Lihat ke Halaman Asli

Yusuf L. Henuk

GURU BESAR di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) - TARUTUNG 22452 - Sumatera Utara, INDONESIA

Mengembalikan Kejayaan NTT Sebagai Lumbung Ternak Sapi di Indonesia

Diperbarui: 4 April 2017   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

141992515130144505

Oleh: Yusuf L. Henuk*)

Pertama-tama diinformasikan bahwa sebagai wujud dukungan penulis sebagai salah satu putra Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berasal dari Pulau Rote terhadap Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke NTT dalam rangka menghadiri perayaan HUT NTT ke-56 pada tanggal 20 Desember 2014 sekaligus mencanangkan kembali “NTT Sebagai Provinsi Ternak” guna “Mengembalikan Kejayaan NTT Sebagai Lumbung Ternak Sapi Di Indonesia” dengan jenis ternak sapi  yang paling dominan adalah sapi Bali atau sering kami perkenalkan "Sapi Timor" (Timor) dan sapi Ongole atau sapi peranakan Ongole (Sumba)  (http://tyo-web.faa.im/jenis-dan-macam-ternak-sapi-di-indonesia.xhtml), penulis telah berupaya menurunkan tulisannya sehari setelah kunjungan Presiden Joko Widodo ke NTT, berjudul: “Swasembada Daging Di Indonesia: “Lain SBY Lain Jokowi” (http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2014/12/21/swasembada-daging-di-indonesialain-sby-lain-jokowi-692902.html).

Sehari setelah itu, penulis tanpa diduga mendapat telepon dari Budi Alimudin, Wartawan Majalah Detik yang "katanya" mendapat rekomendari dari kawan-kawan wartawan bahwa penulis tepat dihubungi untuk diwawancarai karena penulis terlibat aktif di media sosial, sehingga mudah dicari untuk diwawancarai plus beliau sempat membaca tulisan penulis tersebut diatas : “Swasembada Daging Di Indonesia: “Lain SBY Lain Jokowi”", sehingga beliau memohon kesediaan penulis  untuk diwawancarainya pada tanggal 22 Desember 2014 guna kami mengejar "deadline" untuk naik cetak hanya satu hari, karena liburan panjang Hari Natal 25 Desember 2014  agar dapat  dimuat di Majalah Detik Edisi 161 (29 Desember 2014 – 4 Januari 2015): http://majalah.detik.com/cb/02ff8708dfca4cbbbb9906493eb7d852/2014/20141229_MajalahDetik_161.pdf):

Pada kenyataannya, "Profesor Yusuf L. Henuk, seorang pakar budi daya sapi di Universitas Nusa Cendana, Kupang, membenarkan bahwa, pada 1970-1980, provinsi ini tak cuma mengirim sapi ke luar daerah, tapi juga ekspor ke Hong Kong"  (“Mengembalikan Kejayaan Nusa Tenggara”: http://news.detik.com/read/2014/12/30/133307/2790053/159/mengembalikan-kejayaan-nusa-tenggara).

14199252231312103049

14199252972011444505


14199255391270198854

14199255871130350849

Dalam upaya memenuhi permintaan untuk diwawancarai oleh wartawan Majalah Detik (Budi Alimudin),  penulis (Prof YLH) dengan percaya diri langsung  menyetujui permintaannya dan berupaya semaksimal mungkin untuk tidak mengecewakannya dengan mempersiapkan materi wawancara yang tentu tergolong lengkap. Penulis menyadari dari awal soal ‘keterbatasan kolom’, sehingga tidak mungkin semua materi wawancaranya dapat dimuat di Majalah Detik. Namun penulis ingin membuktikan bahwa penulis juga memiliki kompetensi dalam bidang pengembangan peternakan sapi di NTT yang mana kebetulan penulis mewakili koleganya telah mempresetasikan materi yang berkaitan erat dengan materi wawancara ini untuk tulisan bertajuk: "Tataniaga Komoditas Daging Sapi di Indonesia" di Seminar Nasional Sains & Teknik, FST - UNDANA II, 15 - 16 Oktober 2014, Hotel Aston, Kupang, NTT:

1419659516456680817

Sehingga penulis bisa menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya materi wawancara ketika diwawancarai  dengan petikan materi wawancara terkutip secara lengkap demikian:

Budi Alimudin:

Mengapa NTT dipandang cocok untuk pembibitan dan pengembangan sapi di Indonesia?  Fakta apa yang menjadi buktinya?

Prof YLH:

NTT memang tepat dipandang cocok untuk pembibitan dan pengembangan sapi di Indonesia, karena NTT memiliki wilayah yang secara topografi cocok untuk pengembangan ternak sapi. Secara geografis, NTT  merupakan wilayah kepulauan dibelahan selatan Indonesia dengan luas daratan 47.349,90 km yang mencakup tiga pulau besar (Flores, Sumba dan Timor) serta banyak pulau kecil lainnya yakni Komodo, Rinca, Adonara, Solor, Lembata, Alor, Pantar, Rote dan Sabu yang secara keseluruhannya berjumlah 1.192 buah pulau.

14196196401890854250

1419671647710865141

14196717141145050853

Kondisi alam (topografi, tanah, vegetasi) dan iklim (curah hujan, hari hujan dan suhu) serta kondisi sosio-ekonomi seperti terdapatnya berbagai kelompok etnis dengan keanekaragaman budayanya, kepadatan penduduk, semuanya saling berinteraksi dalam memberikan corak dan warna bagi sistem pertanian dan peternakan di wilayah ini yang didominasi oleh sistem pertanian dan peternakan lahan kering beriklim kering. Dalam kondisi lingkungan alam, iklim dan sosio-ekonomi tersebut ini ternyata peternakan tumbuh dan berkembang secara nyata sehingga memberikan ”trade mark” tersendiri bagi NTT dalam perekonomian nasional sebagai wilayah penghasil bibit ternak (sapi bali dan sapi ongole) dan daging bagi wilayah Indonesia lainnya.

Pada umumnya, ternak masih sangat memegang peranan dalam status sosial masyarakat NTT, misalnya untuk kepentingan perkawinan, pemakaman maupun pesta adat lainnya. Penggunaan tenaga kerja ternak untuk pengolahan lahan pertanian belum efisien, demikian pula pemanfaatan kotoran ternak belum banyak dipakai dalam usahatani. Peranan ternak sebagai fungsi sosial secara berangsur-angsur mulai beralih kepada fungsi ekonomi.

Berdasarkan catatan sejarah di era 1970-1980-an NTT telah mengirim (ekspor) ternak sapi dan kerbau ke luar daerah, kemudian di ekspor ke Hongkong, selain untuk memenuhi stok daging nasional. Bahkan hingga era 1990-an, NTT merupakan salah satu gudang ternak nasional yang berada di urutan kedua setelah Jawa Timur. Fakta sejarah ini telah diakui juga oleh Presiden Joko Widodo: “"Potensinya jelas di sini. Saya dengar, pada tahun 70-an, NTT ekspor daging ke Hong Kong. Kejayaan seperti ini harus kita kembalikan," katanya saat memberi sambutan pada HUT ke-56 NTT, Sabtu (20/12/2014). Namun sejak 10 tahun terakhir, NTT tidak lagi menjadi gudang ternak. Gudangnya, ada tapi ternaknya terus berkurang. Salah satu yang menjadi persoalan adalah kebiasaan warga NTT untuk melakukan pemotongan sapi-sapi betina produktif untuk konsumsi. Setahu saya sudah ada anggaran yang disediakan oleh Kementerian Pertanian  agar bila rakyat ingin menjual sapi betinanya, silahkan menjual kepada pemerintah, tetapi saya tidak tahu sejauhmana pelaksanaannya di lapangan  oleh peternak.

Berdasarkan data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian tahun 2013, NTT berada pada urutan keempat  dari 10 daerah lumbung sapi terbesar di Indonesia: (1) Jawa Timur : 4,7 juta ekor; (2) Jawa Tengah : 1,9 juta ekor; (3) Sulawesi Selatan : 984 ribu ekor; (4) NTT : 778,2 ribu ekor; (5) Lampung : 724,8 ribu ekor; (6) NTB : 685,8 ribu ekor; (7) Bali : 637,5 ribu ekor; (8) Sumatra Utara : 541,7 ribu ekor; (9) D.I Yogyakarta : 376,3 ribu ekor; dan (10) Sulawesi Tengah : 231,4 ribu ekor.

Secara umum, keunggulan komparatif yang telah dimiliki wilayah NTT di bidang peternakan sekarang menurun, karena dihadapkan kepada berbagai masalah yang bersifat mendasar seperti : tersedianya pakan ternak dan air terutama dimusim kemarau, populasi dan penyebaran ternak yang tidak merata antar wilayah, penyakit hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, kecenderungan menurunnya mutu genetik ternak, sistem pemeliharaan yang ekstensif, pemilikan yang tidak merata, kerusakan terhadap lingkungan hidup seperti padang penggembalaan dan hutan, persaingan kebutuhan lahan antar sub sektor (tanaman pangan, perkebunan dan peternakan), sarana dan prasarana ekonomi, tataniaga dan pemasaran dan lain sebagainya.

Kondisi geogragis, catatan sejarah  dan data tersebut diatas didukung fakta bahwa  NTT telah ditetapkan masuk Koridor V dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025. MP3EI adalah program pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah Indonesia. Pembangunan koridor ekonomi di Indonesia dilakukan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia. Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara memiliki tema pembangunan sebagai Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional” dengan fokus dan kegiatan utama di NTT adalah Pariwisata, Peternakan, Perikanan.

Budi Alimudin:

Saat ini berapa populasi sapi di NTT? Berapa target yang mesti dicapai NTT agar bisa menjadi lumbung sapi nasional?

Prof YLH:

Populasi ternak di NTT menurut data dari BPS Provinsi NTT (2012 – 2013): (1) sapi: 778.633  ekor (2012) –  814 450 ekor (2013); (2) kerbau: 150 038 ekor  (2012) –  152 449 (2013); (3) kuda: 105 981    ekor (2012) – 109.160 ekor (2013); (4)  kambing dan domba: 622 105 ekor (2012) – 638 938  (2013); (5) babi : 1.669.605   ekor (2012) – 1.724.316  ekor (2013); (6) ayam buras: 10.528 966  (2012) – 10 604 784 ekor (2013); (7) ayam ras: 758.451 ekor (2012) – 764.298 ekor (2013);  dan (8) itik : 284.551  (2012) – 289.326  ekor (2013). Khusus sapi potomg, data BPS Pusat menunjukan kenaikan dari 803 450 ekor (2013) menjadi 839 600 ekor (2014). Data Dinas Dinas Peternakan NTT menunjukan potensi ternak sapi potong di NTT pada tahun 2013 ini sebanyak 127. 760 ekor yang terdiri dari jantan 65. 128 ekor, betina majir 12. 696 ekor, dan betina culling 49. 936 ekor. Sedangkan potensi sapi potong lokal sebanyak 63. 478 ekor, dan antar pulau sebanyak 63. 478 ekor.

Khusus sapi, data dari Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT  juga menunjukan penyebaran menurut pulau, terlihat sebagian besar sapi potong terkonsentrasi di pulau Timor, diikuti Flores, Sumba dan Alor. Meskipun Sumba Timur berpotensi sebagi daerah  pengembangan sapi karena memiliki lahan bahan pakan ternak yang berupa padang savanna luas, dan terdapat berbagai jenis rumput yang bergizi tinggi, namun ternyata populasi sapi di Sumba Timur hanya mencapai 6,81 persen dari populasi sapi potong di NTT dan menduduki peringkat kelima setelah Kabupaten TTS yang mencapai 21,55 persen, diikuti Kabupaten Kupang, Belu dan TTU. Secara umum, data Dinas Peternakan Propinsi NTT menunjukan konsentrasi ternak sapi terbanyak adalah pulau Timor (80,02 %), pulau Flores (10,90 %), pulau Sumba (8,85 %)  dan terendah pulau Alor (0,23 %).

Sedangkan, target yang mesti dicapai NTT agar bisa menjadi lumbung sapi nasional adalah NTT harus berupaya meningkat peringkat penghasil ternak potong dari peringkat empat  sekarang menjadi peringkat kedua di masa lalu setelah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Namun pembangunan peternakan di NTT masih menghadapi banyak permasalahan yang memerlukan pemecahan secara mendalam, diantaranya (1) pakan ternak, (2) air, (3) penyebaran penduduk dan populasi ternak, (4) penurunan mutu lingkungan hidup, (5) mutu ternak, (6) penyakit dan kesehatan ternak. Masalah-masalah tersebut membawa tantangan-tantangan yang harus diatasi berupa : (1) pencegahan degradasi mutu padang-padang penggembalaan, (2) pengembangan sumber-sumber pakan ternak yang baru, (3) pemanfaatan secara optimal curah hujan dan sumber daya air yang tersedia, (4) pemerataan pemilikan ternak, baik antar wilayah maupun antar rumah tangga pertanian, (5) pencegahan kehilangan ternak dan pakan akibat penyakit dan kematian, dan (6) stabilisasi kualitas sumber daya ternak serta peningkatan efisiensi pendayagunaan pakan. Secara khusus,  masalah dan kendala yang dihadapi dalam upaya mempercepat populasi ternak sapi di NTT adalah: (a) angka kematian anak > 30%;(b) jarak beranak > 15 bulan; (c) persentase kelahiran < 60%; (d) kekurangan pejantan berkualitas; (e) kekurangan pakan saat kemarau; (f) pemotongan betina produktif > 80%; (g) pemasaran sapi. Semua kondisi ini harus dicarikan solusinya sesegera mungkin guna mendukung keberhasilan pencanangan kembali NTT sebagai lumbung ternak di Indonesia.

Budi Alimudin:

Untuk melipat gandakan produksi sebanyak itu, butuh lahan berapa luas?

Prof YLH:

Secara umum, potensi lahan pertanian dan peternakan di NTT mencakup 34,57 % dari total luas wilayah daratan atau sama dengan 1,637.040 ha. Dari jumlah tersebut yang cocok untuk dikembangkan sebagai persawahan (pertanian lahan basah) hanya seluas 2,67 % atau 126.510 ha. Selebihnya yakni 31,90 % atau 1.510.530 ha dapat dikembangkan bagi pertanian lahan kering. Dalam jumlah luas areal lahan  kering tersebut termasuk 828.840 ha yang dapat dikembangkan sebagai areal padang penggembalaan untuk peternakan sapi, kuda dan kerbau serta ternak kecil seperti babi dan kambing. Hasil penelitian kami telah diketahui bahwa kapasitas tampung padang penggembalaan di NTT yang biasa dihitung “Unit Ternak” (UT) sangat minim rata-rata 0,3 UT/ha dimana Kabupaten Kupang,Sumba Timur, dan TTU masing-masing memiliki kapastitas tampung sebesar 0,26 UT/ha;0,21 UT/ha; dan 0,46 UT/ha. Hal ini mengakibatkan rendahnya produktifitas ternak terutama pada musim hujan yang memiliki kualitas protein pakan yang sangat rendah bagi kebutuhan ternak gembala di padang rumput. Kandungan protein kasar hijauan cukup baik selama periode November-April, namun menurun secara drastis dibawah kebutuhan minimum untuk hidup pokok ternak selama periode Mei-Oktober dan ketersediaan bahan kering juga ikut menjadi masalah utama selama bulan September hingga Desember.

Namun masalah pokok yang dihadapi dalam pembangunan peternakan di NTT  adalah tidak tersedianya pakan ternak yang bermutu sepanjang tahun. Pakan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam upaya peningkatan produktivitas sapi potong. Peningkatan produksi ternak  khususnya ternak ruminansia akan berhasil dengan baik jika ketersediaan pakan hijauan sebagai sumber pakan dapat dipenuhi secara kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Salah satu kendala dalam penyediaan pakan untuk ternak sapi di NTT adalah ketersediaan bahan pakan yang berfluktuasi menurut musim dan rendahnya kualitas pakan. Kendala utama ini bertumpu pada iklim dengan musim kemarau yang panjang tanpa hujan selama 7-9 bulan. Rumput menjadi kering dengan nilai gizi yang sangat rendah. Ternak mengalami penurunan berat hingga 50% akibat rendahnya konsumsi pakan dan daya cerna selama musim kemarau.

Sedangkan, sistem pertanian menetap di lahan kering di beberapa wilayah di NTT telah dipadukan dengan usaha lamtoronisasi untuk pengembangan ternak sapi yang telah dikenal sebagai ”sistem amarasi” yang terdapat di Timor. Dalam sistem ini pemeliharaan ternak dilakukan secara intensif dengan jalan mengikat ternak sapi serta memanfaatkan pakan hijauan lamtoro dengan cara ”Cut and Carry”, dikenal sebagai “sistem paron”. Selain itu, dikenal  juga ”sistem sikka” di Flores yakni suatu sistem pertanian menetap di lahan kering pada topografi yang berbukit dan bergunung dengan menanami lereng-lereng lahan dengan lamtoro menurut kontour lereng yang dikenal pula dengan sistem pertanaman lorong (alley cropping). Selain itu,  telah dimanfaatkan padang penggembalaan dalam bentuk ” ranch” di Timor dan Sumba.

Budi Alimudin:

Darimana saja lahan didapat? Siapa pemilik lahan-lahan itu sekarang? Apakah pembebasannya lancar?

Prof YLH:

Lahan bisa didapat dari masyarakat, sehingga butuh kerjasama antara pemilik lahan dengan pemilik modal dalam memulai usaha pengembangan peternakan sapi di NTT melalui pemilik lahan dibina  sebagai plasma-plasma untuk mendukung usaha pengembangan produksi ternak. Namun penyediaan lahan untuk pengembangan masih menjadi persoalan di NTT, karena kepemilikan lahan masih bersifat komunal di NTT berupa banyak tanah ulayat. Akibatnya, untuk memperlancar pembebasan lahan tentu pemilik modal harus bekerjasama dengan pemerintah jika betul-betul ingin mensukseskan pengembangan peternakan sapi di NTT, agar proses pembebasan lahan bisa tersosialisasikan dengan baik.

Budi Alimudin:

Berapa modal yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan sebanyak itu? Berapa modal untuk membeli bibit sapinya?

Prof YLH:

Saya tidak punya data pasti soal berapa banyak modal yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan, tetapi sepanjang yang saya tahu jika masyarakat dilibatkan dalam  usaha pengembangan peternakan sapi di NTT, maka soal biaya bisa dinegosiasi dengan kepala suku pemegang hak ulayat.

Sedangkan, modal untuk membeli bibit sapi berdasarkan data dari Dinas Peternakan NTT bahwa harga sapi dalam menetapkan harga perkiraan sendiri (HPS) proyek pengadaan sapi bantuan yang merupakan program direktif Presiden untuk Provinsi NTT TA. 2013 senilai Rp 200 miliar lebih. Penetapan harga sapi Rp 7 juta per ekor dalam HPS, tidak semata-mata murni harga sapi, namun sudah termasuk sejumlah item biaya tambahan lainnya, termasuk keutungan 10 persen untuk kontraktor pelaksana. Pada umumnya, pengadaan bibit sapi Bali jantan telah ditetapkan harga Rp 6.381.000 per ekor, dengan rincian harga ternak per ekor Rp 4.750.000, biaya transportasi lokal Rp 75.000, biaya pemeriksaan brucellosis Rp 30.000, biaya kesehatan Rp 25.000, biaya pakan selama penampungan Rp 50.000, biaya seleksi Rp 100.000, retribusi pasar Rp 21.000, tali nilon 5 meter Rp 25.000, transportasi kapal ferry ke kelompok penerima termasuk biaya karantina Rp 800.000, dan keuntungan kontraktor pelaksana 10 persen Rp 475.000. Khusus bibit sapi Bali yang diadakan dari Kabupaten Kupang, biasanya  didistribusikan ke lokasi kelompok penerima di Kabupaten Manggarai, Rote Ndao dan Lembata. Sedangkan, sesuai spesifikasi teknis,  bibit sapi Bali harus berumur 24-36 bulan, dan memiliki tinggi pundak minimal 110 centi meter (Cm), lingkar dada minimal 158 Cm, dan panjang badan minimal 112 Cm. Tidak hanya itu, bibit sapi Bali jantan juga harus memiliki warna bulu hitam, lutut ke bawah warna putih, pantat warna putih setengah bulan, ujung ekor hitam, tanduk tumbuh baik dan berwarna hitam, serta bentuk kepala lebar, dengan leher kompak dan kuat, serta bebas dari cacat alat kelamin.

Budi Alimudin:

Darimana modal itu akan didapat?

Prof YLH:

Modal yang paling tepat didapat sebaiknya tidak hanya mengandalkan dana pemerintah, tetapi dari investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang bersedia menanamkan modalnya untuk pengembangan sektor peternakan sapi di NTT.

Budi Alimudin:

Bagaimana nanti pola usahanya? Apakah akan mengandalkan perusahaan besar seperti model Australia, yang bekerja efisien untuk menghasilkan sapi, atau mengandalkan para peternak kecil?

Prof YLH:

Selama ini pemeliharaan ternak dalam skala besar sulit dikembangkan di NTT karena masalah kepemilikan lahan. Sebagian besar lahan di NTT dimiliki oleh ulayat. Oleh karena itu, sangat perlu mengandalkan para peternak kecil.

Budi Alimudin:

Jika tetap mengandalkan peternak kecil, bagaimana cara untuk memacu mereka agar efisien dan harganya murah?

Prof YLH:

Salah satu kendala yang masih ada di NTT dalam upaya pengembangan sektor peternakan adalah peternak masih menggembalakan ternaknya secara tradisional. Pagi mereka menggiring ternaknya ke padang, kemudian sore mengantar kembali ke kandangnya. Sementara kondisi Alam NTT adalah alam yang boleh dikatakan, hijau di musim hujan dan kering kerontang di musim kemarau. Dengan demikian, ternaknya menjadi gemuk di musim hujan dan kurus di musim kemarau. Kebiasaan beternak bagi masyarakat NTT yang sudah dilakukan sejak dahulu kala pertama-tama bukan untuk mendapatkan penghasilan dari ternak tesebut. Usaha beternak baik jenis unggas terutama ayam, dan hewan besar seperti babi, kambing, sapi, kuda dan kerbau  yang digeluti masyarakat itu pertama-tama untuk pemenuhan urusan adat istiadat. Pada umumnya, sebagian besar ternak sapi Bali yang diekspor maupun dipotong untuk konsumsi lokal, bukan dihasilkan dari sistem peternakan yang produktif dan efisien, melainkan dari sistem peternakan tradisional dengan tingkat produktifitas yang rendah.

Oleh karena itu, upaya pengembangan populasi ternak di NTT tidak saja dilakukan pengembangan dengan pola tradisional, tetapi terpenting adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM) para petani ternak. Kami dari pihak perguruan tinggi  telah melakukan kegiatan penyuluhan peternakan kepada peternak yang mana kebetulan saya termasuk salah pengasuh mata kuliah Penyuluhan Peternakan di Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana.

Target yang mesti dilakukan agar NTT bisa menjadi lumbung sapi nasional adalah melakukan pengembangan ternak sapi meliputi: pengembangan tanaman pakan ternak, teknologi pakan dan perbaikan padang penggembalaan. Perbaikan mutu bibit dan revitalisasi inseminasi buatan. Pengembangan investasi dan kemitraan. Pelayanan medis dan penyuluhan. Peningkatan industri pengolahan melalui pengembangan agroindustri. Sedangkan, gerakan pelihara melalui penyelamatan betina produktif dan pengembangan pemanfaatan limbah ternak.

Budi Alimudin:

Untuk mencapai target semacam itu, butuh pakan yang banyak. Nah darimana pakan itu akan didapat? Apakah akan ada lahan untuk menanam pakan ternak?

Prof YLH :

Perlu diketahui bahwa infrastruktur utama untuk ternak adalah penyediaan air bersih lewat pembuatan embung atau waduk di berbagai wilayah. Hanya dengan air yang cukup, NTT mampu menyediakan pakan ternak. Saat ini, NTT kesulitan air. Pada musim kemarau, bukit dan lembah gundul karena rumputnya tak bisa hidup. Oleh karena itu, NTT  mampu menjadi lumbung ternak nasional jika ada komitmen yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan infrastruktur utama. Jika ada ketersediaan lahan dan infrastruktur, khususnya air, dalam tempo lima tahun ke depan, NTT sudah bisa menjadi lumbung ternak nasional.

Budi Alimudin:

Saat ini darimana pakan ternak untuk NTT didatangkan? Apakah sudah cukup?

Prof YLH:

Selama ini ketersediaan pakan ternak ruminansia besar di NTT tidak didatangkan dari luar NTT, kecuali ketersediaan pakan ternak non-ruminansia, termasuk unggas (ternak ayam). Ketersediaan pakan ternak di NTT diperoleh dari jumlah areal lahan  kering seluas  828.840 ha yang dapat dikembangkan sebagai areal padang penggembalaan untuk peternakan sapi, kuda dan kerbau serta ternak kecil seperti babi dan kambing. Penyebaran dari lahan padang penggembalaan seluas yakni 828.840 ha dengan luasan lahan padang penggembalaan terbanyak dijumpai di Kabupaten Sumba Timur, diikuti oleh Kabupaten Kupang, TTS, dan TTU.

Secara umum,  ketersediaan hijauan rumput alam di NTT pada musim hujan (3-4 bulan) berada dalam jumlah cukup bahkan berlebihan dan sebaliknya pada musim kemarau (8-9 bulan) ketersediaan rumput alam masih cukup namun kualitasnya menurun drastis karenatingginya kandungan dinding sel NDF (neutral detergent fiber).  Rumput alam di NTT pada musim kemarau memiliki dinding sel NDF sebesar 58%-80% dengan kandungan protein kasar sebesar 2-3% dan tingkat kecernaan mendekati 42%. Rumput dengan kandungan NDF yang tinggi tersebut akan menurunkan kecernaan dimana umumnya rumput di daerah tropis mengandung kadar lignin yang cukup tinggi sehingga sulit terdegradasi oleh mikroba rumen. Rumput dengan kecernaan yang rendah akan menggangu produksi ternak terutama karena ketersediaan protein khususnya nitrogen bagi mikroba rumen menjadi terbatas dan ketersediaan zat-zatgizi yang lain juga akan berkurang.

Sebagai akibat ketersediaan pakan di NTT sudah cukup melimpah di musim hujan, sehingga perlu dilakukan perbaikan pengelolaan pakan melalui pengawetan pakan yang berlebihan selama musim hujan guna dimanfaatkan selama kemarau; penanaman pakan ternak yang berkualitas, seperti leguminosa pohon: lamtoro, turi, gamal dan leguminosa herba: Clitoria, Centrosema, Stylosanthes; membangun sistem perbenihan tanaman hijauan makanan ternak; dan melakukan usahatani ternak-tanaman secara terintegrasi, termasuk pemanfaatan kotoran ternak.

Budi Alimudin:

Bukankah sudah ada kabar bahwa NTT kekurangan pakan ternak sehingga di musim kemarau sapinya menjadi kurus? Langkah apa yang akan dilakukan?

Prof YLH:

Benar sekali kabar bahwa NTT kekurangan pakan ternak sehingga di musim kemarau sapinya menjadi kurus. Inilah tentu salah satu kendala utama yang dihadapi para peternak sebagai akibat dariketersediaan bahan pakan yang berfluktuasi menurut musim dan rendahnya kualitas pakan. Kendala utama ini bertumpu pada iklim dengan musim kemarau yang panjang tanpa hujan selama 7-9 bulan. Rumput menjadi kering dengan nilai gizi yang sangat rendah. Ternak mengalami penurunan berat hingga 50 % akibat rendahnya konsumsi pakan dan daya cerna selama musim kemarau. Menurut data Dinas Peternakan NTT, sejak 2013 setiap kabupaten/kota di NTT telah dibentuk 10 kelompok budi daya ternak. Kelompok-kelompok tersebut bertugas untuk mengelola mini ranch yang telah dibangun. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi krisis pakan pada setiap tahun.

Hasil penelitian telah menunjukan bahwa ternak sapi kehilangan berat badan selama kemarau, sehingga kenaikan berat badan per tahun masih rendah (± 0,6 kg/ekor/hari); penggemukan sapi memerlukan waktu lama (> 1 kg/ekor/hari); kematian anak sapi masih tinggi karena induk kekurangan pakan; dan pendapatan petani masih rendah.  Selama jangka waktu 3 tahun ternak sapi yang dipelihara secara intensif mencapai bobot hidup 493kg sedangkan yang dipelihara secara ekstensif hanya mencapai berat 311kg. Hal ini diperkirakan karena adanya penurunan bobot badan ternak selama musim kemarau sehingga rata-rata pertambahan bobot badan ternak menjadi kecil setiap tahunnya. Sedangkan, langkah-langkah yang perlu dilakukan ke depan sebagai berikut:

1. Mencegah degradasi yang berkelanjutan dari padang-padang penggembalaan disertai upaya perbaikan mutunya;

2. Pengembangan sumber-sumber baru pakan ternak sekaligus menjamin tersedianya pakan ternak sebagai bagian integral dari sistem usahatani terpadu dan mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan spesifik lokasi melalui pola yang terintegrasi;

3. Memanfaatkan secara optimal curah hujan serta sumber daya air yang tersedia (sungai, air tanah) baik untuk keperluan manusia maupun ternak;

4. Memeratakan pemilikan ternak (distribusi ternak) baik antar wilayah maupun antar rumah tangga pertanian, terutama ke wilayah-wilayah yang memiliki padang-padang penggembalaan serta sumber daya yang belum terjamah;

5. Mencegah kehilangan ternak dan pakan ternak akibat penyakit maupun kematian;

6. Mencegah/mengendalikan pemotongan sapi betina produktif/bunting;

7. Menstabilisasi kualitas sumber daya ternak sekaligus diikuti dengan upaya memperbaiki tingkat efisiensi pendayagunaan pakan oleh ternak untuk meningkatkan produksi bagi kepentingan masyarakat;

8. Merubah sikap perilaku masyarakat tani yang memandang pemilikan ternak hanya untuk meningkatkan status sosial saja menjadi potensi ekonomi yang dapat dikembangkan melalui sistem agribisnis-agroindustri.

Budi Alimudin:

Apakah sudah ada road map agar target-target tiap tahap ketahuan? Seperti apa roadmapnya? Berapa tahun lagi agar target ini bisa terapai?

Prof YLH:

Setahu saya dalam rangka  menunjang langkah-langkah  strategis pengembangan sapi potong yang telah dijabarkan dalam bentuk peta jalan (road map) menuju ”revolusi merah” pengembangan sapi potong di Indonesia (Gambar 1), telah dibuat juga road map strategi pengembangan agribisnis peternakan sapi potong di Provinsi NTT dengan peran dominan pemerintah daerah. Namun saya tidak terlalu tertarik untuk mengecek secara rinci, karena saya dari awal sudah menduga program pencanangan swasembada daging 2014 tidak mungkin berhasil hanya dalam kurun waktu singkat. Sayapun telah menulis bahwa  salah satu kegemaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I dan II dibawah kepemimpinan Presiden SBY adalah membuat target-target yang definitif. Menteri Pertanian KIB II Suswono misalnya, antara lain menargetkan swasembada daging sapi 2014. Seperti orang gelap mata dan bingung menemukan jalan keluar dimana Indonesia lebih mengandalkan ‘tenaga luar’ ketimbang mengoptimalkan ‘tenaga dalam’. Walaupun demikian saya tetap mendukung program dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, telah ditetapkan kegiatan pengembangan peternakan di NTT difokuskan pada tiga kabupaten yaitu Sumba Timur, Ngada dan Timor Tengah Selatan. Sedangkan kegiatan yang direncanakan ada empat kegiatan, yaitu: Pengembangan 39 ranch kelompok; (2) pengembangan 6 klaster padang pengembalaan, (3) penyiapan lahan untuk investasi usaha peternakan; dan (4) pengembangan kawasan padang penggembalaan di NTT selama setahun.

14199498041015889937

@ProfYLH: "@poskupang: Flores Masuk Zona Pengembangan Ternak Sapi NTT http://dlvr.it/7w09QJ"  @ProfYLH:"WAWANCARAKU DI @Majalah_Detik/ www.majalahdetik.com EDISI 162, SAYA SEBUT: SUMBA TIMUR, NGADA DAN TIMOR TENGAH SELATAN (TTS) TELAH DIJADIKAN SEBAGAI PUSAT PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI DI NTT OLEH DITJEN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN, KEMENTAN RI".

Terbukti dugaan saya benar, karena sesuai data dari Perhimpunan Peternak dan Kerbau Indonesia (PPSKI) yang telah menghitung impor daging di Indonesia bisa mencapai 45% dari total kebutuhan daging dalam negeri tahun 2014.  Volume impor daging ini jauh lebih besar ketimbang yang ditetapkan dalam road map swasembada daging 2014 yang hanya 10% dari kebutuhan  nasional, sehingga swasembada daging yang telah dicanangkan Pemerintahan Presiden SBY tinggal kenangan saja. Akibatnya, perlu dibuat road map swasembada daging di Indonesia baru versi Presiden Joko Widodo. Sedangkan, program-program yang belum dan/atau telah dilakukan untuk menunjang pengembangan ternak sapi di NTT meliputi: (1) perbaikan mutu genetik ternak melalui peningkatan cross-breeding (antara induk lokal dengan pejantan unggul dari luar negeri yang memiliki tingkat pertumbuhan bobot badan harian dan bobot akhir yang tinggi; (2) pencegahan pemotongan ternak betina produktif dan ternak jantan dengan bobot badan sub-optimal, terutamanya pada sapi potong, agar populasi ternak sapi lokal tidak cepat terkuras; (3) pengembangan kemitraan antara petani/peternak dan pedagang besar ternak, agar petani mendapat kesempatan lebih besar untuk memelihara ternak dengan teknologi lebih baik; (4) distribusi produk ternak  dari daerah produsen ke konsumen tidak lagi dalam bentuk ternak hidup tetapi daging dingin atau beku yang dapat memberikan keuntungan berupa: lebih efisien dalam biaya transportasi, tidak terkena retribusi ternak, wilayah kota tidak tercemar limbah RPH, dan kotoran ternak di daerah produsen dapat dijadikan sebagai pupuk organik bagi tanaman pertanian; (5) perbaikan fasilitas RPH agar mutu hasil pemotongan (pascapanen) meningkat, sehingga daging sapi lokal bisa masuk hotel berbintang atau restoran besar maka perlu adanya perbaikan terhadap fasilitas RPH.

*)Penulis adalah Guru Besar Dalam Bidang Ternak Non-Ruminansia di Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang – NTT.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline