Lihat ke Halaman Asli

Sena

Diperbarui: 5 Desember 2023   20:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Kringgg Kringgg Kringgg...... "Astaga jam berapa ini?" ucap Agatha dengan panik karena hari ini adalah hari Senin dan dia bertugas untuk menjadi pengibar bendera. Agatha langsung melompat dari kasurnya dan berlari menuju kamar mandi. Tidak seperti kebanyakan perempuan, Agatha memiliki kemampuan mandi dan bersiap siap dengan cepat. Pukul 06.30 pagi, tanpa sarapan terlebih dahulu Agatha langsung berangkat menuju sekolahnya. "Ya ampun Agatha, yuk, langsung ke lapangan, udah ditunggu yang lain," ucap Nara dan langsung menggandeng tangan Agatha dan menariknya menuju lapangan. Benar saja ketika sampai di lapangan semua petugas sudah berkumpul dan bersiap. Nara adalah sahabat Agatha sejak SMP dan masih bertahan hingga kini mereka berada pada bangku kelas 11 SMA. Mereka seperti perangko yang tidak dapat dipisahkan. Entah kebetulan atau kehendak semesta, mereka selalu saja satu kelas dan satu bangku. "Nar, sebelum ke kelas ke ruang OSIS dulu, yuk?" ucap Agatha kepada Nara yang sedang sibuk mengibaskan topi upacara di depan wajahnya begitu selesai upacara. "Gas aja, sebenarnya aku juga males masuk kelas sih, ngantuk banget kalau pelajarannya udah mulai," jawab Nara dengan wajah yang nampak sangat lelah. "Cuma ngambil buku Nara, bukan bolos. Kita sebagai pengurus OSIS harus memberikan contoh yang baik buat yang lain," ucap Agatha panjang lebar. "Iya, iya, bawel, udah yuk buruan," mereka berjalan menuju ke ruang OSIS. Sesampainya mereka di ruang OSIS, tanpa mengetuk pintu, mereka langsung masuk ruangan. Di sana sudah ada dua siswa laki-laki. Kevin Argantara yang menjabat sebagai ketua OSIS dan Ahnaf Dzulfikar sebagai wakil ketua 1. "Eh, Tha, sini kita mau ngomong," ucap Kevin begitu Agatha memasuki ruangan. "Mau ngomong apa?" tanya Agatha sambil duduk di depan Kevin dan Ahnaf. "Kita mau ngadain konser," ucap Ahnaf dengan singkat, padat, dan jelas. "Konser? Memangnya boleh?" tanya Nara yang meragukan usulan Ahnaf. "Kita ngga akan tahu kalau kita ngga berani mencoba dan tidak ada sesuatu yang tidak mungkin bukan?" sahut Kevin dengan cepat. "Kalian udah punya rancangan?" tanya Agatha. "Sudah. Bahkan, banyak siswa yang dukung, gimana?" jawab Kevin dengan yakin. "Oke, kita coba sama-sama, ya," jawab Agatha sambil tersenyum tipis. "Nah, karena kamu udah setuju, besok yang mengajukan rancangan ke pembina kamu, ya. Kamu 'kan anak kesayangan semua pembina," ucap Kevin sambil tersenyum. "Hmm, kebiasaan. Oke, deh. Nara, ayo balik ke kelas kita udah skip satu jam pelajaran," ajak Agatha sambil menatap ke arah Nara yang sedang sibuk bermain tiktok. "Ah, males, ngga usah balik, plissss," ucap Nara menampilkan wajah memelasnya. "Ngga ada bolos-bolosan. Udah ayo sekarang kita balik ke kelas," ucap Agatha kemudian tanpa banyak bicara Agatha langsung menarik tangan Nara. *** Bel istirahat telah berbunyi, para siswa mulai berhamburan ke luar, tetapi Agatha tidak beranjak dari tempat duduknya. Hanya dia seorang diri yang berada di dalam kelas. Nara ke perpustakaan untuk mencari novel terbaru. Sedangkan Agatha masih fokus memecahkan soal-soal latihan olimpiade matematika Ya, beberapa waktu lalu ia ditunjuk mewakili sekolah dalam kegiatan olimpiade matematika. Tiba-tiba ponselnya berdering dan mengganggu konsentrasinya. "Halo, iya Ma, kenapa?" ucap Agatha setelah mengangkat telepon dari mamanya. "Kamu tadi membolos satu jam pembelajaran, ya? OSIS lagi? Mama tidak suka kamu terlalu sibuk di OSIS. Minggu lalu kamu banyak izin karena kegiatan OSIS. Kamu juga sering membolos les karena kegiatan OSIS," ucap mama Agatha panjang lebar. "Iya Agatha minta maaf, Agatha akan coba membagi waktu lagi supaya hal seperti ini nggak terulang lagi dan mengecewakan Mama," ujar Agatha dengan nada pasrah. "Kamu harus lihat sepupu sepupu kamu yang banyak meraih penghargaan, bahkan sampai ada yang bersekolah di luar negeri. Mereka semua pandai tidak seperti kamu yang hanya sibuk dengan kegiatan OSIS," Agatha hanya menghela nafas lelah. "Iya Ma, Agatha mau belajar dulu, ya. Bulan depan Agatha ikut olimpiade matematika," ucap Agatha yang berharap panggilan dengan mamanya segera berakhir. "Bagus, menangkan olimpiade itu. Peringkat kamu di sekolah jangan sampai turun dan harus hadir setiap jadwal les, paham?" tegas mama Agatha dengan penuh penekanan. "Iya, paham Ma. Ya sudah, Agatha matikan teleponnya, ya," ucap Agatha dan tanpa menunggu balasan dari mamanya dia langsung mematikan sambungan telepon tersebut. Mama Agatha adalah seorang dokter yang sedang merintis untuk mendirikan rumah sakit miliknya sendiri. Hal tersebut menyebabkan mamanya sangat sibuk dan jarang berada di rumah. Sama seperti papanya yang menjadi seorang pilot, ia pun jarang pulang menemani Agatha. Ia lebih sering berkomunikasi lewat telepon dengan kedua orang tuanya daripada mengobrol bertatap muka. "Agatha, nih buat kamu," ucap Nara sambil menyodorkan satu bungkus biskuat. "Terima kasih besti aku paling cantik," sahut Agatha dengan senyum lebarnya. Begitulah Agatha, sangat pandai menyimpan masalah yang sedang dihadapi. Beberapa menit yang lalu mood-nya menjadi buruk karena telepon dari mamanya, tetapi dengan secepat kilat dia bisa menampilkan senyum yang sangat menyenangkan. Pembelajaran di sekolah berjalan sampai pukul 4 sore, Agatha yang mendengar bel pulang langsung mengemasi buku-buku dan pergi meninggalkan kelas. Dia berjalan menuju parkiran dengan terburu-buru sebab takut terlambat menuju tempat lesnya. Agatha mengikuti bimbingan belajar sampai pada pukul 7 malam. Begitu dirumah, dia langsung mengerjakan tugas sekolahnya lalu kembali mengerjakan soal-soal latihan olimpiade matematika. Begitulah alur kehidupan gadis cantik bernama Agatha Saqueena, belajar dan belajar. Untung saja OSIS membuat kegiatannya lebih berwarna. *** Agatha keluar dari ruang pembina OSIS. Ia mencoba mengontrol rasa kecewanya kemudian menghembuskan nafas perlahan kemudian menuju ke ruang OSIS. Agatha sudah berusaha meski ia tahu kabar ini akan membuat kecewa teman-temannya. "Kita tidak diizinkan membuat konser," jelas Agatha begitu masuk ruang OSIS. "Alasan yang pertama adalah kita belum boleh membuat acara sebesar itu," lanjut Agatha, membuat Wajah Kevin dan Ahnaf yang tadisumringah, berubah masam seketika. "Alasan yang kedua pembina takut jika konser tersebut menyebabkan keributan." Mata Kevin dan Ahnaf tajam menatap Agatha. "Alasan terakhir adalah sekolah kekurangan dana," tutup Agatha. "Kamu bisa nggak sih jelasin ke pembina? Kita bikin rancangan itu susah payah! Dan kamu pasrah? Nggak ada pembelaan?" tanya Ahnaf dengan lantang penuh emosi. "Aku udah jelasin, aku juga udah melakukan pembelaan dan aku ... ," Agatha mencoba untuk tetap tenang walaupun sedikit terbata sebab dirinya merasa bersalah karena tidak dapat memenuhi keinginan para siswa. "Baru kali ini kamu nggak berhasil bujuk pembina Tha, kamu kenapa sih? Udah nggak ada niat lagi mewujudkan aspirasi siswa? Atau lupa dengan visi misi waktu awal pemilihan dulu?" tanya Kevin yang melontarkan beberapa pertanyaan dan jelas pertanyaan-pertanyaan tersebut menyudutkan Agatha. "Aku nggak lupa visi misi kita, kok. Aku juga mau mewujudkan aspirasi siswa" "Weitss, ada apa nih ribut-ribut?" tanya Nara yang baru saja memasuki ruangan. "Nggak ada apa-apa kok," jawab Agatha sambil menampilkan senyumnya. "Cih, munafik!" ucap Kevin sembari meninggalkan ruangan diikuti oleh Ahnaf. "Lah, kok pada bubar sih. Eh, Tha setelah ini kita ada ulangan matematika, lho. Pliss, aku nggak paham apa-apa," ucap Nara mengeluh. "Yuk, ke kelas," ujar Agatha dan mereka berdua pun kembali ke kelas. Agatha terus memikirkan apa yang tadi Kevin dan Ahnaf ucapkan. Agatha sama sekali tidak fokus untuk belajar. Yang berada di pikirannya adalah bagaimana agar acara mereka disetujui oleh pembina. Ia merasa itu adalah tanggung jawabnya. Sampai ketika guru matematika datang membagikan soal ulangan pun Agatha tidak dapat fokus. "Agatha nanti pulang sekolah menemui bapak ya," ucap guru matematika. "Eh, baik pak," sahut Agatha. *** "Permisi pak," ucap Agatha ketika sampai di depan guru matematikanya tersebut. "Sebelumnya saya minta maaf kepada kamu, tetapi saya harus sampaikan bahwa kamu tidak bisa lanjut dan mengikuti olimpiade matematika," ucap guru matematika tersebut langsung to the point tanpa basa-basi terlebih dahulu. "Tapi, Pak? Bukankah nilai saya cukup baik dan saya juga sudah mulai menguasai soal-soal olimpiade," ucap Agatha yang sangat terkejut mendengar ucapan dari gurunya. "Nilai ulangan kamu tadi sangat mengecewakan dan itu menandakan bahwa kamu tidak stabil ketika belajar. Saya sudah mendapatkan pengganti kamu untuk mengikuti olimpiade tersebut." "Saya rasa pembahasan ini sudah cukup, silahkan kamu bisa pulang," lanjut guru tersebut dan tanpa berbicara apapun Agatha langsung keluar dari ruang guru. Agatha sangat kecewa kepada dirinya, kenapa dia kurang fokus dalam mengerjakan ulangan pada mata pelajaran kesukaannya itu. Dia berjalan gontai menuju ke ruang OSIS, berharap ada seseorang yang bisa diajak bercerita atau bertukar pikiran bagaimana caranya agar pembina menyetujui rencana mereka. Ya, itu masih mengusik pikirannya. Ketika Agatha membuka knop pintu, hampir semua pengurus OSIS berkumpul di dalam ruangan tersebut dan menatap ke arahnya dengan tatapan yang aneh. "Oh, ini wakil ketua yang katanya anak kesayangan pembina tapi ngajuin rancangan progja aja nggak diterima," ucap salah satu pengurus yang sudah pasti ditujukan untuk Agatha. Ia mulai tidak nyaman dan memutuskan untuk pulang. "Kalian tenang aja, aku akan membujuk pembina lagi besok. Aku pulang dulu, ya," jawab Agatha dengan tersenyum manis kepada teman-temannya lalu berjalan pulang. "Agatha!" seru Kevin di belakang Agatha. "Iya, Vin. Kenapa?" Agatha menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. "Tolong backup tugas-tugas aku di OSIS, ya. Aku mau fokus belajar buat olimpiade matematika," ucap Kevin meminta tolong pada Agatha. "O-oh, oke, Vin," balas Agatha sambil mengernyitkan dahinya. "Makasih, Tha." Kevin langsung pergi dari hadapan Agatha. *** "Kevin, kamu jahat banget, sumpah," ucap Nara sambil menatap Kevin kecewa. "Apa salahku?" tanya Kevin seperti orang yang tak memiliki salah. "Kamu merebut posisi Agatha di olimpiade itu. Kamu dan teman-teman yang lain juga menekan Agatha untuk dapat izin pembina. Kamu juga minta dia backup tugas kamu di OSIS," jelas Nara panjang lebar. "Oh, ya itu salah dia, lah," jawab Kevin dengan mudahnya. "Asal kamu tau Vin, Agatha punya banyak banget beban dan tanggung jawab. Dia selalu berusaha memenuhi ekspektasi orang lain. Banyak orang disekitarnya yang menekan dia," ucap Nara dengan suara yang lirih. "Ya, itu bukan salah aku lah, salah Agatha itu," ujar Kevin yang lagi dan lagi malah menyalahkan Agatha. "Ngomong sama kamu ga membantu menyelesaikan masalah, ya. Dasar nggak guna," ucap Nara kemudian langsung pergi dari hadapan Kevin. *** "Agatha Saqueena!" seru Mamanya dengan nada yang tinggi dan suara yang lantang begitu Agatha sampai di depan rumah "Apakah aku telah membuat banyak kesalahan?" gumam Agatha. "Bagus, kamu hari ini tidak mengikuti les, tadi Mama dapat laporan bahwa nilai ulangan matematika kamu sangat mengecewakan dan kamu tidak jadi mengikuti olimpiade," ucap mama Agatha dengan nada marah. "Maafin Agatha, Ma," ucap Agatha dengan lirih. "Mama kecewa saya kamu Agatha, kamu itu harapan satu-satunya Mama dan Papa. Kenapa kamu malah mengecewakan dan tidak mengikuti perintah Mama?" tanya mamanya dengan nada penuh penekanan. "Sekarang masuk ke kamar dan belajar, Mama akan kunci pintu kamar kamu dari luar. Handphone kamu mama ambil dan kamu tidak boleh melakukan hal lain selain belajar," ucap mama Agatha. "Iya Ma, Agatha minta maaf karena belum bisa menjadi anak seperti yang Mama inginkan," jawab Agatha dengan suara yang sangat lirih. Agatha langsung memasuki kamarnya dan benar saja mamanya mengunci pintu kamarnya dari luar. Ketakutan terbesar Agatha adalah mengecewakan orang-orang yang berada di sekitarnya. Tadi dia telah mengecewakan teman-teman organisasinya dan sore ini dia juga mengecewakan mamanya. Agatha selalu hidup di atas ekspektasi orang lain. Di bawah guyuran air shower yang dingin, hangat air mata lesap dari pipinya. Agatha mengamati lengannya yang penuh dengan goresan. Agatha sering melukai dirinya sendiri. Ketika banyak tekanan dan tidak tau harus bercerita kepada siapa Agatha lebih senang melukai dirinya sendiri. Agatha hanya tersenyum miris melihat betapa mengenaskannya dirinya. Orang lain melihat dirinya sangat sempurna, memiliki orang tua lengkap, ekonomi baik, memiliki kepandaian, sangat ceria dan pandai public speaking. Namun, ia sendiri merasa hidupnya begitu menyedihkan. Semalaman dia memikirkan mengenai harapan teman-teman organisasinya. Agatha sangat lelah, fisiknya lelah dan mentalnya jelas sedang tidak baik-baik saja. Dia hanya bisa menangis dan berharap mamanya akan membukakan pintu kemudian memeluknya. Agatha sudah tidak dapat mengontrol dirinya. Agatha mengambil sebuah cutter yang memang selalu dia simpan. Perlahan dia mulai menggoreskan ujung cutter yang tajam ke lengannya. Agatha tersenyum miris dan menangisi kisah hidupnya. *** Nara sedang bersiap siap menuju rumah Agatha karena pagi-pagi buta mama Agatha menelponnya dan mengatakan bahwa mama Agatha ada urusan penting dan harus meninggalkan Agatha sendirian di rumah. Nara pun berinisiatif untuk menjemput Agatha untuk berangkat bersama. Di rumah Agatha, Nara membuka pintu dengan kunci yang disimpan di vas bunga, tentu saja dirinya diberitahu oleh mama Agatha. "Agatha," seru Nara memanggil nama Agatha dan mencarinya. Dengan kunci yang dia pegang, Nara membuka kamar Agatha. Dan betapa terkejutnya Nara ketika melihat Agatha yang tergeletak di lantai dengan darah yang terus mengalir dari lengannya. "Astaga, Agatha kamu kenapa?!" tanya Nara yang langsung panik melihat kondisi Agatha. Agatha melihat wajah panik dari sahabatnya tersebut dengan samar-samar, "Makasih Nar," gumam Agatha kemudian memejamkan matanya. Nara yang semakin panik pun langsung menelpon ambulans dan juga mama Agatha. *** Di rumah sakit, ketika Agatha ditangani oleh dokter, Dari luar jendela, Nara menangis menatap Agatha. Nara tau bahwa Agatha mengalami banyak tekanan baik dari orang tua, organisasi dan sekolah. Tetapi Nara tidak tau bahwa Agatha sampai melukai dirinya sendiri, Nara tahu jika Agatha selalu berusaha terlihat sempurna, Nara juga tau ketika Agatha tiba tiba diam karena memikirkan perbuatannya mengecewakan orang lain. Suara langkah kaki yang terburu-buru mulai terdengar di koridor rumah sakit. "Nara gimana keadaan Agatha?" tanya Papa Agatha dengan panik. Papa Agatha yang kebetulan baru sampai di bandara kota mereka, ternyata pulang. "Nara juga tidak tahu, Om. Dokter belum keluar," jawab Nara seadanya. "Maafin Mama, Mama yang selalu memberikan tekanan pada Agatha, Mama yang mengunci pintu kamar Agatha karena dia gagal mengikuti olimpiade," ucap mama Agatha mengakui kesalahannya dengan suara paraunya karena menangis. "Kenapa Mama tega ngelakuin itu ke Agatha? Agatha selalu membanggakan kita dan dia punya caranya sendiri untuk membuat kita bangga. Dia sudah bukan anak kecil yang harus kita atur," ucap Papa Agatha menahan kecewanya. "Dengan orang tua pasien?" tanya dokter yang baru saja keluar dari ruangan. "Iya, Dok," jawab mama dan papa Agatha secara bersamaan. "Pasien mengalami gangguan psikologi karena tekanan mental yang berlebihan. Pasien membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitar demi kesembuhannya. Pasien sudah sadar, keluarga pasien dipersilakan untuk menjenguk, tetapi tetap memperhatikan kestabilan emosi pasien," ucap dokter tersebut menjelaskan panjang lebar. Orang tua Agatha langsung memasuki ruangan bernuansa putih tersebut, Nara tidak ikut masuk karena takut mengganggu privasi keluarga Agatha. Mereka berdua menangis melihat kondisi Agatha yang sangat pucat dan menatap kosong ke depan. "Agatha, Papa pulang. Papa bawa oleh-oleh banyak loh buat Agatha." "Agatha maafin mama ya, mama janji gak akan menekan Agatha lagi, Agatha bebas melakukan apapun yang pengen Agatha lakukan asal Agatha bahagia." "Maafkan Papa ya nak, seharusnya Papa berada di sisi kalian, papa tidak memiliki banyak waktu untuk kalian berdua." Agatha mulai menangis mendengar ucapan dari kedua orang tuanya. "Agatha anak Papa paling hebat, Agatha keren bisa jadi wakil ketua OSIS, piala yang Agatha dapetin banyak. Papa bangga," ucap Papa sambil memeluk erat Agatha. Mama Agatha memanggil Nara untuk memasuki ruangan. Nara menoleh sebentar ke sebelah kanan. Di bangku depan ruangan, Kevin dan Ahnaf yang beberapa saat lalu datang, kini duduk tertunduk dengan sesal yang menumpuk di kepala. Mereka merasa bersalah atas apa yang menimpa Agatha. Nara mengalihkan pandangan, masuk ruangan, dan langsung mendekat ke arah Agatha dan memeluknya. "Jangan nekat lagi ya, Tha. Aku takut kamu," ucap Nara. "Agatha, kita bangkit bersama-sama ya nak. Mama, Papa, dan Nara akan selalu ada buat Agatha, Agatha harus sembuh ya," ujar mama Agatha dan mendapat respon anggukan diiringi air mata dari Agatha. Mereka pun berpelukan erat. Mama Agatha berjanji tak akan memaksa kebahagiaan dirinya pada Agatha, sebab pada dasarnya, bahagia berasal dari dalam diri manusia. Di sela pintu yang terbuka, Kevin dan Ahnaf menatap Agatha dengan wajah penuh sesal yang mendalam. Mereka tak berani mendekat karena rasa bersalah yang begitu hebat. Dalam hati, mereka berjanji akan menjadi teman yang baik bagi Agatha, menjadi rekan organisasi yang bisa membangun nuansa positif. Mereka saat ini berharap Agatha bisa lekas pulih. Dan harap yang paling dalam adalah Agatha mau memaafkan semua kesalahan mereka. Namun, Agatha tetaplah Agatha. Seperti biasa, di syahdunya ruangan itu, Agatha tetap melontarkan senyum termanisnya kepada kedua temannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline