Lihat ke Halaman Asli

‘Menye-menye’ Polemik Tanda Bintang Gedung KPK dalam Kasus Politik KPK vs DPR

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

tanda bintang (*) dalam dokumen anggaran adalah tanda bahwa dana yang terdapat dalam anggaran tersebut tidak dapat dicairkan. Dengan pengklasifikasian anggaran dari Organisasi sampai ke program lalu kegiatan dan terinci sampai output berupa mata anggaran induk berupa jenis belanja dengan diversikfikasi hingga enam digit, Tanda bintang ini dicantumkan di samping kegiatan.

Artinya satu organisasi,program, kegiatan hingga mata anggaran enam digit dalam satu dokumen tersbut dapat memiliki berbagai macam anggaran dan dana yang dapat dicairkan, namun untuk kegiatan yang ‘didampingi’ tanda bintang belum dapat dicairkan,sehingga lelang pengadaan yang termasuk dalam komponen dana kegiatan tersebut juga tidak bisa dilaksanakan.

Menye-menyenya tanda bintang gedung KPK telah membawa masyarakat ke dalam suatu kasus politik antara KPK Vs DPR. Bukan persoalan hukum yang dijadikan bahan komunikasi teknis antara kedua institusi negara tersebut, melainkan polemik politik.

Politik adalah seni mungkin-mungkinan antara individu. Dan setiap insan yang hidup di dunia adalah termasuk mahluk politik . termasuk hubungan antara bocah-bocah ingusan dalam ranah generasi usia dini dalam sebuah interaksi kelompok sosial dalam meyakinkan bocah-bocah lain untuk melakukan apa yang akan dan ingin mereka lakukan bersama-sama.

Yang anehnya lagi masyarakat malah terbawa provokasi politik salah seorang pimpinan KPK yangseharusnya membidangi bidang teknis pemberantasan korupsi dengan mengumpulkan dana bersama dari keuangan pribadi untuk menuju peraihan kegiatan seperti yang terdapat dalam dokumen pelaksanaan anggaran yang dibintangi dalam publikasi masa kini.

Dan KPK adalah institusi negara. Se superpowernya KPK pun, pengelolaan keuangannya termasuk nantinya pengelolaan aset, pendapatan dan pengeluarannnya akan mengacu pada aspek ketertiban pengelolaan keuangan yang diterima bersama yang notabene menjadi acuan KPK dalam Tugas pokok dan fungsinya mencegah korupsi.

orang terawam dalam teknis keuangan negara pun akan mengerti bahwa uang yang dikumpulkan itu adalah uang yang akan menjadi ‘liar’ alias uang yang tidak mungkin dijadikan sesuatu yang akan menjadi seperti yang dimaksudkan dalam perencanaan mengenai dana yang dibutuhkan untuk menjadi aset yang dikelola tersebut dalam dokumen anggaran.

Prosedur yang masuk akal, karena telah terjadi dan telah terkumpul melalui LSM-LSM, bahkan pejabat-pejabat negara, termasuk Menteri dan Anggota DPR sendiri, yang kegiatan pengumpulannnya dipublikasi secara luas dan diketahui masyarakat, uang yang telah terkumpul untuk “membuat” gedung KPK, akan diserahkan dalam memorandum Hibah dari masyarakat kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk dimasukkan ke kas negara, dengan tujuan spesifik tertentu, memasukkan kembali dalam dokumen pelaksanaan anggaran dan membahasnya lagi bersama DPR. Sehingga sewaktu dibahas lalu dibintang lagi.!!

:DD, betapa lucunya.

Itupun jika benar terkumpul sampai 200an milyar seperti pagu anggaran kegiatan yang dibintangi. Jika tidak sampai, pengumpulan ini hanya kegiatan sia-sia menilai keunggulan relatif moral indidvidu yang berujung pada posisinya sendiri dalam dinamika kehidupan bersosial masyarakt yang kembali lagi menjadi masalah politik. Dan uang ini akan dialihkan kepada kegiatan sosial.

Pasti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline