untuk menarik perhatian penonton  Indonesia maupun dunia, jika penonton dunia adalah sasaran pesan yang ingin disampaikan oleh film tersebut.

Pun telah ada juga cukup banyak film dan kajian akademis yang mengangkat tema serupa dengan tema film ini.

Sekarang, pembahasan masalah film ini oleh pihak terkait, akan juga memberikan publisitas yang makin menyampaikan pesan yang ingin disampaikan oleh si pembuat film.

Terasa benar kehormatan orang Indonesia terhadap warga asing melalui ketahanan para subyek-subyek pada film untuk tetap bersosialisasi bersama si pembuat film selama berlangsungnya pembuatan film.

Memperdaya orang-orang “tak bernama” seperti Anwar Kongo, yang mungkin nama aslinya tidak diketahuinya sendiri,  untuk menjadi tokoh utamanya, yang menjalar ke atas, dari pimpinan preman lokal, Gubernur Sumatera Utara, Ketua Pemuda Pancasila, serta Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, mengesankan betapa bajingannya si pembuat film.

Bahwa SBY, presiden RI sekarang selama 2 periode kepemimpinannya, adalah pemimpin Indonesia, yang mungkin “paling” disukai oleh seluruh masyarakat dunia dibanding pemimpin-pemimpin Indonesia sebelumnya, dengan masuknya film ini sebagai nominasi Oscar 2014 berdasarkan periode pembuatan film yang terdapat pada jaman kepemimpinannya, 2005-2011, dengan Sarwo Edhie Wibowo, mertuanya adalah figur maya yang menjadi roh pembantaian jutaan manusia pada film itu, akan berubah ke depannya.

Sebagai mantan tentara, yang kepemimpinannya pasti akan berakhir dalam waktu dekat, film ini membangkitkan id kejahatan yang lebih mendalam dibandingkan dengan tuduhan politis “kecil-kecilan” atas kejahatan korupsi yang dialamatkan pada rezimnya.

Bagi Indonesia, telah sampailah keadaan paling berbahaya, yang paling dapat dibayangkan setelah kengerian pembunuhan massal pada 1966 lalu dengan penghadapan permusuhan yang terangkat dari film itu melalui Cina dan komunis yang sedang bangkit atas pengaruh AS di Oscar (untuk pertama kalinya mengenai tema Indonesia) yang tengah menurun, di mata dunia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline