Lihat ke Halaman Asli

priyo widiyanto

Dosen Universitas Sanata Dharma

Menemukan Allah dalam Segala Hal

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu hari saya melayat seseorang yang berbeda keyakinan dengan saya. Saya bersama teman yang berbeda keyakinan dengan saya, tetapi teman saya tersebut berkeyakinan sama dengan rekan yang meninggal dunia. Ketika saya berdoa secara khusuk, teman tadi mendekati saya dan berbisik "Kamu doanya kelihatan khusuk sekali, nggak usah khusuk-khusuk menghabiskan energi karena doa  mu tidak mungkin diterima oleh Allah." Saya tanggapi komentar teman tadi dengan nada "guyon". "Apa kamu yakin doa kamu diterima Allah?" "Jangan-jangan dalam hati Allah malah berkata "Ah, orang itu berbeda keyakinan dengan umat Ku yang meninggal dunia, berarti orang itu tulus dalam mencintai Ku, meski Aku mewujudkan diri dalam bentuk ciptaan yang berbeda keyakinan dengan dirinya, sudahlah doanya Ku terima saja!" Di sisi lain, Aku mendengarkan doa ciptaanKu yang mendoakan temannya yang meninggal karena kesamaan keyakinannya, ah dia sudah pilih-pilih. Ia mau mendoakan temannya karena seagama, seandainya tidak seagama tentu dia tidak bersedia mendoakannya, sudahlah doanya tidak Ku terima saja!

Seringkali kita sebagai manusia, berusaha memaksa Allah menurut persepsi atau sudut pandang kita sendiri. Setiap orang memiliki personal history nya sendiri-sendiri. Sejarah perjalanan pribadi itu tentu akan mewarnai cara orang tersebut mempersepsikan kehadiran Allah. Bagi pribadi yang lingkup pergaulannya terbatas tentu akan mempersepsikan Allah dalam lingkup sebatas pergaulannya tersebut.

Saya pribadi dilahirkan sebagai orang Katolik ditengah keluarga Muslim, namun sewwaktu saya masih kecil, saya lebih banyak tidur di mushola karena rumah orang tua saya memang berhimpitan pagar dengan mushola, dan belum pernah tidur di gereja. Saya pernah mengalami menjadi minoritas dalam bentuk agama, suku (pernah tugas ke luar jawa), bahasa (pernah di luar jawa yang berbahasa daerah berbeda dan pernah di luar negeri), pendidikan (kebetulan saya seorang sarjana dan berada ditengah orang yang pendidikannya rendah). Dalam pergaulan yang serba berbeda tersebut ternyata saya bisa menemukan Allah dalam kehidupan sahabat-sahabat saya yang kebetulan mayoritas (bisa dalam hal agama, bahasa, suku, pendidikan, dll).

Pengalaman tersebut mengajarkan kepada saya bahwa seseorang bisa menemukan Allah bersama orang lain meski tidak seagama, sesuku, sebahasa, setingkat pendidikan), bahkan ditempat bekerja pun kita bisa menemukan Allah.  Allah akan selalu hadir dalam bentuk cinta, kerendahan hati, ketulusan, kebaikan, dan cara-cara hidup lainnya yang menumbuh kembangkan orang lain, sahabat saya yang muslim sering menyebut dengan cara hidup yang halal.

Bagi saya pribadi Allah sungguh Maha Besar, dan Maha Suci maka saya tentu tidak akan mampu memahami Allah yang begitu besar dan suci dengan otak saya yang kecil dan hati saya yang penuh dosa, namun saya berusaha menemukan kehadiran Allah dalam segala hal, melalui perjalanan hidup saya sehari-hari. Dan sampai saat ini, meski usia saya sudah 55 tahun, masih selalu menemukan hal baru dalam kaitannya dengan kehadiran Allah dalam segala hal, dan ini semakin membuat saya tertunduk karena proses mengenal Allah ini tidak kunjung selesai, dan saya selalu dibuat tersenyum oleh hal-hal baru sebagai perwujudan kehadiran Allah. Itu sekedar pengalaman saya, mungkin Anda punya pengalaman yang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline