Lihat ke Halaman Asli

Tayangan Anang dan Domain Publik

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kebahagiaan Anang dan Ashanty mendapatkan anak, terusik karena teguran KPI. Lembaga ini menegur stasiun RCTI yang menayangkan siaran langsung kelahiran putri dua musisi terkenal ini. Siaran yang menghabiskan waktu sekitar 4jam ini dianggap merampas hak-hak publik.

BANYAK surat, email, dan SMS sampai ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Rata-rata pemirsa terganggu dengan siaran langsung RCTI pada Minggu, 14 Desember 2014. Tayangan live tersebut dianggap sudah di luar kewajaran. KPI pun akhirnya terpaksa menegur RCTI.

Dalam surat teguran itu KPI memberi penjelasan mengenai pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan ditayangkannya siaran reality show eksklusif proses persalinan Ashanty berjudul: ‘Anakku Buah Hati Anang & Ashanty' yang ditayangkan oleh stasiun RCTI pada tanggal 14 Desember 2014 mulai pukul 13.14 WIB.Program tersebut menayangkan prosesi persalinan Ashanty selama kurang lebih 4 (empat) jam.

KPI Pusat menilai siaran tersebut telah dimanfaatkan bukan untuk kepentingan publik. Program tersebut disiarkan dalam durasi waktu siar yang dinilai tidak wajar. Panjangnya durasi yang tidak wajar dianggap memaksa masyarakat untuk ikut menyaksikan tayangan tersebut.

Tayangan tersebut dianggap tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik utuh frekuensi. Ruang publik sendiri harus dijaga semua pihak. Oleh karena itu sudah sepantasnya agar lembaga penyiaran menggunakan frekuensi publik dengan bijaksana. Menurut KPI, acara seperti itu bisa saja disiarkan tapi ada azas kepantasan dan kewajarannya.

Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan kepentingan publik.Dalam surat teguran bernomor 2932/K/KPI/12/14 itu, KPI meminta RCTI untuk tidak menayangkan kembali serta tidak mengulangi kesalahan serupa untuk program sejenis lainnya di kemudian hari. Frekuensi adalah milik publik yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan masyarakat banyak. (www.KPI.go.id, 15/12; dan Tempo.co, Rabu, 17/12).

KPI Pusat memutuskan bahwa tindakan itu telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 11 ayat (1) serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 11 ayat (1). KPI Pusat memutuskan menjatuhkan sanksi administrasi berupa Teguran Tertulis.

KPI menyatakan bahwa peristiwa yang bersifat personal, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, merupakan acara yang tidak layak ditayangkan di televisi nasional dengan durasi berlebihan.

Sebelumnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga memberikan teguran tertulis kepada Trans TV atas siaran eksklusif pernikahan presenter Raffi Ahmad dan Nagita Slavina pada tanggal 16 dan 17 Oktober 2014 (selama 2 hari). KPI menganggap program siaran "Janji Suci Raffi dan Nagita" tersebut juga telah dimanfaatkan bukan untuk kepentingan publik.

Dalam keterangan yang dimuat di situs web KPI, KPI menyoroti durasi siaran program selama dua hari berturut-turut. KPI menilai durasi itu tidak wajar serta tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik frekuensi. KPI menganggap hal itu sebagai pelanggaran atas perlindungan kepentingan publik.(Kompas.com, 17/10). Trans TV sudah pernah menampilkan segmen live eksklusif bertajuk "Menuju Janji Suci" di dua tayangan regulernya, Insert dan Show Imah, sepanjang 6-15 Oktober lalu.

RCTI yang ikut meramaikan resepsi perkawinan Raffi dan Gigi pun, mendapat teguran KPI yang sama. KPI mengeluarkan Teguran Tertulis untuk RCTI terkait penayangan Resepsi Pernikahan dalam program Kamulah Takdirku pada hari Minggu, 19 Oktober 2014, yang dimulai pukul 17.01 WIB.Program tersebut disiarkan dalam durasi waktu siar yang tidak wajar, hingga 7 jam. KPI menilai hal ini tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik frekuensi utuh. (www.kpi.go.id, 21/10).

RCTI sendiri memperoleh rating tinggi saat menyiarkan program resepsi pernikahan Raffi-Nagita, Minggu (19/10). RCTI memiliki beberapa program spesial jelang resepsi pernikahan seperti "DahSyatnya Pengantin Baru", "Kamulah Takdirku: Nagita dan Raffi" dan puncak acara yang tayang mulai pukul 17.02 hingga 00.10 WIB. Rangkaian program tersebut sukses membuat RCTI naik ke posisi 1 dengan share keseluruhan 29,5 (market ABC) dan 28,5 (market All).(www.wowkeren.com, 22/10).

RCTIsendiri tercatat meluncurkan tayangan bertajuk 'Jodohku' (20 Mei 2012), pada tahun 2012, saat resepsi pernikahan Anang Hermansyah dengan Ashanti selama tiga jam penuh.

Televisi sebagai Medium

Sebagai media informasi, televisi telah menjadi medium efektif dalam menjalankan fungsinya. Televisi, dari sebuah kotak sabun yang tadinya hanya menyajikan tayangan hitam putih, berangsur memberi manfaat banyak bagi khalayak. Tampil dengan sejuta warna dan fenomena. Meski banyak peran yang kemudian terusik karena kehadiran televisi.

Sebagai media informasi, televisi dipercaya sebagai media massa yang mampu menyebarluaskan berbagai informasi instan secara cepat. Kemampuannya dalam menampung informasi deras secara instan tak terkalahkan. Seperti informasi tentang peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia, bencana alam di Banjarnegara, gonjang-ganjing dunia politik, gemerlap dunia hiburan, sampai ke kemajuan teknologi. Bahkan sampai televisi yang berfungsi sebagai media jualan, Corporate Social Responsibility (CSR) dan promosi bagi perusahaan pun menyeruak. Semua nya tidak bisa tertandingi, televisi memang jagonya!.

Kalau kita menengok fungsi televisi sebagai media media massa, maka televisi telah menjalankan fungsi informatif, edukatif, dan rekreatif. Ia juga jadi sarana sosialisasi bagi nilai-nilai lama dan baru. Namun sejatinya, acara-acara televisi hanya berjalan pada fungsi rekreatif dan informatif. Apalagi, kedua fungsi ini nyata lebih mengejar rating dan lebih berorientasi pada profit. Demi perolehan kepemirsaan itulah, televisi telah menggadaikan idealisme dengan program-programnya.

Kita suka melupakan bahwa apa yang ditayangkan di televisi hanyalah gambar bergerak yang telah direkam oleh kamera dengan segala trik dan maknanya. Mungkin karena sifatnya yang bergerak sehingga dianggap sebagai realitas nyata. Padahal, pada dasarnya, TV itu tidak pernah menampilkan realitas tapi hanya sense of reality. Realitas buatan yang dikemas rapi sesuai keinginan pembuatnya.Jean Baudrillard menyebutnya sebagai hyper-reality, membesar-besarkan realitas hingga menjadi berbeda dengan realitas yang sesungguhnya.

Kekuatan televisi adalah dramatisasi dan sensasionalisasi. Realita yang diusungnya dianggap sebagai representasi dan realitas kehidupan secara menyeluruh. Pencitraan yang dilakukannya kadang dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sebuah realitas buatan yang dikemas rapi sesuai keinginan pembuatnya (reporter, produser, bahkan bisa jadi keinginan para pemilik TV).

Layar televisi mengubah persepsi kita tentang dimensi ruang dan waktu. Tak lagi sekadar sebentuk kotak sabun elektronik. Di dalam setiap detik visual yang ditayangkan merupakan hasil kreasi para profesionalnya. Gabungan dari berbagai profesi masuk di dalamnya. Kreasi mereka muncul dalam bentuk karya kreatif dalam layar televisi. Karya yang kerapkali menjadi sihir bagi pemirsanya.

Kekuatannya dalam mengkombinasikan gambar, suara, gerakan dan warna, telah mampu membius manusia. Sihir elektronik TV telah mempengaruhi pola sikap dan perilaku manusia. Bahkan tanpa sungkan masuk hingga ke ranah privat sekali pun. Sudah bukan rahasia lagi hal-hal yang tadinya tabu di televisi menjadi diumbar.

Media adalah juga agen konstruksi. Media mempunyai kekuatan untuk mengonstruksikan budaya dan menggiring masyarakat pada pemahaman tertentu. Oleh karenanya ia mampu membentuk identitas, citra, dan opini publik tertentu. Televisi akhirnya banyak dipilih sebagai media yang menawarkan pesona citra. Citra yang juga dicari-cari khalayak pemirsanya.

Televisi Domain Publik

Media sesungguhnya merupakan bagian dari ruang publik (public sphere) yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi, yang terkait dengan kepentingan orang banyak. Dalam konteks ruang publik, media selayaknya menjadi tempat penawaran berbagai gagasan. Ruang yang semestinya dijaga dari pengaruh dan kepentingan apapun.

Di Indonesia, regulasi terhadap media pada dasarnya dipilah menjadi 2 bagian besar, yaitu media yang tidak menggunakan ranah publik, dan media yang menggunakan ranah publik (public domain).(Yusuf, Iwan Awaluddin, https://bincangmedia.wordpress.com)

Media yang tidak menggunakan ranah publik contohnya seperti penerbitan buku, majalah, surat kabar, serta film. Regulasinya bersifat self regulatory. Khusus untuk pelanggaran jurnalistik berlaku UU Pers No 40 tahun 1999.Film yang dimaksud pun juga film-film lepas yang tidak disiarkan oleh televisi, karenanya film yang ditayangkan di televisi ada aturannya sendiri.

Sementara media yang menggunakan ranah publik, media ini dianggap menggunakan “barang milik publik” yaitu frekuensi. Televisi tidak bisa semena-mena memanfaatkan frekuensi untuk kepentingan sendiri. Ada ketentuan yang harus dipatuhinya. Di Indonesia, regulatornya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berhubungan dengan isi, dan Depkominfo berhubungan dengan penggunaan frekuensi dan izin penyiaran.

Penggunaan ranah publik (public domain) dalam dunia penyiaran regulasinya diatur sangat ketat (highly regulated). Hal ini karena selain media penyiaran menggunakan ranah publik (public domain), spektrum frekuensi yang tersedia pun juga terbatas (scarcity theory)

Prinsip scarcity (scarcity theory) menegaskan bahwa frekuensi nya sendiri berjumlah sangat terbatas. Frekuensi harus digunakan sebagaimana mestinya untuk kepentingan publik. Public domain juga bersifat menembus (pervasive presence theory), dapat leluasa memasuki ruang pribadi, meluas dan tersebar secara cepat ke ruang-ruang keluarga, tanpa harus diundang.

Begitu knop televisi on, maka semua yang dihasilkan media elektronik akan langsung menyeruak masuk ke dalam ranah privat. Televisi akhirnya terkesan memaksa pemirsanya untuk menerima apapun yang disiarkan. Tak ada dialog, meski tayangan berujud sampah sekalipun. Hal yang acapkali membuat profesional penyiaran tersandung kerikil.

Frekuensi adalah barang milik publik yang dipinjam sementara oleh lembaga penyiaran. Ia harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran publik yang luas. Ini jelas berarti frekuensi, digunakan untuk mendukung tayangan televisi, harus memenuhi hajat hidup orang banyak. Bukan untuk kepentingan perorangan atau kelompok.

Hal ini didasarkan pada pertimbangan, ketika seseorang (dalam hal ini lembaga) telah diberikan frekuensi, maka sebenarnya ia telah diberikan hak monopoli oleh negara. Ia hanya bisa menggunakan frekuensi tersebut dalam kurun tertentu. Kaitannya dengan bidang televisi, regulasinya berlaku ketentuan perundang-undangan di bidang penyiaran.

Lembaga Profit

Industri penyiaran kita semakin menampakkan watak komersialnya dengan perkembangan kepemilikan media. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perusahaan media televisi dimiliki beberapa korporasi perusahaan besar. Mereka tidak saja menguasai di ranah bisnis, tetapi juga masuk pada ranah politik.  Beberapa diantaranya bahkan berada pada posisi puncak sejumlah partai politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline